Politik
Hukum Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting
Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of
Melbourne
|
KOMPAS.COM, 05 Januari
2017
Mengawali
tahun 2017, Catatan Kamisan kali ini saya dedikasikan untuk membaca politik
hukum di tanah air, utamanya menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta
2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kedua perhelatan politik itu saya
anggap penting dan akan terus menjadi faktor penentu dinamika dan arah
perjalanan bangsa ini ke depan.
Kita
semua paham, bahwa ada 101 Pemilihan Kepala Daerah di tahun 2017, Pilgub
Jakarta hanyalah salah satunya. Namun, kita semua juga harus menerima
kenyataan bahwa bobot politik Pilgub Jakarta memang berbeda dan lebih menjadi
primadona pemberitaan dibandingkan 100 Pilkada lainnya.
Tentu
ada banyak faktor yang menentukan kenapa Pilgub Jakarta punya daya tarik
lebih. Di samping memang politik dan ekonomi kita masih sangat Jakarta
sentris, fakta politik yang dibangun setelah Gubernur Jakarta Joko Widodo
berhasil menjadi Presiden Indonesia menyebabkan harga politik Jakarta pasti
meningkat.
Sebenarnya
ini adalah kegagalan pembangunan politik di tanah air, yang terlalu berpusat
dengan Jakarta yang adalah pusat segalanya: ibukota negara, pusat politik
pemerintahan, dan pusat dunia bisnis sekaligus.
Di
banyak negara yang tingkat demokrasinya relatif lebih mapan, sebutlah Amerika
Serikat dan Australia, menjadi gubernur dari ibu kota negara bukan berarti
mempunyai nilai lebih lebih dibandingkan kepala daerah lainnya.
Bahkan,
calon presiden tidak hanya datang dari posisi kepala daerah, tetapi juga
anggota Senat (seperti Presiden Obama), atau bahkan pengusaha Donald Trump,
presiden terpilih 2016 yang akan dilantik menjadi Presiden Amerika ke-45 pada
20 Januri 2017 yang akan datang.
Untuk
Indonesia, kans politik Gubernur Jakarta tetap punya bobot lebih tinggi
dibandingkan kepala daerah lainnya untuk menjadi presiden. Masih agak sulit
membayangkan akan ada Gubernur di luar Jakarta, atau apalagi di luar Jawa,
yang bisa melompat menjadi Presiden Indonesia.
Meski
untuk masa depan, kita sudah melihat sosok Gubernur Jawa Tengah Gandjar
Pranowo, Walikota Surabaya yang digadang menjadi Gubernur Jawa Timur selanjutnya
Tri Rismaharini, dan Walikota Bandung yang diperkirakan menjadi Gubernur Jawa
Barat berikutnya Ridwan Kamil, sebagai sosok-sosok kepala daerah yang mulai
muncul dan mungkin berpotensi menjadi calon presiden dari jalur tangga kepala
daerah.
Tetapi,
tetap saja, harga politik Gubernur Jakarta mempunyai kadar lebih dibandingkan
daerah-daerah tersebut. Karena itu, mencermati Pilgub Jakarta 2017 dan
kaitannya dengan Pilpres 2019, adalah hal yang tak terelakkan jika kita ingin
membaca arah perjalanan bangsa ini ke depan, tidak terkecuali di bidang
hukum.
Siklus politik
Adalah
siklus politik bahwa Pilgub Jakarta selalu lebih awal dua tahun dari Pilpres.
Dimulai dari Pilgub Jakarta 2007 yang berselang dua tahun dengan Pilpres
2009, lalu Pilgub 2012 dan Pilpres 2014, dan kini Pilgub 2017 lalu Pilpres
2019.
Namun,
baru setelah Presiden Jokowi memenangkan Pilgub 2012 lalu Pilpres 2014, peta
jalan Pilgub Jakarta sebagai tangga politik ke Istana Negara terlihat lebih
jelas. Itulah yang menyebabkan pertarungan Pilgub 2017 kali ini menjadi lebih
hangat, karena ia seakan-akan adalah pemanasan pertarungan politik menuju
Pilpres 2019.
Siklus
hangat dua tahunan antara Pilgub Jakarta dan Pilpres itu baru mungkin
berakhir pada tahun 2024, itupun dengan catatan jika tidak ada perubahan lagi
atas Undang-Undang tentang Pilkada yang dalam rentang waktu dua tahun dari
2014 hingga 2016 ini telah dua kali mengalami perubahan.
Pasal
201 ayat (8) UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa Pilkada secara
serentak nasional akan diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia pada
November 2024. Beberapa bulan lebih awal, pemilu serentak untuk memilih
presiden dan anggota legislatif juga telah dilaksanakan pada tahun yang sama.
Untuk
selanjutnya, setiap lima tahun mulai tahun 2024, yang perlu di antisipasi
adalah ketika terjadi pemilu serentak kepala daerah setiap bulan November,
akan nyaris bersamaan waktunya dengan pelantikan presiden yang secara
konvensi ketatanegaraan dilaksanakan setiap tanggal 20 Oktober.
Pergantian
kepemimpinan nasional yang nyaris bersamaan waktunya dengan Pilkada serentak
nasional demikian tentu menghadirkan tantangan keamanan politik hukum yang
tidak ringan, dan karenanya perlu diantisipasi secara baik.
Keserentakan
pemilu presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif ini adalah perubahan
desain pemilu kita yang harus diantisipasi dengan bijak secara politik dan
hukum. Serentaknya pemilu presiden dan anggota legislatif akan terjadi lebih
awal di tahun 2019, dan baru akan serentak seluruhnya dengan kepala daerah
lima tahun kemudian di tahun 2024.
Serentaknya
pilpres dan pileg adalah konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
14/PUU-XI/2013, yang pada intinya memutuskan konstitusionalitas pelaksanaan
Pilpres dan Pileg jika dilaksanakan bersamaan, dan baru dimulai sejak tahun
2019.
Pertarungan dua tahun ke
depan
Bagaimana
pengaturan UU Pilpres dan Pileg sebagai dasar pelaksanaan pemilu yang
serentak itu, adalah pertarungan yang akan menghangat dan mewarnai politik
hukum kita pada rentang waktu dua tahun ke depan.
Sebagaimana
perdebatan legislasi pemilu sebelumnya—utamanya yang menyangkut syarat calon
pilpres—akan terjadi pertarungan alot di antara kekuatan politik di tanah
air.
Saya
menduga, karena waktunya yang sudah mepet, dan undang-undang tersebut
idealnya sudah selesai paling lambat setahun sebelum 2019, agar KPU punya
waktu cukup untuk mempersiapkan, maka waktu setahun sejak 2017 hingga 2018
adalah masa sangat singkat dimana Presiden dan DPR (bersama DPD) harus
menyelesaikan aturan pemilu serentak Pilpres dan Pileg 2019.
Mari
sama-sama kita pastikan dan kawal agar kepentingan politik yang mempersiapkan
aturan pemilu serentak 2019 itu tetap sejalan dengan tujuan bernegara kita
yang demokratis, dan wajib tidak koruptif.
Setelah
pileg dan pilpres yang serentak di tahun 2019, lima tahun kemudian kita akan
melihat Pilkada juga akan serentak di November 2024, meskipun berbeda bulan
dengan pilpres dan pileg. Selanjutnya pilpres, pileg dan Pilkada akan terus
serentak berlangsung setiap lima tahun.
Baru
pada saat itulah, siklus politik Pilgub Jakarta yang dua tahun lebih awal
dari Pilpres akan berakhir. Yang pasti, tantangannya berubah menjadi
bagaimana siklus Pilkada nasional dan lokal yang dilaksanakan secara serentak
di seluruh Indonesia itu akan terus menghangatkan dinamika politik di tanah
air setiap lima tahunan.
Melaksanakan
serentak Pilpres, Pileg dan Pilkada di lebih dari 500 daerah tentu adalah
tantangan yang tidak ringan bagi jajaran penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu
dan DKPP), dan aparat keamanan (Polri), bahkan boleh jadi pertahanan (TNI).
Untuk
itu, tidak hanya pemerintah dan penyelenggara negara lainnya yang harus
bekerja keras mempersiapkan sistem pemilu serentak, namun kita sebagai warga
negara juga perlu ikut mengawal agar proses legislasi aturan kepemiluan itu
menghasilkan perundangan yang demokratis.
Kematangan berdemokrasi
Kembali
ke dinamika Pilgub 2017 dan Pilpres 2019 yang ada di depan mata kita. Saya
mencatat, bahwa kematangan kita berdemokrasi secara terhormat dan bermartabat
terus menghadapi ujian, terlebih di era digital dan maraknya media sosial.
Yaitu masa dimana informasi sudah sulit untuk difilter, karena dengan mudah
diterima langsung, tanpa sekat oleh para pengguna gadget (gawai).
Tantangan
yang tidak ringan itu sudah muncul embrionya sejak Pilpres langsung di tahun
2004 dan 2009. Namun, skalanya meningkat tajam ketika kita melaksanakan
Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon Jokowi-JK dan
Prabowo-Hatta.
Kita
memang relatif berhasil melewati ujian Pilpres 2014 yang memunculkan
pembelahan sangat tajam di antara dua kubu pendukung pasangan capres. Namun,
kita semua juga merasakan bahwa sisa-sisa pertarungan Pilpres 2014 itu masih
terus mewarnai dinamika politik kekinian.
Salah
satu tantangan hukum terkait dinamika Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019
adalah, bagaimana aturan hukum bisa mengantisipasi maraknya kampanye hitam
yang tidak hanya bersifat memfitnah, tetapi tidak jarang menyentuh wilayah
sensitif seperti SARA.
Dalam
Pilgub Jakarta kali ini, hadirnya cagub Basuki Tjahaya Purnama, menghadirkan
tingkat ujian yang berbeda dan lebih rumit dengan hadirnya paling tidak tiga
isu sensitif sekaligus yaitu isu agama, isu etnis, dan isu ideologi.
Ruang-ruang media kita, apalagi media sosial, dipenuhi berbagai wacana
perdebatan isu anti-nasrani, anti-China, dan komunis.
Semua
isu SARA itu hadir bersamaan dalam berbagai bentuk kasus hukum, data, dan
fakta yang tidak seluruhnya akurat—bahkan tidak jarang palsu dan menyesatkan
alias hoax. Maka, Pilgub Jakarta 2017, adalah ujian lebih berat bagi
kematangan kita berdemokrasi di tengah fakta warga bangsa yang beragam.
Pertarungan
dengan isu SARA demikian pasti akan berpengaruh besar kepada semangat
persatuan dan kesatuan yang harus kita jaga bersama, apapun resikonya.
Solusi hukum
Dalam
suasana politik Pilgub Jakarta yang sarat tekanan politik SARA demikian,
seharusnya hukum adalah panglima yang memberi solusi bagi semua. Apalagi
hukum memang diciptakan untuk menghadirkan ketertiban dan keadilan di tengah
perbedaan dan konflik yang muncul di antara kehidupan bermasyarakat.
Namun,
untuk menjadi solusi yang efektif, hukum tidak hanya harus bekerja
profesional, tetapi juga independen, Imparsial dan tidak koruptif. Padahal
tepat pada persoalan-persoalan mendasar itulah penegakan hukum kita masih
problematik, dan perlu banyak pembenahan.
Salah
satu tantangan penegak hukum adalah kemampuan dengan cermat memilah manakah
tindak pidana dan mana pula dinamika kehidupan bernegara yang demokratis,
yang di dalamnya dijamin kebebasan berpendapat, berserikat dan beragama.
Kapankah
fakta hukum itu adalah penghinaan agama, atau manakah yang hanya perbedaan
pandangan beragama. Bilakah yang terjadi adalah makar, ataukah hanya sikap
kritis kepada pemerintah.
Kelihaian
dan kejelian aparat penegak dalam memilah dan memilih akan turut menentukan
apakah hukum mampu menjadi solusi msalah, dan bukan justru menjadi bagian
dari masalah itu sendiri.
Apalagi,
kita sama-sama mafhum bahwa pertarungan Pilgub 2017 bukan hanya pada level
provinsi Jakarta, tetapi dimensi pertarungannya lebih luas mencakup level
nasional Indonesia.
Tidak
sulit untuk membaca adanya bau embrio pertarungan Pilpres 2019 dalam Pilgub
2017. Cukup mudah untuk membaca ada pertarungan tokoh-tokoh nasional berpengaruh
dalam Pilgub Jakarta.
Awalnya
kita tahu bahwa Presiden Jokowi mendukung Ahok-Djarot, meskipun saya dengar
akhir-akhir ini agak berubah; mantan Presiden SBY tentu menyokong Agus-Sylvi,
dan mantan capres Prabowo mengusung Anis-Sandi.
Pertarungan
tiga tokoh yang punya basis massa masing-masing itu tentu harus dikelola agar
tidak menjadi kompetisi yang merusak sendi-sendi kebangsaan. Saya tetap
meyakini dan menyimpan optimisme bahwa ketiga tokoh ini adalah negarawan yang
tahu kapan waktu bertanding, dan bila waktu bersanding, demi kejayaan NKRI.
Mari
berkompetisi dengan tetap menjaga hati nurani, bukan hanya untuk merawat
demokrasi, tetapi juga demi keutuhan Ibu Pertiwi.
Keep on fighting for the
better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar