Kamis, 26 Januari 2017

Politik Berkuda, Hukum Keseimbangan, dan Peran Presiden Jokowi

Politik Berkuda, Hukum Keseimbangan,
dan Peran Presiden Jokowi
Denny Indrayana ;  Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Visiting Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne
                                                 KOMPAS.COM, 19 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kalau Catatan Kamisan saya berbicara tentang kuda, apa yang Anda pikirkan?

Saya duga, jika anda adalah pendukung Presiden Jokowi, maka terbayang pengorbanan beliau saat melakukan politik berkuda di Hambalang, duduk di pelana mirip tokoh kartun “Lucky Luke”, apalagi dengan topi koboi dan tingkat kekurusan yang hampir sama.

Jika anda bukan pendukung mantan Presiden SBY, maka akan terbayang beberapa meme soal “Lebaran kuda,” salah satu bagian pidato beliau ketika menanggapi berkudanya Jokowi dengan Prabowo.

Entah apa pula yang anda bayangkan terkait mantan capres Prabowo, yang berfoto gagah di samping Jokowi, di atas kudanya yang berharga selangit.

Catatan kamisan saya tidak menyoal ketiga tokoh presidensial tersebut. Berkuda yang saya tulis lebih sebagai perumpamaan bagaimana hukum harus seimbang memadukan antara kebebasan dan pembatasan.

Dalam berkuda, kita harus bisa memadukan kemampuan mencambuk agar kuda berlari kencang, dan menarik tali kekang agar kuda berhenti. Terus mencambuk, akan menyebabkan kuda bebas berlari tanpa henti. Terlalu menarik tali kekang, akan menyebabkan kuda terus berhenti, dan tidak akan pernah berlari.

Hukum, adalah juga soal menjaga keseimbangan, soal meramu keadilan. Karena itu lambangnya adalah timbangan. Untuk menjaga keseimbangan itulah maka hukum mengatur, menjadi regulasi.

Negeri deflasi regulasi menjadi anarki. Negeri inflasi regulasi menjadi tirani.

Negara yang deflasi aturan adalah negeri yang nyaris membiarkan segalanya leluasa tanpa hukum. Semua serba bebas. Sekali merdeka, merdeka sekali. Maka yang terjadi adalah kebebasan tanpa pembatasan.

Negara yang inflasi aturan adalan negeri yang nyaris membiarkan segalanya direkaya dengan hukum. Semua serba terbatas. Maka yang terjadi adalah pembatasan tanpa kebebasan.

Hukum yang benar harus mempunyai ramuan yang seimbang antara kebebasan dan pembatasan. Negeri yang tidak semua dibebaskan, tetapi tidak pula semua dibatasi. Negeri yang seimbang, kebebasan dengan batas-batas yang proporsional. Negeri yang mempunyai konstitusi yang demokratis.

Negara yang konstitusional demokratis adalah ibarat cara orang berkuda. Baik orang yang menunggangi atau kuda yang ditunggangi mempunyai aturan main yang harus dipatuhi.

Jangan berkuda sendirian, tanpa pelatih, apalagi jika tidak berpengalaman. Jangan pula pernah sembarangan menaiki kuda liar, yang belum dilatih untuk ditunggangi.

Aturan Berkuda

Minggu lalu, saya mengajak kedua anak saya (Varis dan Varras) berkuda di Great Ocean Road, salah satu daerah wisata sekitar tiga jam berkendaraan dari Melbourne. Sebelum menaiki kuda, kami menandatangani formulir soal jaminan keselamatan. Masing-masing kami diwajibkan memakai helm dan sepatu berkuda.

Saya yang kepala keluarga di antara rombongan diberikan kuda yang sudah dilatih berjalan paling belakang, di antaranya adalah kedua anak saya, sedang yang terdepan adalah kuda dan pelatihnya.

Aturan main dasar diajarkan. Setiap kuda ada tali kendali dan pelana. Tali kendali ditarik bila ingin kuda berhenti. Tali kendali dikendorkan ditambahkan hentakan kaki, jika kuda diperintahkan berjalan. Jika di jalan tanjakan, badan dimiringkan ke belakang. Jika di jalan turunan, badan dicondongkan ke depan.

Singkatnya, aturan main berkuda juga penuh dengan keseimbangan. Sebagaimana hukum yang mengharmoniskan antara kebebasan dan pembatasan. Helm harus cocok dengan ukuran kepala sang penunggang. Tidak boleh terlalu sempit sehingga sakit. Tetapi tidak pula terlalu besar, sehingga longgar.

Pada saat pertama kali naik, sang pelatih mengatur tali pijakan kaki agar nyaman dan sesuai dengan panjang kaki penunggang, tidak boleh terlalu pendek, tidak juga terlalu panjang. Tali kendali tidak boleh ditarik terlalu keras, karena akan menyakiti mulut kuda dan bisa membuatnya marah. Juga, tali kendali ditarik sesuai arah yang ingin dilalui. Jika ingin belok kiri, ditarik ke kiri, dan sebaliknya. Semua ada aturan main yang proporsional.

Hukum Keseimbangan

Rumusnya adalah hukum keseimbangan. Hukum yang berkeadilan. Hukum tidak boleh terlalu membiarkan kebebasan, karena akan melahirkan kekerasan. Tetapi hukum juga tidak boleh terlalu mengekang karena akan menghadirkan kekuasaan yang tiran. Hukum harus proporsional, mengatur tanpa terlalu membatasi. Karena itu kita mereformasi Orde Baru. Kita ingin memperbaiki aturan yang terlalu longgar buat penguasa, tetapi terlalu ketat buat rakyat jelata. Itu sebabnya kita merubah UUD 1945.

Kekuasaan presiden yang terlalu besar kita batasi. Masa jabatan presiden yang tanpa batas waktu, kita maksimalkan hanya dua periode. Untuk mencegah presiden seumur hidup dan selalu dahaga kekuasaan. Karenanya, ide untuk kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan, sebaiknya kita tolak.

Dalam reformasi UUD 1945, aturan yang mengekang kebebasan masyarakat kita longgarkan, perlindungan HAM kita tingkatkan.

Undang-undang Subversi yang penuh pasal karet, dan menjadi alat untuk menghajar lawan politik penguasa, kita cabut keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999.

Ituah sebabnya, salah satu kebijakan politik-hukum Presiden Habibie adalah membebaskan para Tahanan Politik dan Narapidana Politik (Tapol/Napol).

Tetapi apakah semua orang lalu boleh bebas berpolitik tanpa aturan? Apakah setiap orang boleh bebas memperjuangkan politik disintegrasi? Tentu tidak.

Demokrasi tentu menghormati perbedaan pandangan politik. Tetapi Demokrasi juga lebih memilih integrasi (persatuan), ketimbang disintegrasi (perpecahan). Karena itu makar terhadap penguasa yang sah juga tidak boleh dilakukan, dan harus dipidana.

Namun, pertanyaannya, kapankah tindak pidana makar itu terjadi? Apakah mengkritik pemerintah adalah makar? Apakah mengirim surat kepada MPR, meminta wakil rakyat itu melakukan Sidang Istimewa untuk mengganti Presiden adalah makar?

Saya rasa, kalau ada satu atau sekelompok kecil orang dengan mengangkat pena—bukan senjata—mengkritik pemerintah, belumlah dapat dikatakan tindak pidana makar.

Tapi untuk lebih jelasnya, yang bisa menjawabnya adalah penegakan hukum yang profesional dan tidak koruptif. Bisa dengan putusan pengadilan, atau cukup dengan penghentian perkara jika memang yang terjadi pada faktanya hanyalah kriminalisasi politik.

Demikian pula halnya dengan kebebasan pers di zaman Orde Baru, yang dikatakan bebas bertanggungjawab, yang kenyataannya adalah kebebasan dengan ancaman bredel, ataupun hambatan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Di awal reformasi, aturan SIUPP dilonggarkan. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah—yang notabene berlatar belakang militer—adalah salah satu pelopor hadirnya pers yang bebas.

Namun, apakah kebebasan pers sekarang bukan pada tahap kebablasan? Apakah keberadaan situs-situs berita online yang mereproduksi berita tanpa etika jurnalistik, atau bahkan menyebarkan berita hoax, tidak harus diatur?

Saya berpandangan, situs yang melanggar etika jurnalistik harus dijatuhkan sanksi oleh Dewan Pers, sebagaimana pengurus situs yang menyebarkan berita bohong dan berbahaya bisa dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan UU Pers—kalau output kerjanya adalah karya jurnalistik.

Jikalaupun tidak dapat dianggap sebagai karya jurnalistik, maka bisa dijerat dengan pasal-pasal UU ITE atau KUHP yang relevan.

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dulu tidak mudah didirikan, bahkan mudah dibubarkan sesuai aturan UU Nomor 8 Tahun 1985, sekarang lebih dijamin hidupnya dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Jika sebelumnya pemerintah dapat langsung membubarkan suatu ormas, maka dengan undang-undang yang baru, prosesnya panjang dan berjenjang. Yaitu melalui penjatuhan sanksi administratif terlebih dahulu, sebelum dapat dimintakan pembubaran ke pengadilan negeri, yang putusannya hanya dapat dikasasi ke Mahkamah Agung.

Namun demikian, bukan berarti ormas dapat seenaknya berkebasan tanpa pembatasan. Pasal 59 ayat (2) undang-undang dengan jelas melarang ormas untuk:

a.            melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;

b.            melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;

c.             melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d.            melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak

e.            fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau

f.             melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sehingga jika ada salah satu saja dari larangan itu yang dilanggar, maka ormas demikian dapat dibubarkan.

Namun, saya berpandangan pembubaran ormas sebaiknya dipikirkan matang-matang. Selain berpotensi melanggar kebebasan berorganisasi, dan bisa disalahgunakan oleh penguasa yang lalim. Saya lebih setuju jika yang dihukum bukan organisasinya, tetapi orang atau pelaku kejahatannya.

Jika ormasnya yang dibubarkan, maka pengurus dan anggotanya dapat dengan leluasa membuat ormas baru, mungkin dengan nama yang sedikit berubah.

Namun, jika tokoh dan anggotanya yang melakukan tindak pidana yang dimasukkan penjara, saya optimis sanksi hukum demikian akan lebih efektif.

Sebagai penutup pada bagian contoh ini, saya juga ingin mengulas lagi perdebatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan ambang batas keanggotaan di parlemen (parliamentary threshold).

Sebagaimana telah saya tuliskan dalam catatan kamisan minggu lalu, saya berpandangan meninggikan lagi ambang batas syarat presiden bukanlah pilihan. Tetapi meniadakannya sama sekali juga terlalu membebaskan.

Ingat, kata kuncinya adalah aturan dengan keseimbangan. Ambang batas tetap diperlukan tetapi dengan besaran yang proporsional.

Syarat pencalonan presiden yang sekarang minimal 25% perolehan suara nasional atau 20% perolehan kursi DPR ada baiknya diturunkan, agar membuka ruang bagi makin banyaknya calon presiden.

Sedangkan ambang batas syarat kursi di DPR yang sekarang 3,5% ada baiknya dinaikkan agar makin mendorong sistem bernegara kita menuju sistem kepartaian yang sederhana.

Peran Vital Presiden

Pada akhirnya, kemanakah arah politik legislasi hukum akan berjalan, apa ramuan hukum antara membatasi dan membebaskan itu akan sangat dipengaruhi oleh orang terkuat di republik: Sang Presiden.

Peran Jokowi sebagai negarawan dengan segala sumber daya dan mandat kepresidenan yang dimilikinya harus mampu dimaksimalkan untuk mengarahkan keseimbangan hukum.

Presiden harus menjadi Panglima Tertinggi di tengah hukum yang sekarang diombang-ambingkan antara banyak kepentingan politik, misalnya Pilgub Jakarta.

Ketika kebhinnekaan sedang dipertaruhkan, maka Presiden mesti berada di depan untuk menegaskan “NKRI Tanpa Koma”.

Ketika semua isu sensitif seperti agama, etnis, antikomunis, digelontorkan; maka Presiden harus berada di garda depan menentukan arah kebijakan hukum yang adil dan seimbang antara membebaskan dan membatasi.

Kepada yang anarkis tegakkan hukum setegas mungkin. Kepada yang kritis, berikan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa perlu khawatir dipidana makarkan.

Pada akhirnya, Presiden berkewajiban menunjukkan hukum yang seimbang antara membebaskan dan membatasi adalah hukum yang memang tahu menempatkan diri sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Meskipun, jangan lupa, hukum juga adalah hasil dialektika kebutuhan masyarakat itu sendiri. Atau, dalam proses legislasi, hukum adalah hasil deliberasi dari berbagai aspirasi masyarakat yang diperdebatkan oleh perwakilan politik di parlemen.

Bahkan, pada titik tertentu, ramuan hukum antara yang membebaskan dan membatasi itu mungkin tidak akan pernah menemukan adonannya yang pas dan seimbang.

Misalnya, dalam hal mengatur soal agama, maka ujung surat Al Kafirun menegaskan, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Justru, ayat itulah yang menjadi manifestasi dari puncak dialog keagamaan, yaitu dengan saling menjaga dan menghormati sebagai sesama insan manusia yang ber-Tuhan.

Keep on fighting for the better Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar