Kamis, 12 Januari 2017

Naluri Tribal Trump

Naluri Tribal Trump
R William Liddle ;  Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University,
Columbus, Ohio, Amerika Serikat
                                                      KOMPAS, 12 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presidensial Amerika Serikat November lalu mengejutkan banyak orang, termasuk saya. Kok, rakyat tega memilih orang yang sama sekali tidak memenuhi syarat untuk mengemban tugas sebagai presiden di negara yang saya cintai!

Setelah itu, saya mengikuti terus perkembangan lanjutnya.  Apa yang bisa dipelajari dari perilaku presiden terpilih Trump untuk mengerti tindakan-tindakan yang bakal diambilnya setelah dilantik 20 Januari?  Tentu saya maklum bahwa tindakan seorang presiden Amerika berpotensi berdampak besar kepada negara lain, termasuk Indonesia.

Singkat saja, saya simpulkan bahwa tindakan Trump akan terdorong terutama oleh naluri tribalnya.  "Suku" yang saya maksudkan dengan istilah tribal adalah orang putih yang beragama Yudeo-Kristen dan tentu berwarga negara Amerika.

Kemenangan Trump sangat bergantung pada dukungan kelompok ini, terutama kelas menengah dan menengah bawah di kota kecil dan perdesaan yang terabaikan oleh politisi lain.  Ia menang di negara bagian rust belt, ikat pinggang berkarat, sebab dia menanggapi langsung kekecewaan dan kemarahan yang meluas di sana.

Rust belt terdiri atas sejumlah negara bagian di barat daya yang pernah menjadi pusat industri.  Sayangnya, daerah itu kurang menikmati hasil globalisasi ekonomi sejak tahun 1990-an dan terpukul keras oleh resesi 2008.

Sejak itu, ekonomi Amerika umumnya membaik, tetapi kesenjangan antara kemakmuran kelas atas, terutama di pantai timur dan barat, dan ketertinggalan kelas bawah, khususnya di pedalaman, semakin menganga.

Berubah

Hasil pilpres yang paling mengagetkan adalah mayoritas suara yang diraih Trump di tiga negara bagian, yaitu Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.  Daerah itu mengandung 46 suara elektoral, cukup untuk memenangkan Hillary Clinton.  Ketiganya dianggap bagian teras dari blue firewall, tembok api biru, Partai Demokrat.  Michigan dan Pennsylvania setia terus-menerus kepada calon presiden Demokrat sejak 1992, sementara Wisconsin sejak 1988.  Kemenangan Trump betul-betul mengguncangkan para pemain.   

Kepekaan Trump pada keluhan kaum tertinggal akan berdampak besar pada kebijakan ekonomi internasionalnya, apalagi kalau kita ingat hasratnya untuk dipilih kembali pada 2020. Dari awal kampanyenya pada 2015, dia menentang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). TPP merupakan usaha utama Presiden Barack Obama untuk menjalin suatu hubungan baru di Asia di bawah kepemimpinan Amerika.

Kegagalan TPP berarti bahwa Tiongkok akan memainkan peran lebih besar di kawasan Asia dan Pasifik, yang pasti akan merugikan kepentingan negara seperti Indonesia.

Pengertian tribal Trump berisi pula prasangka ras dan agama.  Banyak orang putih merasa terancam oleh orang Amerika-Afrika, Hispanik, dan penganut agama Islam.

Secara demografis, Amerika sedang berubah.  Dari 1980 sampai 2014, persentase orang putih turun dari 80 persen menjadi 62 persen, sementara penduduk Hispanik melonjak dari 6 persen menjadi 17 persen.  Jumlah penduduk Amerika-Afrika dan Amerika-Asia juga tumbuh pesat.  Masyarakat Muslim di Amerika, kini 3,3 juta (sekitar 1 persen), akan berlipat dua pada 2050.

Sejauh mana kegelisahan demografis kaum putih Yudeo- Kristen bakal tecermin dalam kebijakan Presiden Trump?  Tindakannya selama ini cukup merisaukan.

Sedari 2011 Trump membangun basis dukungan politiknya melalui tuduhan rasis bahwa Presiden Obama tidak lahir di Amerika.  Dia berhasil.  Menurut poll NBC yang dirilis Agustus 2016, sebanyak 72 persen responden Partai Republik "masih meragukan" apakah Obama orang Amerika asli.  CNN melaporkan pada 2015 bahwa 43 persen pemilih Partai Republik percaya bahwa Obama beragama Islam.  Tak sulit menduga bahwa banyak orang-orang itu berprasangka buruk terhadap Islam.

Kabinet Trump

Pengangkatan awal anggota pemerintahannya juga memprihatinkan.  Senator Alabama Jeff Sessions dicalonkan selaku Jaksa Agung.  Pada 1986, pencalonan Sessions sebagai hakim federal ditolak setelah pernyataan dan perbuatan rasisnya terhadap orang Amerika-Afrika terungkap.  Sessions terkenal kini sebagai senator yang paling keras membela usul Trump untuk membangun sebuah tembok di perbatasan Meksiko serta membatasi imigrasi dari negara-negara mayoritas Muslim.

Jabatan National Security Advisor, Penasihat Keamanan Nasional, akan dipegang oleh Letnan Jenderal (pensiunan) Michael Flynn.  Posisi itu termasuk yang paling berpengaruh di Gedung Putih dan pernah diisi oleh Henry Kissinger dan Colin Powell.  Pemegangnya mengontrol aliran informasi tentang pertahanan nasional dan bertemu setiap hari dengan presiden.

Sayangnya, Flynn sudah lama dikenal sebagai tokoh intelijen yang paling mencurigai Islam.  Pada 2016 ia berkicau bahwa "ketakutan pada orang Islam adalah rasional".  Ia juga mengklaim melihat foto penunjuk jalan berbahasa Arab untuk digunakan kaum teroris di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko!  Klaim palsu itu langsung dibantah oleh perwira National Border Patrol Council, Dewan Nasional Patroli Perbatasan. 

Akhirul kata, harus diakui bahwa tidak semua orang yang diangkat Trump memberi kesan seekstrem Sessions dan Flynn.  Lagi pula, pandangan-pandangan Trump sendiri mungkin akan berubah setelah ia dilantik sebagaimana diramalkan oleh Presiden Obama.  Namun, kiranya cukup jelas bahwa sementara ini kita perlu bersikap waswas dan prihatin. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar