Kamis, 12 Januari 2017

Bloomberg, Bank Dunia, dan JP Morgan

Bloomberg, Bank Dunia, dan JP Morgan
Budi Santosa ;  Guru Besar Teknik Industri ITS Surabaya
                                                    JAWA POS, 11 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

LAPORAN Bloomberg akhir 2016 yang menyajikan kinerja beberapa pemimpin Asia dan Australia sempat menjadi polemik. Polemik terjadi berkenaan dengan pemberian gelar pemimpin terbaik Asia-Australia untuk Jokowi. Beberapa pihak mengkritisi bahwa Bloomberg tidak pernah menyebut itu.

Sementara Bank Dunia (World Bank) mengeluarkan hasil surveinya mengenai kemudahan menjalankan bisnis yang mengangkat peringkat Indonesia melewati beberapa negara. Di berita lain, pemerintah memutus kontrak dengan JPMorgan karena lembaga itu menurunkan ranking Indonesia dari overweight ke underweight dalam hal surat utang negara.

Para pemimpin itu dinilai dari tiga aspek, yaitu tingkat pertumbuhan nilai tukar mata uang, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat dukungan publik. Untuk tiga aspek tersebut, memang Jokowi mendapatkan nilai positif. Sebagai contoh, dari sisi tingkat dukungan publik, Jokowi mendapatkan nilai 69 persen. Nilai itu lebih rendah daripada nilai Duterte dari Filipina yang mencapai 83 persen. Presiden Filipina tersebut mendapat nilai begitu tinggi, tapi di sisi nilai tukar mata uang pertumbuhan peso negatif.

Presiden Xi Jinping dari Tiongkok mendapatkan nilai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi 6,7 persen, tetapi nilai tukar renminbi negatif. Atau, Perdana Menteri India Narendra Modi mencapai 7,3 persen dalam pertumbuhan ekonomi dan 81 persen dalam dukungan publik. Namun, nilai tukar mata uangnya negatif. Hanya Jokowi yang, meski pertumbuhan ekonomi hanya 5,02 persen, berhasil menjaga nilai tukar rupiah 2,41 persen. Malaysia sebagai negara tetangga yang sering dijadikan pembanding juga mengalami penurunan nilai tukar serta pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah Indonesia, 4,3 persen.

Sementara lewat survei rutinnya dalam ease of doing business 2017 (kemudahan menjalankan bisnis) oleh Bank Dunia, ranking Indonesia naik dari urutan ke-109 pada 2016 menjadi ke-91 pada 2017. Survei tersebut bersifat prediktif dengan melihat kondisi sebelumnya. Dari 10 komponen yang dinilai seperti memulai bisnis, membayar pajak, mendapatkan sambungan listrik, dan mendapatkan kredit, semua komponen mengalami perbaikan. Kecuali perlindungan bagi investor minoritas, nilai Indonesia mengalami penurunan.

Namun, hasil positif oleh dua lembaga independen itu justru tidak terjadi pada hasil penilaian konsultan pemerintah JPMorgan Chase Bank. Pada November 2016, JPMorgan mengeluarkan pernyataan yang isinya menurunkan peringkat surat utang Indonesia sebanyak dua tingkat. Peringkat surat utang Indonesia itu turun dari overweight menjadi underweight. Rilis juga merekomendasikan adanya alokasi ulang portofolio pada investor terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia, Turki, Brasil, dan Malaysia.

Pemerintah memutus kemitraan tersebut terkait dengan hasil riset JPMorgan Chase Bank N.A. yang dinilai tidak kredibel dan akurat. Hal ini dikhawatirkan berpotensi menciptakan gangguan stabilitas sistem keuangan nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutus kontrak dan mencoret JPMorgan Chase Bank sebagai salah satu bank persepsi program tax amnesty dan juga diler utama surat utang negara (SUN).

Meski tidak ada pernyataan resmi Indonesia seharusnya di peringkat apa, pemerintah menilai peringkat Indonesia pada underweight adalah tidak benar. Sebagai pembanding, Brasil yang sedang dilanda gejolak politik justru hanya turun dari overweight ke neutral. Sementara Malaysia yang juga dilanda krisis politik justru naik ke peringkat overweight. Itu dianggap bahwa JPMorgan kurang kredibel dan akurat.

Mencermati hasil tiga lembaga tersebut, tentu kita bisa melakukan analisis objektif bahwa Bloomberg dan Bank Dunia adalah lembaga atau badan yang independen. Indonesia tidak bisa menuntut atas hasil temuan mereka.

Kita patut memberikan apresiasi atas keberanian Menkeu memutus kontrak dengan JPMorgan. Karena kerja sama dengan JPMorgan lebih banyak merugikan pemerintah. Karena masih banyak bank persepsi untuk program tax amnesty maupun sebagai diler utama SUN Indonesia.

Secara keseluruhan, kita perlu mengapresiasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Tentu masih banyak indikator di luar ekonomi di mana kinerja pemerintah masih perlu ditingkatkan, misalnya di bidang hukum. Penilaian yang objektif dibutuhkan untuk mengimbangi isu-isu politis atau agama yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta yang beberapa waktu terakhir sempat menjadi bola panas. Sebagaimana dinyatakan Bloomberg, tantangan terbesar 2017 yang dihadapi Jokowi adalah memastikan bahwa rencananya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak tergelincir, terutama saat dia harus menenangkan kelompok-kelompok Islam yang ingin mencegah salah satu dari sekutunya untuk menjadi gubernur beragama Kristen terpilih pertama di Jakarta.

Tantangan tersebut memang cukup berat. Sebab, langkah hukum yang sedang diambil pemerintah masih menghadapi tekanan keras dari kelompok-kelompok yang tidak ingin Ahok ikut dan memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta.

Presiden tidak boleh ikut mencampuri urusan proses peradilan. Kita berharap semua penegak hukum bisa bersikap adil dan berpikir untuk kepentingan negara. Dengan begitu, capaian di bidang ekonomi tidak akan turun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar