Negara
Hukum dalam Daulat Kuasa
Suparto Wijoyo ; Koordinator Magister Sains Hukum dan
Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 14 Januari
2017
SITUASI
pekan ini menorehkan gelagat publik untuk memaknai ulang arti negara hukum
(rechtsstaat) yang bergulir ke arah negara kekuasaan (machtstaat). Apa yang
dilakonkan pemegang otoritas hukum mengalir menjadi daulat yang memaksakan
hukum menjadi instrumen ketakutan. Mulai penanganan terorisme, korupsi,
penistaan agama, penjeratan kasus hukum kepada siapa yang dianggap kritis
untuk diberi label makar, reaksi atas aksi bela agama, sampai pada aksi bela
rakyat yang dihadirkan mahasiswa. Hukum dijadikan gelanggang adu kuasa,
bahkan antarwarga diberi karpet merah untuk bersengkarut dalam rubrikasi
”saling lapor”.
Semua
diberi ruang dan hukum dihadirkan untuk menjerat, termasuk mengerek harga
biaya administrasi yang ditimbuk ke wajah rakyat.
Simaklah
apa yang membuncah di ranah sosial atas lahirnya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 60 Tahun 2016 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kehadiran
peraturan yang diteken presiden itu membawa konsekuensi berupa kenaikan biaya
pengurusan administrasi kendaraan bermotor: STNK-BPKB. Kenaikan tersebut
menyentak dengan dilengkapi kekagetan karena banyak lembaga negara angkat
tangan: ”bukan aku yang mengusulkan”.
Ini
adalah fenomena kontroversial yang mencerminkan problematika hukum
pemerintahan. Rakyat menjadi bertanya-tanya siapa pemrakarsa dan pemutus
kenaikan biaya dimaksud sejurus kegetiran hidup akibat melambungnya harga
cabai di pasaran. Hidup dirasa semakin pedas dengan pencabutan subsidi
sebagian harga BBM dan TDL sebelumnya. Daulat rakyat jangan diremehkan, meski
terdengar lirih, sejatinya menggumpalkan dentuman yang harus segara diberi
solusi oleh negara.
Daya
beli rakyat terusik bukan hanya soal kenaikan biaya hidup, tetapi juga potret
samarnya pemegang daulat yang menjadi penentu kebijakan. Gunjingan mengenai
ketidakjelasan lembaga hukum dalam menentukan kenaikan biaya administrasi
sangatlah disayangkan. Seolah negara ini berjalan dalam lorong kegelapan dan
hutan belantara yang dikuasai tangan gaib. Padahal, otoritas yang menjelmakan
kebijakan telah menggunakan hukum sebagai peranti yang kian kehilangan
wibawanya. Apalagi mengenai pemberian nama puluhan ribu pulau yang hendak
diobral ke pihak luar. INI TRAGEDI BERNEGARA.
Tentu
tidaklah elok kalau negara gagap dalam memberikan perlindungan kepada
rakyatnya (bescherming tegen de
overheid). Inilah refleksi yang mesti direnungkan penguasa sehubungan
dengan kondisi rakyat yang terpelanting. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan
pembentukan pemerintahan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Inilah amanat
konstitusional negara hukum yang harus direalisasikan pemerintah.
Jerit
tangis dan lelehan air mata mesti disimak dalam keheningan agar pesannya
sampai pada pemanggul kedaulatan. Kekritisan janganlah dianggap pemberontakan
dan aksi dihakimi sebagai senjata penggulingan. Negara jangan sampai
mengancam rakyat dan bertindak sebagai pemangsa sumber dayanya. Terhadap hal
itu, saya teringat pandangan Bung Karno pada 1932 yang mengatakan: ”Itulah kapitalisme, jang ternjata
menjebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tarif, peperangan,
kematian, - pendek kata menjebabkan rusaknja susunan-dunia jang sekarang
ini.”
Tulisan
tentang Kapitalisme Bangsa Sendiri?
itu niscaya menjadi pengingat bahwa kapitalisme dapat membuat rakyat celaka.
Kapitalisme secara praktis melahirkan imperalisme yang berwatak dasar mencari
rezeki dengan menyengsarakan rakyat. Benarkah negara hukum hadir agar warga
dapat dimangsa dan saling memangsa?
Jauh
sebelum NKRI ini ada, bangsa-bangsa Nusantara (United Nations of Nusantara) telah mempunyai imperium Majapahit
yang dapat menjadi rujukan historis dalam mengelola negara. Tugas utama
negara yang telah dituangkan dalam UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 sangatlah
komprehensif dengan pesan moral hukum yang paripurna. Dalam Kakawin Nagara
Krtagama (1365) dituliskan Empu Prapanca: ”...
sin wastasuna tusta citta rikanan pradesa winanum ...” dan ”... lin nika muka
papa sinunan sukha kadi tan i rat...”. Makna pesan itu adalah agar raja
memiliki darma menyelenggarakan pembahagiaan hati para penduduknya, agar
mereka dapat berkata: hilanglah segala kesedihan karena dianugerahi
kesejahteraan oleh sang raja.
Kalaulah
kondisi romantisme itu belum terpenuhi, tidaklah naif apabila negara hukum
Indonesia menjadikannya sebagai kekuatan optimisme untuk diwujudkan ”rakyat
yang adil dan makmur” dengan melakukan koreksi kebijakan yang membebani hidup
rakyat. Memberikan hak rakyat adalah tuntutan keabsahan demokrasi. Kapankah
itu dilakukan? Mengikuti bahasa proklamasi, dalam ”tempo yang
sesingkat-singkatnya”.
Apabila
hal itu pun tidak dilakukan, percayalah bahwa rakyat tetap akan lapang dada.
Karena bangsa ini telah dianugerahi pepatah petitih hidup sabar dengan
ungkapan: wong sabar kekasih Allah dan Gusti Allah mboten sare.Tuhan tidak
pernah tidur dan rakyat tidak pernah terlelap untuk mengadukan nasibnya.
Sambil
menunggu revisi kebijakan itu di hari-hari mendatang, marilah menghibur diri
dengan menyimak kembali cerita legendaris Arabian Nights berdasar naskah
Syria abad ke-14 Kisah Seribu Satu Malam. Untuk dapat bertahan hidup dari
tindakan dendam Raja Syahrayar, Putri Syahrazad selalu mendongeng dengan
kisah yang menawan hati sang raja, bahkan menghibur dirinya sendiri, sehingga
penderitaan itu didongengkan dalam kebahagiaan. Namun, kita ini hidup di
negara hukum, bukan di negara kekuasaan, apalagi negeri dongeng, ’kan?
Renungkanlah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar