Kemendesakan
untuk Berbagi Jaringan
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
KOMPAS, 13 Januari
2017
Industri
telekomunikasi telah berkembang amat cepat dan memiliki efek berganda yang
sangat besar dan luas. Di luar pengaruh besarnya ke hampir semua industri
lain, tidak bisa dikesampingkan realitas bahwa mayoritas penduduk
Indonesia-juga dunia-saat ini sangat bergantung pada telepon seluler yang sudah menjadi
salah satu kebutuhan utama sehari-hari.
Merujuk
data International Telecommunication Union (ITU), pertumbuhan telepon seluler
di Indonesia mencapai 23 persen per tahun. Pada 2015, jumlah telepon seluler
mencapai 338 juta, yang berarti rata-rata setiap orang Indonesia memiliki 1,3
telepon seluler, sekalipun jumlahnya tidak seimbang antara Pulau Jawa dan
luar Jawa. Secara garis besar rata-rata satu penduduk di Pulau Jawa memiliki
lebih dari satu telepon dan penduduk di luar Jawa memiliki kurang dari satu
telepon. Akan tetapi, ini masih tergolong sedikit dibandingkan, misalnya,
Hongkong (2,3), Malaysia (3,4), ataupun Singapura (1,4).
Adalah
kewajiban pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur telekomunikasi (serat
optik) di luar Jawa (Palapa Ring) serta meningkatkan jumlah dan pemakaian
telepon dan kecepatan pengiriman data
untuk peningkatan perekonomian dan sekaligus demi ketahanan nasional.
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, antara
lain, melalui Proyek Palapa Ring dengan menggunakan sistem komunikasi kabel
laut dan serat optik (SKKL dan SKSO) untuk menyebarkan layanan broadband di
seluruh Indonesia dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha
(KPBU). Manfaat kebijakan ini antara lain adalah ketahanan nasional,
pemerataan infrastruktur telekomunikasi, serta penyediaan jasa akses
teknologi informasi dan komunikasi yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
Kebijakan
ini sangat tepat karena sebaran infrastruktur saat ini hanya terpusat di
Jawa. Kebijakan ini tentu tidak bermanfaat maksimal apabila penggunaan
infrastruktur tersebut tidak optimal sehingga perlu pula peningkatan jumlah
telepon seluler/pintar serta penggunaannya.
Dalam
praktiknya, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di luar Pulau Jawa (80
persen) dilakukan oleh satu operator telekomunikasi. Pasar telekomunikasi
seluler Indonesia saat ini dikuasai oleh satu operator, yakni Telkomsel
(sekitar 37 persen pangsa pasar). Di bawah Telkomsel ada dua operator, yakni
Indosat (23 persen) dan XL Axiata (14 persen). Di bawah tiga operator
tersebut terdapat empat operator lagi, yaitu Ceria, 3 Hutchison, Smartfren,
dan Bakrie Telecom.
Enggan berbagi
Struktur
pasar yang demikian mengakibatkan pasar telekomunikasi seluler bersifat
oligopoli. Struktur pasar demikian diiringi adanya keengganan untuk berbagi kapasitas
dengan operator lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya.
Wajar
saja jika keengganan berbagi kapasitas tersebut hanya pada masalah tarif
penggunaan yang bersifat pendekatan bisnis (B to B) dan manakala terjadi
ketidaksepakatan barulah pemerintah dapat menetapkan berdasar prinsip
keekonomian pemilik dan penyewa. Akan tetapi, jika keengganan dimaksudkan
untuk memegang monopoli dan membuat barrier to entry usaha jasa
telekomunikasi, tentu praktik tersebut akan menghambat kebijakan pemerintah
dalam meningkatkan penyediaan jasa telekomunikasi di luar Pulau Jawa yang
sudah masuk dalam ranah hajat hidup orang banyak.
Dalam
struktur pasar yang oligopolis dibutuhkan regulasi yang harus dapat mengatur
persaingan usaha, yang memastikan peningkatan manfaat bagi pemangku
kepentingannya.
Bagi
masyarakat sebagai konsumen, kepentingan utamanya adalah tarif yang lebih
murah dan layanan yang lebih baik. Bagi pemerintah, kepentingan utamanya
adalah peningkatan peran industri telekomunikasi, terutama untuk kesatuan
wilayah dan perekonomian. Bagi industri telekomunikasi, kepentingan utama
adalah pengaturan persaingan usaha
yang sehat, efisiensi industri, mendorong inovasi dan investasi, serta
peningkatan kualitas dan return yang lebih baik.
Sekalipun
berkembang, regulasi atas industri telekomunikasi kerap tertinggal
dibandingkan perkembangan teknologi telekomunikasi/informasi yang amat cepat.
Sebagian orang menyatakan bahwa regulasi yang ada tidak memadai lagi
dibanding situasi dan kondisi yang ada. Sebagian lainnya menyatakan regulasi
justru dimaksudkan untuk mengatur situasi dan kondisi yang ada dan yang akan
datang.
Berdasar
uraian di atas, perubahan atas PP No 52/2000 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi dan PP No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
dan Orbit Satelit; yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat
diperlukan. Kedua peraturan tersebut tidak memadai lagi dengan perkembangan
saat ini.
Dua isu terkini
Isu
terkini mengenai kompetisi telekomunikasi, khususnya telekomunikasi seluler,
adalah tarif interkoneksi antaroperator. Operator terbesar tentu saja
menginginkan tarif yang tinggi, sementara operator yang lebih kecil
menginginkan tarif yang lebih rendah. Isu lain adalah sharing penggunaan
kapasitas di mana kapasitas yang dimiliki oleh PT Telkom cenderung hanya
di-share ke anak perusahaannya sendiri, yaitu PT Telkomsel.
Isu
ini selayaknya segera diselesaikan oleh pemerintah karena peningkatan
industri telekomunikasi akan
meningkatkan ketahanan nasional. Dari sisi perekonomian, misalnya,
peningkatan telekomunikasi akan sangat meningkatkan bisnis seluruh lapisan
masyarakat karena semakin berkembangnya e-commerce dengan telekomunikasi
sebagai pengungkit. Dengan internet yang luas dan andal, tingkat kemampuan
berusaha masyarakat akan naik karena setiap individu masyarakat dapat
mengkreasikan usaha berbasis daring.
Sejauh
ini, kepentingan nasional yang akan diwadahi dengan rancangan PP yang
disiapkan pemerintah sudah cukup baik dan maju. Misalnya, klausul dalam Pasal
2a di mana penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk
pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut
keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, mara
bahaya, dan/atau wabah penyakit. Pengiriman, penyaluran, dan penyampaian
informasi penting tersebut dilakukan tanpa dikenai biaya. Ketentuan seperti
itu tepat dan diperlukan, dengan didasari tujuan peningkatan infrastruktur
telekomunikasi adalah untuk meningkatkan ketahanan nasional.
Perbaikan
signifikan lainnya termuat dalam ketentuan Pasal 6 bahwa penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib membangun dan/atau menyediakan jaringan
telekomunikasi. Dalam membangun jaringan telekomunikasi itu, penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib memenuhi kewajiban pembangunan yang tercantum
dalam izin penyelenggaraan jaringan telekomunikasi. Jaringan telekomunikasi
yang telah dibangun dan/ atau disediakan oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi dapat digunakan sendiri dan/atau disewakan kepada penyelenggara jaringan
telekomunikasi lain.
Kebijakan
seperti itu diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan nasional. Di antaranya
perihal optimasi infrastruktur, efisiensi biaya telekomunikasi, serta
kompetisi yang adil. Akan tetapi, untuk mengantisipasi kemandekan negosiasi
antarpelaku industri; izin penyelenggaraan telekomunikasi semestinya juga
mewajibkan penyewaan jaringan telekomunikasi apabila pada lokasi tersebut
masih tersedia sisa kapasitas serta penggunaan telekomunikasi yang rendah
pada jaringan tersebut. Berikutnya, tarif penyewaan ditetapkan dengan
kesepakatan kedua belah pihak dan jika tidak terjadi kesepakatan, akan
ditetapkan menteri sesuai pertimbangan keekonomian kedua belah pihak.
Akhirnya,
percepatan penerbitan PP tersebut layak segera dilaksanakan karena akan
sangat terkait dengan upaya pemerintah meningkatkan infrastruktur
telekomunikasi dan optimalisasi penggunaan jaringan telekomunikasi di seluruh
wilayah Indonesia. Bagi operator seluler sendiri, berbagi jaringan juga
menjadi keharusan, menimbang kecenderungan industri telekomunikasi yang
berada di ambang senja (sunset period).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar