Politik
Sarungan
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 12 Januari
2017
Bukan
pertama kali Presiden Joko Widodo mengenakan sarung. Namun,
berjas-sarung-peci-sandal di acara resmi, barangkali benar-benar membuat
Presiden Jokowi tampil beda. Bersarungan sejak dari Istana Bogor sampai di
Pekalongan menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bersama Habib M
Lutfi bin Yahya dan mengunjungi Pesantren At-Taufiqy, Minggu (8/1). Foto
Jokowi diberi hormat komandan pesawat kepresidenan di Pangkalan Udara TNI AU
Halim Perdanakusuma Jakarta pun mencuri perhatian.
Belasan
tahun lalu, Presiden Gus Dur (1999-2001) memang selalu sarungan. Itusih
lumrah saja. Maklum, Gus Dur adalah tokoh kaum sarungan, sebutan lain warga
Nahdlatul Ulama (nahdliyin). Sebaliknya Jokowi, adalah kader PDI-P yang
nasionalis. Busana Jokowi sebetulnya biasa saja, sesuai konteksnya. Maksudnya
sarungan pas saat mengunjungi komunitas pesantren. Kemiripan bisa membuat
komunikasi lebih cair.
Akan
tetapi, gaya busana Jokowi bersarungan itu sebetulnya bisa dibaca sebagai
"simbol" dalam merespons situasi sosial- politik akhir-akhir ini,
seperti isu intoleransi, ancaman kebinekaan, radikalisme, dan dugaan makar.
Simbol itu adalah identitas "keindonesiaan" atau "kepribadian
nasional". Gaya berpakaian "jas-sarung-peci" menjadi identitas
Indonesia.
Indonesia
ibarat kuali peleburan (melting pot) kebudayaan. Terjadi difusi, akulturasi,
dan asimilasi. Sarung dibawa dari Yaman. Jas tentu produk budaya Barat
(Eropa). Peci, meskipun terpengaruh dari Turki, adalah asli Indonesia
(Melayu). Jadilah sebuah identitas baru. Sebab, di Barat jas tidak dikenakan
bersama peci. Di Yaman, sarung berfungsi selimut tidur. Hanya di Indonesia,
peci menjadi simbol perlawanan.
Di
Surabaya, pada tahun 1921, peserta rapat Jong Java mencemooh peci sebagai
ciri rakyat jelata. Meskipun awalnya bimbang, Bung Karno akhirnya menghadiri
rapat mengenakan peci. Peserta rapat pun terperangah. "Demi tercapainya
cita- cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal
dari rakyat, bukan berada di atas rakyat," ujar Bung Karno memecah
kesunyian, seraya menambahkan, "Kita memerlukan sebuah simbol dari
kepribadian Indonesia." (Cindy Adams, 1965, Bung Karno Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia).
Bagi
Bung Karno, peci adalah simbol kepribadian sekaligus perlawanan terhadap
kecongkakan. Hampir sepanjang hidupnya, Bung Karno selalu bangga berpeci di
mana pun. Peci pun amat politis, bentuk perlawanan terhadap imperialisme.
Para pendiri bangsa pada awal abad ke-20 rata-rata mengenakan peci untuk
menumbuhkan heroisme dan nasionalisme. Pendiri bangsa, seperti HOS
Cokroaminoto atau Tjipto Mangunkusumo, pun melepaskan belangkonnya.
Bisa
jadi karena simbol perlawanan, sejumlah tokoh dunia juga bangga dengan
pakaian kebesarannya. Pejuang Palestina Yasser Arafat (1929-2004) selalu
berseragam militer lengkap dengan kafiyeh-nya. Mantan PM India Jawaharlal
Nehru (1889-1964) selalu tampil dengan achkan, pakaian khas India. Mantan PM
Myanmar U Nu (1907-1995) selalu berpakaian khas longyi, mirip sarung
Indonesia. Pendiri Tiongkok, Mao Tse Tung (1893-1976), selalu berbaju safari
khas model zhongshan.
Jokowi
seperti mengingatkan kembali tentang simbol kepribadian nasional, di tengah
ancaman terhadap kebinekaan. "Kalau ada yang mau macam-macam, Bapak
Presiden, Pak Wapres, panggil saja kita," tegas Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri di arena perayaan HUT ke-44 PDI-P, Selasa (10/1). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar