”Holding”
BPJS
Amri Yusuf ; Mantan
Direksi BPJS dan Pengamat Jaminan Sosial
|
KOMPAS, 06 Januari
2017
Dalam
suatu kesempatan, beberapa bulan sebelum BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK)
diresmikan beroperasi penuh pada awal Juli 2015 di Cilacap, direksi BPJS TK
mendapat kesempatan untuk melakukan audiensi dengan Presiden Jokowi di istana
kepresidenan.
Elvyn
G Masassya selaku direktur utama melaporkan persiapan peresmian operasional
penuh BPJS TK dan menyampaikan progres pelaksanaan program jaminan sosial
yang dikelola BPJS TK tiga tahun terakhir. Presiden selain memberikan
apresiasi atas pencapaian BPJS TK juga menegaskan komitmennya untuk mendukung
penuh berbagai inisiatif BPJS TK dalam implementasi program jaminan sosial di
Indonesia. Yang agak di luar perkiraan, Presiden juga menyampaikan evaluasi
pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
JKN,
menurut Presiden, masih perlu banyak perbaikan, seperti kualitas pelayanan,
manajemen klaim, dan perluasan kepesertaan kepada kelompok yang mampu
membayar iuran, sehingga bisa menekan potensi defisit pembiayaan yang waktu
itu mencapai Rp 6 triliun. Presiden menyampaikan kegalauan dan
keprihatinannya terhadap kondisi yang sedang dihadapi BPJS Kesehatan kala
itu.
Merespons
apa yang menjadi kegalauan Presiden, Elvyn menyampaikan beberapa masukan
kepada Presiden untuk mengatasi sejumlah masalah implementasi jaminan sosial
di Indonesia. Salah satunya yang mendapatkan perhatian serius Presiden, ide
pembentukan holding BPJS di Indonesia. Elvyn menyampaikan, berbagai inisiatif
dan komitmen pemerintah terhadap implementasi jaminan sosial sebagai pilar
negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia sudah cukup baik dan
relatif lengkap. Namun, ada empat masalah pokok yang harus segera
diantisipasi: (1) tumpang tindih kebijakan perlindungan sosial; (2)
fragmentasi program dan layanan kepada masyarakat; (3) inefisiensi
infrastruktur layanan dari setiap penyelenggara program; serta (4) monitoring
dan evaluasi yang tidak efektif.
Berbagai
program jaminan, kesejahteraan, dan perlindungan sosial (social protection) di Indonesia, seperti program jaminan hari
tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan kesehatan, program
tabungan perumahan, dan program-program bantuan sosial lain, seperti Kartu
Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera
(KKS), dan Kartu Disabilitas (KD), yang masih terfragmentasi tersebut perlu
dikonsolidasi suatu badan khusus seperti holding agar implementasi kebijakan
jaminan sosial di Indonesia lebih efisien, efektif, dan kuat (powerfull).
Holding
ini akan bertindak sebagai kepanjangan tangan Presiden dalam mengoordinasi,
mengontrol, dan mendukung implementasi sejumlah program jaminan sosial di
Indonesia. Presiden menginstruksikan kementerian terkait untuk mengagendakan
dan membahas secara khusus isu itu pada suatu rapat terbatas.
Esensi ”holding”
Ide
pembentukan holding BPJS berangkat dari pemikiran saat ini eksistensi
lembaga-lembaga penyelenggara program jaminan sosial yang ada, yang notabene
semua kepanjangan tangan pemerintah, masih cenderung bergerak sendiri-sendiri
dengan basis ketentuan yang juga tumpang tindih. Ikhtiar untuk meretas
fragmentasi praktik jaminan sosial melalui UU SJSN dan UU BPJS sampai hari
ini tak menampakkan hasil menggembirakan.
Oleh
sebab itu, diperlukan suatu lembaga atau badan khusus yang diberi otoritas
untuk mengoordinasi dan mengonsolidasi berbagai inisiatif yang dilakukan
setiap lembaga dalam bentuk holding. Holding BPJS, secara esensial
diproyeksikan selain mendorong pencapaian skala ekonomi pengelolaan program,
juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, sinergi, dan
produktivitas operasional dari institusi-institusi jaminan sosial yang ada.
Program akuisisi program JKN untuk sektor korporasi dan mampu membayar iuran,
misalnya, akan lebih efektif dan optimal jika prosesnya disinergikan dan
diintegrasikan dengan program akuisisi program BPJS TK.
Dana
jaminan sosial yang terkumpul dan belum digunakan setiap lembaga untuk
membayar benefit dapat dioptimalkan untuk membantu ekonomi nasional. Kartu
jaminan sosial yang selama ini diterbitkan setiap lembaga bisa diintegrasikan
jadi tunggal dan diberi nama kartu jaminan sosial Republik Indonesia (single
identity number).
Kedudukan
holding tak bersifat operasional, tetapi lebih bersifat strategis. Holding
tak akan mengambil alih fungsi dan peran BPJS yang ada saat ini, tetapi hanya
bersifat mendukung dan mendorong agar masing-masing badan (BPJS) bisa lebih
fokus dan optimal menjalankan tanggung jawabnya. Secara spesifik, fungsi
holding antara lain: (1) menyiapkan berbagai regulasi, kebijakan, dan
strategi yang koheren dan integratif untuk seluruh badan (BPJS); (2) memberi
dukungan penuh (full supporting) kepada setiap BPJS dalam hal perencanaan,
keuangan, dan SDM; (3) menyiapkan sistem IT dan basis data yang terintegrasi
dengan platform yang sama untuk seluruh BPJS; (4) membantu menyiapkan
kantor-kantor layanan dan jaringan distribusi, yang bisa digunakan secara
bersama (fisik dan e-service) dengan standar dan kualitas layanan yang
setara; (5) mengonsolidasi, mengontrol, dan mengendalikan berbagai inisiatif
agar tercipta sinergi antarlembaga atau badan.
Kehadiran
holding tak dimaksudkan mengeliminasi peran Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN), tetapi akan menjadi mitra untuk memperkuat implementasi program
jaminan sosial di Indonesia. DJSN tetap berfungsi sebagai pengawas eksternal,
menyiapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Sementara
holding berperan mendukung dan supervisi internal, membantu menyiapkan
kebijakan strategis dan peta jalan program jaminan sosial untuk jangka
panjang serta mengonsolidasi berbagai inisiatif dari lembaga penyelenggara.
Untuk
mengeksekusi ide ini, ada dua alternatif bisnis model holding yang mungkin
bisa dipertimbangkan. Pertama, holding BPJS dibentuk dan berada langsung di
bawah Presiden. Holding akan membantu Presiden mengonsolidasi dan
mengintegrasikan berbagai inisiatif program jaminan sosial dan
mengoordinasikannya dengan lembaga terkait, seperti kementerian dan lembaga
legislatif. Struktur di bawahnya adalah BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan,
PT Taspen (Persero), PT ASABRI (Persero), PT Jasaraharja, dan Bapertarum.
Setiap
lembaga tetap beroperasi dan mengelola program seperti biasa, hanya saja kebijakan
operasional, layanan, kompetensi SDM, sistem IT dan basis data
distandardisasi dan diintegrasikan oleh holding BPJS. Dengan format ini, PT
Taspen dan PT ASABRI tetap eksis dan tak perlu dilikuidasi dan meleburkan
diri seperti amanat UU No 24/2011. Taspen dan ASABRI hanya perlu mengonversi
bentuk badan hukumnya dari korporasi (BUMN) menjadi lembaga jaminan sosial
berbasis badan hukum publik.
Alternatif
kedua, holding BPJS langsung di bawah Presiden, tetapi struktur di bawahnya
dirancang berdasarkan program dan segmen peserta yang dilayani. Sementara
aktivitas pengelolaan dana investasi sebagai akibat dari akumulasi iuran yang
belum digunakan untuk membayar klaim, dari setiap BPJS dihimpun (pooling) dan
dikelola badan khusus yang dibentuk untuk itu dan fokusnya hanya untuk
pengelolaan dan pengembangan dana investasi.
Kebijakan
pooling fund ini akan menambah kekuatan dan posisi tawar dana jaminan sosial
untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi di Indonesia. Semua lembaga di
bawah holding, seperti BPJS TK, BPJS Kesehatan, Taspen, ASABRI, Jasaharja,
dan Bapertarum tetap beroperasi seperti biasa dan aktivitasnya hanya fokus
pada pengelolaan program, perluasan kepesertaan, dan memberikan layanan
kepada peserta.
Kondisi
ini mirip di Malaysia, yaitu tata kelola program jaminan sosialnya dijalankan
empat badan yang terpisah. Employee Provident Fund (EPF) atau Kumpulan Wang
Simpanan Pekerja (KWSP) mengelola tabungan dengan kepesertaan wajib bagi
pekerja swasta. Social Security Organization (Sosco) atau Pertumbuhan
Kemalangan Sosial (Perkeso) mengelola asuransi kecelakaan kerja dan pensiun
cacat bagi pekerja swasta. Pension System for Civil Servant (PSCS) atau
Kumpulan Wang Aparatur Pemerintah (KWAP) mengelola program pensiun pegawai
sipil pemerintahan (dibiayai APBN). Armed Forces Saving Board (AFSB) atau
Lembaga Tabungan Angkatan Tentara (LTAT) mengelola program pensiun untuk
personel militer (dibiayai APBN).
Melanjutkan reformasi
Wacana
yang digulirkan Elvyn pernah dibahas dalam rapat terbatas yang dihadiri
sejumlah menteri, anggota DJSN, dan lembaga terkait. Hasilnya pun sudah
dilaporkan kepada Presiden. Gagasan untuk meretas berbagai hambatan
optimalisasi implementasi program jaminan sosial di Indonesia layak
didiskusikan kembali.
Kita
perlu sistem jaminan sosial yang kuat, solid, dan terintegrasi guna
mewujudkan visi universal coverage sebagai pilar utama negara kesejahteraan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan buruh sekaligus memperkuat ekonomi
nasional. Holding BPJS adalah salah satu ikhtiar untuk mengonsolidasi,
mengintegrasi, mengoordinasi, serta memperkuat peran dan fungsi berbagai
lembaga jaminan sosial yang sudah eksis pada level operasional, tanpa harus
mengeliminasi/melikuidasi keberadaan mereka.
Untuk
mewujudkan itu, agenda reformasi sistem jaminan sosial harus dilanjutkan
kembali. Kita perlu segera mengevaluasi arah perkembangan praktik jaminan
sosial di Indonesia saat ini. Berbagai UU terkait, seperti UU SJSN, UU BPJS,
UU Kesejahteraan Sosial, UU Ketenagakerjaan, UU Tapera, dan UU ASN, perlu
dikaji ulang, direvisi, disinkronisasi, dan diharmonisasi agar tak saling
tumpang tindih. Tumpang tindih ketentuan peraturan perundangan dapat
berakibat tak optimalnya implementasi sistem JSN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar