Kendalikan
Konten Daring dan
Paradoks
Siber Demokrasi
Rachmah Ida ; Dosen Komunikasi FISIP Unair; Ketua Umum
ISKI Jatim
|
MEDIA INDONESIA,
14 Januari 2017
"JIKA
internet tidak mampu menghidupkan proses politik baru, kemungkinan old-style politics
tetap relevan dan mempunyai peran penting dalam mempromosikan demokrasi di
era high-tech surveillance state," demikian argument James Gomez (2004)
dalam tulisannya tentang tren regulasi internet, pengawasan, dan kontrol di
Asia.
Perkembangan
internet dan media sosial sebagai ruang politik berkembang sangat pesat di
akhir 1990-an dan di awal 2000-an.
Setelah
peristiwa terorisme 9/11 dan bom Bali, pengawasan terhadap ruang
maya/internet meningkat.
Pemerintahan
di dunia hampir semuanya secara dramatis menggagas regulasi terkait dengan
komunikasi melalui internet.
Regulasi
dan kontrol terhadap media massa mainstream berkurang.
Sementara
itu, pengawasan dan jumlah regulasi komunikasi melalui media internet
perlahan tetapi pasti diberlakukan.
Negara-negara
di Asia yang otoriter dan konservatif, bahkan melakukan upaya-upaya represif
untuk mengontrol konten politik internet dan laman publik/websites, termasuk
laman-laman berita daring asing.
Pemerintah
Tiongkok dan Vietnam contohnya ialah pemerintahan yang memberlakukan
legislasi dan regulasi ketat terhadap bahaya internet dalam kehidupan sosial
politik di negaranya.
Nuemann
(2001) dalam tulisannya The Great Firewall mencontohkan pemerintah otoriter
Vietnam, menggunakan firewall untuk menangkal aktivisme politik di ruang maya
dan menangkap para aktivis atau protester online (cyber-dissidents).
Berbagai
mekanisme regulasi tertulis dan penerapan internet blocking banyak dilakukan.
Di
Indonesia, pemerintah menerapkan pemblokiran terhadap situs-situs yang
berkonten: pornografi dan terorisme.
Cara
dan mekanisme kontrol yang dilakukan terhadap situs-situs internet seperti
mekanisme sensor yang memotong pergerakan aktivisme komunikasi politik
pengelola dan penggunanya melalui pemblokiran.
Internet
sebagai alternatif ruang publik yang bebas sensor tidak lagi bebas.
Kehadiran
internet di akhir 1990-an dianggap sebagai ruang baru bagi demokrasi di ruang
maya dan gerakan-gerakan bawah tanah baru, tidak lagi sebebas eforia ketika
populer dulu.
Internet
di Indonesia yang pada awal 2000-an dianggap sebagai geliat baru
cyberdemocracy, pada akhirnya menjadi ruang publik yang mengkhawatirkan,
tidak saja bagi netizen atau warga pengguna internet, tetapi juga negara.
Internet
dan media sosial menjadi paradoks demokrasi ruang maya pada akhirnya.
Di
satu sisi, internet dan media sosial mampu menjadi outlet kebebasan
berekspresi dan beropini.
Di
sisi yang lain, pengawasan, kontrol, dan legislasi aturan yang difokuskan
untuk mengawasi gerak-gerik dan tindakan aktivisme politik dan moral religius
kini menjadi sasaran tembaknya.
Praktik-praktik
represif kontrol media, baik pada masa kolonial, paska kolonial dan
pemerintahan kontemporer saat ini, mulai diadaptasi dan diaplikasikan pada
internet dan informasi yang dibawa alat-alat informasi yang bergerak (mobile
information devices).
Jika
perkembangan atau pembangunan demokrasi suatu negara dilihat dari demokratis
tidaknya media massa yang tumbuh di negara tersebut, argumen yang masih
tertinggal dalam benak pertanyaan, apakah internet dan media sosial yang
dikatakan sebagai media baru masih menyisakan makna sebagai ruang demokrasi
baru?
Majalah
Forbes edisi November 2016 juga mempertanyakan apakah cybersecurity atau
pengamanan ruang maya akan berdampak pada demokrasi kita saat ini?
Media
baru tidak lagi sebebas ketika kemunculan media ini diharapkan pada awalnya.
Demokrasi
membutuhkan budaya partisipasi publik.
Namun,
setelah 9/11 dan merebaknya aksi terorisme, politik sektarian, dan perang
politik dalam negeri yang meningkat menjadi situasi yang berseberangan dengan
konsep internet sebagai media baru demokrasi yang potensial.
Publik
mulai enggan melakukan komunikasi politik daring.
Orang
mulai takut dengan agen-agen pemerintahan, termasuk regulasi seperti UU ITE
di Indonesia, termasuk gerakan-gerakan baru komunal yang konservatif dan
fundamentalis, yang memonitor, melacak, dan menyimpan segala tulisan, video,
dan opini publik sebagai barang bukti.
Barangkali
nantinya publik akan kembali memilih untuk menyimpan informasi penting yang
rahasia dan menukarkannya dalam komunikasi yang tidak menggunakan teknologi.
Hoax dan demokrasi
Hoax
atau 'berita palsu' saat ini tidak hanya berada di pinggiran aktivitas sosial
politik.
Hoax
atau berita palsu telah menjadi propaganda mainstream dalam dunia komunikasi
politik khususnya.
Pengaruh
Hoax dalam dinamika politik semakin mengkhawatirkan kondisi demokrasi.
Kehadiran
medsos dan tingginya angka pengguna medsos saat ini semakin mempercepat
proses bubbling atau gelembung berita palsu menyebar.
Apalagi
dengan literasi medsos yang masih rendah.
Pengguna
medsos yang beragam, mulai pencipta berita/informasi dan pengguna medsos yang
sukanya membagi/sharing informasi/berita tanpa disaring, menjadi semakin
runyam.
Google
sendiri pada masa pemungutan suara rakyat Amerika dalam pemilu Trump vs
Hillary mendeklarasikan akan melarang atau membredel situs-situs yang
misrepresent, misstate, or conceal information yang bertebaran dan
menggunakan pelayanan iklan Google.
Namun
nyatanya, masih banyak situs yang memberikan berita-berita palsu bertebaran.
Mesin
pencari informasi seperti Google, Yahoo, dan penyedia medsos seperti Facebook
dan Twitter, atau mereka yang dijuluki sebagai the giant techs dianggap turut
bertanggung jawab untuk mengurangi laju berita-berita palsu atau hoax.
Meskipun
pemilik aplikasi medsos Facebook Mark Zuckerberg menyatakan bahwa konten hoax
dalam medsos kurang dari 1% jumlahnya.
Jika
dalam kajian komunikasi politik selama ini mengenal tujuh teknik propaganda
yang biasanya dilakukan dalam komunikasi politik seperti: bandwagon,
testimonial, glittering generalities, name calling, plain folks, transfer,
dan card stacking, hoax kini menjadi teknik propaganda politik baru di era
teknologi digital.
Sementara
itu yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidakpercayaan masyarakat terhadap
informasi/berita palsu, terutama pada netizen kebanyakan, hanya dengan
meningkatkan pengetahuan dan bisa membedakan konten yang bisa dipercaya dan
masuk akal, sebagai informasi/berita yang dibuat pihak-pihak tertentu untuk
tujuan propaganda politik mereka.
Hoax
atau berita palsu ialah bagian dari konspirasi teori mainstream yang merusak
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar