Efek
Sosial Pilkada
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
MEDIA INDONESIA,
14 Januari 2017
TIDAK
ada pemilihan kepala daerah yang paling menguras energi dan hampir terus
menerus menjadi berita utama kecuali pilgub Jakarta. Tidak saja di media
cetak bahkan juga merembes ke media sosial. Menjadi meme, viral, dan trending
topic.
Lucunya
tak sedikit kepala daerah lain ikut-ikutan memberikan komentar tak senang
terhadap petahana Jakarta, padahal daerahnya dikepung masalah dan dikelola
dengan cara-cara amatiran, tidak profesional, dan jauh dari kerja politik
yang baik dan benar.
Ajaibnya
lagi, orang membaca limpahan informasi bukan karena semangat ingin mencari
kebenaran dan menyelisik duduk perkaranya secara jernih, melainkan kebanyakan
lebih kepada sikap untuk menguatkan posisinya, untuk mengukuhkan persepsinya,
untuk menguatkan pembenaran.
Diperkeruh
lagi dengan hoax yang datang serupa bah dan ditelan mentah-mentah.
Yang
benci kian kental kebenciannya, dan yang suka semakin habis-habisan jatuh
cinta.
Seolah
yang tergambarkan dalam isi kepala ialah gambaran sosok yang jahat seluruh
konsep dirinya atau yang baik semua jagat nafsinya.
Padahal,
kata kawan saya, hidup bukan penggaris yang selamanya lurus juga bukan
sesuatu yang abadi dalam penyimpangan.
Dalam
diri seseorang ada kebaikan sekaligus mungkin ada yang kurang baik.
Agama
memberikan jalan keluar pertobatan dan pintu hospitalitas permaafan ketika
melakukan kekhilafan.
Hujah dan hujatan
Tampaknya
sekarang yang dikedepankan bukan lagi semangat berhujah, melainkan nafsu
melemparkan hujatan dan merayakan kebencian.
Nyaris
tidak kita temukan orang yang benci berubah sikap menjadi cinta karena sejak
awal tidak diniatkan membangun ruang dialog delibrasi, tapi lebih kepada
saling mendesakkan keinginan dan bahkan keyakinan.
Yang
dikembangkan ialah teologi kebencian yang tak pernah henti meneguhkan orang
lain ialah neraka.
Bagaimana
akan tercipta sebuah dialog transformatif dan diskusi produktif kalau sejak
dalam pikiran sudah merasa tidak ada lagi yang benar kecuali dirinya.
Seandainya
sejak melangkahkan kaki dari rumah yang dikenakan ialah 'pokoknya'. Pokoknya
harus salah, harus keliru, harus dipidanakan.
Bagi
saya konstruksi 'pokoknya' itu bukan ilmu, melainkan ideologi, bukan
pengetahuan, melainkan kedangkalan dan kesesatan akal, bukan hukum, melainkan
penghakiman.
Alur
berpikir pokoknya sesungguhnya yang menjadi muasal dari puritanisme.
Puritanisme
ketika terus menerus dipromosikan dan terinternalisasikan akan menjadi
fundamentalisme dan akhirnya rute ke arah radikalisme hanya tinggal selangkah
lagi.
Padahal
puritanisme, fundamentalisme, dan radikalisme ialah tiga serangkai keburukan
sebagai ancaman pluralisme dan batu sandungan terwujud kohesivitas sosial.
Tiga
hal itu tidak mungkin bersanding dengan etik moral dan kearifan perenial yang
telah menjadi tradisi kaum leluhur: asah, asih, dan asuh.
Dalam
kisah purba diterangkan asal usul kehinaan iblis.
Pokoknya
Adam yang tercipta dari tanah harus salah karena kemuliaan itu terletak dalam
dirinya yang terbuat dari api.
Walaupun
Tuhan mengabarkan kemuliaan itu tidak terletak dari bahan baku penciptaan
atau akar etnisitas, tapi sepenuhnya dari tindakan kebaikan, karena sudah
gelap mata dan senantiasa memandang dengan kacamata kuda, pada akhirnya iblis
melakukan pembangkangan terhadap Tuhan itu sendiri.
Selama
32 tahun negara despotik Orba sesungguhnya telah memberikan pengalaman pahit
bagaimana kekuasaan yang dikelola dengan 'pokoknya' itu telah membuat
masyarakat tumpul, capaian ekonomi sekadar ilusi, dan proyeksi 'macan Asia'
hanya dongengan belaka.
Terbukti
ketika terjadi krisis moneter seluruh sendi-sendi bernegara hancur lebar,
berantakan habis-habisan.
Kebinekaan
Bhinneka
Tunggal Ika yang dianggit dari Sutasoma bukan sekadar semboyan arkaik tentang
bentangan fakta keragaman yang menjadi halaman muka negara kita, melainkan
sejatinya melambangkan bangsa ini didirikan di atas kaki yang beragam dan
suku yang tak sama termasuk dalam hal agama, budaya, bahkan juga bahasa.
Keragaman
tidak saja sahih secara sosiologis, tapi juga memiliki tautan teologis bahkan
juga dijadikan bagian dari pengalaman profetik Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Nabi
ketika menjadi kepala negara di Madinah bersama masyarakat lain bikin Piagam
Madinah yang disepakati bersama.
Piagam
Madinah menjadi titik temu dari keragaman dan multikulturalisme.
Madinah
menyiratkan potret warganegara yang disatukan dalam cita-cita yang sama:
membangun masyarakat beradab, menciptakan kebaikan publik, dan mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang diacukan pada semangat menjunjung tinggi
kesadaran hukum.
Madinah
bukan hanya merujuk secara geografis kepada alamat tempat Nabi dan para
sahabatnya migrasi dari kepungan masyarakat Mekkah, melainkan juga yang tidak
kalah pentingnya bagaimana api Madinah itu harus kita gelorakan hari ini, di
sini.
Pancasila
yang digali dari kekayaan penghayatan dan kultur para leluhur kita pada titik
tertentu sebangun dengan semangat Madinah itu.
Pancasila
telah menjadi 'mukjizat politik' yang mempersatukan masyarakat yang berbeda.
Pancasila
menjadi alat perekat dari keragaman puak, ketaksamaan keyakinan, dan
perbedaan budaya.
Pancasila
menjadi jembatan emas yang menyambungkan dari satu ujung manusia dengan ujung
manusia Indonesia lainnya dalam sebuah cita-cita mewujudkan negara yang adil
dan sejahtera.
Dialog
Kalau
akhir-akhir ini pilgub Jakarta menjadi sangat menyita energi bahkan di media
sosial dikesankan masyarakat terbelah secara bipolar, barangkali yang
semestinya dilakukan ialah dialog dalam kesetaraan, nondiskriminatif, dan
tidak partisan.
Dialog
bagaimana pun lebih baik dari apa pun. Dialog bukan hanya akan mengurai
kebuntuan, melainkan juga bisa semakin mempercepat bangsa ini keluar dari
kemelut politik aliran dan menemukan kedewasaannya.
Sayang
bangsa yang sudah berumur 71 tahun dan dimerdekakan dengan mempertaruhkan
benda, harta, bahkan nyawa harus berantakan gara-gara keengganan duduk
bersama.
Disebabkan
ego lebih dominan ketimbang akal sehat.
Pada
1945 ketika PPPKI dan BPUPKI melakukan sidang, sepanas apa pun situasinya,
yang dikedepankan tetap argumentasi dan kehendak bersama mewujudkan kebaikan
untuk semua.
Sepanas
apa pun di ruang sidang, di luar mereka bisa duduk bersama sambil memesan
makanan di sebuah kantin.
Saling
menyimak bukan menggertak.
Kekuatan
logika jauh lebih beradab ketimbang logika kekuatan.
Duduk
satu meja lebih berakhlak daripada arak-arakan mengganggu kepentingan umum
tak keruan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar