Kesalehan
dan Kekerasan
F Budi Hardiman ; Pengajar
Filsafat di STF Driyarkara
|
KOMPAS, 06 Januari
2017
Akal
sehat membantah bahwa kekerasan dapat muncul dari kesalehan. Orang yang saleh
mustahil melakukan kekerasan, dan pelaku kekerasan pastilah tidak saleh.
Jika
kesalehan terletak pada kepatuhan terhadap perintah Tuhan, tentulah pelaku
kekerasan—sekalipun atas nama Tuhan —entah tidak saleh atau menghujat Tuhan.
Alasan kedua hal ini sama: tak mungkin Tuhan memerintahkan hal yang jahat. Lalu,
bagaimana menjelaskan kekerasan atas nama Tuhan yang dilakukan teroris dan
kaum radikalis agama yang kerap melakukan aksi-aksi intoleran yang juga
terjadi di negeri kita?
Mengasalkan
radikalisme religius pada cara berpikir pastilah tidak memadai karena agama
lebih daripada pikiran. Lagi pula boleh disangsikan bahwa mereka berpikir
dengan logika yang sehat. Kebencian telah mendistorsi pikiran yang
mencari-cari pembenaran pada ayat-ayat agama. Meski demikian, boleh diduga
bahwa dalam taraf tertentu radikalisme lahir dari suatu cara berpikir juga.
Kekerasan dan perintah
Tuhan
Cukup
sering diberitakan bahwa dalam keseharian, pelaku teror dan aksi intoleran
itu berperilaku santun. Mereka bukan monster sadis yang haus darah, melainkan
warga baik-baik yang taat beragama. Dari pengakuan mereka diketahui bahwa
mereka berpikiran religius, yakni–seperti semua orang saleh—memandang
perintah Tuhan sebagai sumber kebenaran.
Meledakkan
bom di ransel atau melakukan persekusi terhadap kaum yang mereka anggap
”kafir” atau ”sesat” merupakan ungkapan keyakinan mereka akan perintah Tuhan
dan niat saleh untuk membela agama. Mereka ingin disambut sebagai ”pengantin”
dalam dunia di balik maut.
Keyakinan
itu menentang semua keyakinan religius yang sehat. Tuhan, Yang Absolut Baik,
mustahil memerintahkan kekejian. Dilihat murni sebagai problem logika,
perversi keyakinan itu dimulai dari hubungan dilematis antara kesalehan dan
kepatuhan pada perintah Tuhan.
Lebih
dari dua milenium yang silam, Plato, filsuf yang hidup di tengah politeisme
Yunani kuno, telah menulis problem ini. Dalam dialog Euthyphro, lewat mulut
Sokrates, ia mengajukan pertanyaan yang termasyhur: ”Apakah orang saleh
dikasihi dewa-dewa karena ia saleh, atau ia saleh karena ia dikasihi
dewa-dewa?” Ini tentu pertanyaan sulit.
Marilah
pertanyaan itu kita ubah sedikit menjadi: ”Apakah Tuhan memerintahkan
tindakan tertentu karena tindakan itu secara moral baik atau tindakan itu
baik secara moral karena Tuhan memerintahkannya?” Tiap pilihan akan jatuh
pada kesulitan sehingga keduanya menjadi dilematis untuk dipilih.
Pada
pilihan pertama, jika Tuhan memerintahkan sesuatu karena sesuatu itu baik,
Dia hanya menyesuaikan diri dengan moral dan tidak berdaulat atasnya. Pada
pilihan kedua lebih sulit lagi untuk dipilih. Jika sesuatu itu baik karena
Dia memerintahkannya, kekerasan dan aksi intoleran bisa baik secara moral
karena dianggap perintah Tuhan. Aksi teror dan persekusi atas umat lain
keyakinan bisa menjadi kewajiban moral jika dianggap perintah Tuhan.
Euthyphro sendiri yang seorang ulama menyarankan kepada Sokrates bahwa
kesalehan adalah persekusi atas penista agama.
Para
”pengantin’ maut dan persekutor religius sudah senantiasa hidup dalam pilihan
kedua dalam ”dilema Euthyphro” itu. Jika tidak lewat pola asuh, indoktrinasi
dan provokasi telah menjauhkan mereka dari kegelisahan suara hati atas
implikasi-implikasi etis tindakan.
Adalah
nyaman berkeyakinan bahwa tindakan apa pun baik karena Tuhan memerintahkannya
seperti tertulis di kitab suci karena nalar tak perlu lagi memeriksa atau
menafsirkan alasan dan akibat moral tindakan-tindakan. Cukup percaya saja,
jangan pernah mempertanyakan.
Apabila
dicermati, dilema Euthyphro sebenarnya tak perlu dilematis asalkan
berlangsung penalaran yang sehat tentang Tuhan dan perintah-Nya. Akal budi
yang sehat tahu bahwa Tuhan adalah Yang Absolut Baik, maka Dia tak tunduk
pada hukum moral di luar diri-Nya karena Dia sumber moral itu sendiri, dan
moral tak membenarkan kekerasan. Mustahil Tuhan yang Maha Kasih memerintahkan
aksi bom bunuh diri karena Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang sadis. Juga
mustahil Tuhan yang Maha Kuasa membutuhkan pembelaan kita, misalnya lewat
aksi massa, karena apabila demikian, Dia adalah Tuhan yang lemah. Namun,
mengapa penalaran sehat itu seolah tertutup bagi mereka?
Alasannya
mungkin lebih psikologis-politis daripada logis. Mereka telah memutuskan
membenci target mereka. Sebagai ganti mengatasi kebencian dengan akal sehat,
akal dikooptasi kebencian sehingga menjadi sakit dan terdistorsi sentimen-sentimen
dan prasangka-prasangka. Perintah Tuhan yang Maha Kasih pun diselewengkan
untuk membenarkan kepentingan-kepentingan politis dalam horizon tradisi
kebencian.
Dipenuhi
kebencian berbalut kesalehan, mereka siap menyongsong kematian mereka
sendiri. Kematian pun kembali memesona karena dipersepsi kembali sebagai
akses ke keabadian dan bukan sekadar berhentinya ego sebagaimana dipahami
dalam sekularitas. Kematian si saleh ini, tanpa kasih dan pengampunan,
menyisakan ketakutan dan kehancuran. Kesalehan macam ini disebut Plato
perdagangan dengan Tuhan: mereka memberi kurban untuk mendapat pahala
surgawi.
Kesalehan dan publik
Dalam
negara hukum modern, yang religius dipisahkan dari yang moral, maka kesalehan
religius adalah perkara privat yang tak perlu dibawa ke ruang publik.
Mendesakkan konsep partikular tentang perintah Tuhan kepada
institusi-institusi publik dihitung sebagai politik sektarian yang dapat
mengancam kemajemukan. Namun, sikap mendua akan mengubah kesalehan menjadi
kemunafikan. Masalah kesalehan adalah bagaimana yang religius, yaitu yang
baik menurut Tuhan, dan yang moral, yaitu yang baik menurut manusia, dapat
disatukan sekaligus dalam satu ide.
Orang
tentu harus saleh menurut agamanya, bahkan wajar, kesalehan itu diungkapnya
secara publik sebagai kesaksian imannya. Namun. kesalehan publik itu tak akan
merusak toleransi religius apabila orang bersikap moderat dan inklusif
terhadap yang lain dalam keberlainannya. Kesalehannya bersumber dari iman
yang mengakui kemajemukan manusia sebagai berkat Tuhan.
Jadi,
kesalehan seharusnya tak menakutkan, mengancam, dan memaksa, tetapi membawa
damai bagi yang lain. Yang religius dan yang moral akan menyatu dalam
kesalehan publik yang sinkron dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Tokoh-tokoh besar, seperti Abdurrahman Wahid, Martin Luther King Jr, dan
Mahatma Gandhi, telah mempraktikkan kesalehan publik ini.
Mungkin
sebaiknya tak terlalu definitif tentang hal ini. Dialog Euthyphro pun
berakhir dengan aporia, jalan buntu. Euthyphro, ulama itu, meninggalkan
Sokrates karena frustrasi oleh ketidaktahuannya tentang hakikat kesalehan.
Ini tentu teguran bagi mereka yang berlagak tahu apa itu kesalehan yang pada
gilirannya terjebak dalam radikalisme dan fanatisme agama yang memakai
kesalehan sebagai kedok dari ambisi berkuasa (the will-to-power).
Kesalehan
manusia mestinya lebih merupakan pengakuan akan keterbatasannya di hadapan
yang tak terbatas daripada sebuah klaim pengetahuan final tentang perintah
Tuhan. Sebagai makhluk terbatas, orang saleh sadar masih mencari kebenaran.
Perintah
Tuhan memiliki kebenaran final, tetapi pemahaman manusia atasnya tak pernah
selesai, juga tergantung interpretasi aliran-aliran, denominasi-denominasi,
sekte-sekte. Jadi, sebaiknya rileks saja agar tetap sehat dalam beriman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar