Bloomberg,
Bank Dunia, dan JP Morgan
Budi Santosa ; Guru Besar Teknik Industri ITS Surabaya
|
JAWA POS, 11 Januari
2017
LAPORAN
Bloomberg akhir 2016 yang menyajikan kinerja beberapa pemimpin Asia dan
Australia sempat menjadi polemik. Polemik terjadi berkenaan dengan pemberian
gelar pemimpin terbaik Asia-Australia untuk Jokowi. Beberapa pihak
mengkritisi bahwa Bloomberg tidak pernah menyebut itu.
Sementara
Bank Dunia (World Bank) mengeluarkan hasil surveinya mengenai kemudahan
menjalankan bisnis yang mengangkat peringkat Indonesia melewati beberapa
negara. Di berita lain, pemerintah memutus kontrak dengan JPMorgan karena
lembaga itu menurunkan ranking Indonesia dari overweight ke underweight
dalam hal surat utang negara.
Para
pemimpin itu dinilai dari tiga aspek, yaitu tingkat pertumbuhan nilai tukar
mata uang, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat dukungan publik. Untuk tiga aspek
tersebut, memang Jokowi mendapatkan nilai positif. Sebagai contoh, dari sisi
tingkat dukungan publik, Jokowi mendapatkan nilai 69 persen. Nilai itu lebih
rendah daripada nilai Duterte dari Filipina yang mencapai 83 persen. Presiden
Filipina tersebut mendapat nilai begitu tinggi, tapi di sisi nilai tukar mata
uang pertumbuhan peso negatif.
Presiden
Xi Jinping dari Tiongkok mendapatkan nilai pertumbuhan ekonomi yang sangat
tinggi 6,7 persen, tetapi nilai tukar renminbi negatif. Atau, Perdana Menteri
India Narendra Modi mencapai 7,3 persen dalam pertumbuhan ekonomi dan 81
persen dalam dukungan publik. Namun, nilai tukar mata uangnya negatif. Hanya
Jokowi yang, meski pertumbuhan ekonomi hanya 5,02 persen, berhasil menjaga
nilai tukar rupiah 2,41 persen. Malaysia sebagai negara tetangga yang sering
dijadikan pembanding juga mengalami penurunan nilai tukar serta pertumbuhan ekonomi
yang masih di bawah Indonesia, 4,3 persen.
Sementara
lewat survei rutinnya dalam ease of
doing business 2017 (kemudahan menjalankan bisnis) oleh Bank Dunia,
ranking Indonesia naik dari urutan ke-109 pada 2016 menjadi ke-91 pada 2017.
Survei tersebut bersifat prediktif dengan melihat kondisi sebelumnya. Dari 10
komponen yang dinilai seperti memulai bisnis, membayar pajak, mendapatkan
sambungan listrik, dan mendapatkan kredit, semua komponen mengalami
perbaikan. Kecuali perlindungan bagi investor minoritas, nilai Indonesia
mengalami penurunan.
Namun,
hasil positif oleh dua lembaga independen itu justru tidak terjadi pada hasil
penilaian konsultan pemerintah JPMorgan Chase Bank. Pada November 2016,
JPMorgan mengeluarkan pernyataan yang isinya menurunkan peringkat surat utang
Indonesia sebanyak dua tingkat. Peringkat surat utang Indonesia itu turun
dari overweight menjadi underweight. Rilis juga merekomendasikan adanya
alokasi ulang portofolio pada investor terhadap negara-negara berkembang
seperti Indonesia, Turki, Brasil, dan Malaysia.
Pemerintah
memutus kemitraan tersebut terkait dengan hasil riset JPMorgan Chase Bank
N.A. yang dinilai tidak kredibel dan akurat. Hal ini dikhawatirkan berpotensi
menciptakan gangguan stabilitas sistem keuangan nasional. Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati memutus kontrak dan mencoret JPMorgan Chase Bank
sebagai salah satu bank persepsi program tax amnesty dan juga diler utama
surat utang negara (SUN).
Meski
tidak ada pernyataan resmi Indonesia seharusnya di peringkat apa, pemerintah
menilai peringkat Indonesia pada underweight adalah tidak benar. Sebagai
pembanding, Brasil yang sedang dilanda gejolak politik justru hanya turun
dari overweight ke neutral. Sementara Malaysia yang juga dilanda krisis
politik justru naik ke peringkat overweight. Itu dianggap bahwa JPMorgan
kurang kredibel dan akurat.
Mencermati
hasil tiga lembaga tersebut, tentu kita bisa melakukan analisis objektif
bahwa Bloomberg dan Bank Dunia adalah lembaga atau badan yang independen.
Indonesia tidak bisa menuntut atas hasil temuan mereka.
Kita
patut memberikan apresiasi atas keberanian Menkeu memutus kontrak dengan
JPMorgan. Karena kerja sama dengan JPMorgan lebih banyak merugikan
pemerintah. Karena masih banyak bank persepsi untuk program tax amnesty
maupun sebagai diler utama SUN Indonesia.
Secara
keseluruhan, kita perlu mengapresiasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi.
Tentu masih banyak indikator di luar ekonomi di mana kinerja pemerintah masih
perlu ditingkatkan, misalnya di bidang hukum. Penilaian yang objektif
dibutuhkan untuk mengimbangi isu-isu politis atau agama yang berkaitan dengan
pilkada DKI Jakarta yang beberapa waktu terakhir sempat menjadi bola panas.
Sebagaimana dinyatakan Bloomberg, tantangan terbesar 2017 yang dihadapi
Jokowi adalah memastikan bahwa rencananya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
tidak tergelincir, terutama saat dia harus menenangkan kelompok-kelompok
Islam yang ingin mencegah salah satu dari sekutunya untuk menjadi gubernur
beragama Kristen terpilih pertama di Jakarta.
Tantangan
tersebut memang cukup berat. Sebab, langkah hukum yang sedang diambil
pemerintah masih menghadapi tekanan keras dari kelompok-kelompok yang tidak
ingin Ahok ikut dan memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Presiden
tidak boleh ikut mencampuri urusan proses peradilan. Kita berharap semua
penegak hukum bisa bersikap adil dan berpikir untuk kepentingan negara.
Dengan begitu, capaian di bidang ekonomi tidak akan turun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar