Efektivitas
APBN
Sri Mulyani Indrawati ;
Menteri Keuangan RI
|
KOMPAS, 13 Januari
2017
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara merupakan cerminan kesehatan suatu negara.
Setiap negara, kaya ataupun miskin, menghadapi tantangan pengelolaan APBN,
bahkan banyak negara pernah atau sedang mengalami krisis ekonomi dan krisis
kepercayaan akibat kondisi APBN yang tidak kredibel dan tidak berkelanjutan.
Negara-negara
Amerika Latin pada era 1980-an, negara Timur Tengah
dan
Rusia pada masa kejatuhan harga minyak, serta negara-negara Eropa, seperti
Yunani, Portugal, Italia, Spanyol, dan Perancis mengalami tantangan
pengelolaan fiskal. Bahkan, Jepang dan Amerika Serikat sekalipun menghadapi
masalah anggaran belanja negaranya dengan jumlah utang yang tinggi.
APBN
atau kebijakan fiskal merupakan instrumen kebijakan yang sangat penting untuk
memenuhi janji Republik Indonesia kepada rakyatnya, yaitu mencapai masyarakat
adil makmur melalui fungsi alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi,
ataupun untuk manajemen naik turunnya ekonomi atau fungsi counter cyclical.
Meleset
Sebagai
alat kebijakan, efektivitas APBN dalam memengaruhi perekonomian sangat
bergantung pada kredibilitas dan kekuatannya. Kredibilitas dan kekuatan APBN
tecermin pada akurasi setiap angka dan kebijakan di belakang angka yang
menggambarkan kualitas proses ekonomi-politik dan hukum dalam penetapannya,
serta ketaatan penyelengaraannya.
Pada
negara dengan proses politik yang demokratis, akuntabel, dan transparan, APBN
akan ditetapkan konsisten dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat keseluruhan
dan bukan hanya sebagai alat kepentingan kelompok elite. Banyak pengalaman
negara-negara di dunia menunjukkan bahwa kegagalan untuk mencapai status
negara maju serta berpendapatan tinggi adalah akibat terjadinya elite capture di mana fungsi alokasi
dan distribusi APBN didominasi hanya oleh kepentingan elite. Indonesia harus
memerangi kecenderungan ini dengan terus menjaga proses politik anggaran yang
sehat dan baik.
Tahun
2016 merupakan tahun yang tidak biasa dalam pengelolaan dan pelaksanaan APBN
Indonesia. APBN 2016 mengalami perubahan dua kali, melalui APBN Perubahan dan
melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2016. Perubahan pelaksanaan APBN menyangkut baik
sisi pendapatan maupun belanja. Penerimaan dalam negeri yang semula
diperkirakan mencapai Rp 1.784,2 triliun, yang terdiri dari pendapatan
perpajakan Rp 1.539,2 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp
245,1 triliun, pada akhir Juli dikoreksi sangat signifikan di mana penerimaan
perpajakan diperkirakan hanya akan tercapai Rp 1.320,2 triliun atau mengalami
kekurangan penerimaan Rp 219 triliun.
Sementara
PNBP diperkirakan akan mencapai Rp 260,7 triliun atau mengalami kenaikan Rp
15,6 triliun. Koreksi penerimaan perpajakan menggambarkan kondisi perekonomian
Indonesia yang dipengaruhi pelemahan ekonomi global, menurunnya perdagangan
internasional, dan melemahnya harga komoditas. Selain itu, kapasitas
Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi pengumpul pajak memerlukan
perbaikan kinerja dan reformasi menyeluruh.
Dengan
adanya risiko penerimaan negara yang tidak tercapai secara signifikan,
diperlukan langkah korektif agar APBN kembali kredibel dan efektif menjaga
ekonomi nasional. Pemerintah melakukan langkah cepat dengan memotong anggaran
belanja secara hati-hati dan selektif agar tidak mengganggu momentum
pergerakan ekonomi.
Pemotongan
belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 64,7 triliun lebih merupakan
langkah perbaikan efisiensi belanja dan pengurangan belanja tidak prioritas,
sedangkan realisasi pengendalian belanja daerah sebesar Rp 65,4 triliun
berupa penundaan Dana Bagi Hasil dan penghematan Dana Transfer Khusus. Untuk
Dana Alokasi Umum yang semula ditunda, semuanya sudah dibayarkan kembali pada
akhir 2016.
Capaian program amnesti
Tahun
2016 juga bisa disebut sebagai "tahun pengampunan pajak". Amnesti
pajak (tax amnesty) yang
diundangkan pada Juli 2016 telah menjadi tonggak sejarah perpajakan Indonesia
karena menjadi ajang "hijrah" bagi wajib pajak yang selama ini
tidak patuh. Pemerintah akan terus membangun budaya kepatuhan pajak melalui
reformasi perpajakan secara menyeluruh.
Kesediaan
Presiden Joko Widodo untuk turun langsung melakukan sosialisasi menjadikan
pelaksanaan amnesti pajak berhasil jika dibandingkan dengan negara lain yang
melakukannya. Selain kontribusi Rp 107 triliun terhadap penerimaan negara,
indikasi keberhasilan lainnya adalah terwujudnya penguatan rupiah, terlihat
dari rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2016 yang berada pada level Rp 13.307
per dollar AS atau lebih kuat dibandingkan dengan asumsi APBN Perubahan
sebesar Rp 13.500 per dollar AS.
Melalui
berbagai kebijakan yang telah dilakukan, pertumbuhan ekonomi pada 2016
diperkirakan mencapai 5,0 persen, meningkat 0,2 persen dari tahun 2015.
Sementara inflasi tahun 2016 diperkirakan mencapai 3,02 persen. Defisit APBN
tahun 2016 dapat dijaga pada batas yang aman, yaitu Rp 307,7 triliun atau
2,46 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kondisi ini mengembalikan
kredibilitas APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal yang efektif.
Reformasi kelembagaan
Mengawali
tahun 2017, kondisi perekonomian global masih diwarnai ketidakpastian yang
berpotensi memengaruhi asumsi makro yang menjadi landasan perhitungan APBN
2017. Pemerintah dan DPR telah menetapkan APBN 2017 dengan landasan sikap
optimistis tetapi hati-hati dengan perhitungan yang lebih realistis.
APBN
2017 dirancang dengan tiga strategi utama, yaitu menciptakan stimulus untuk
perekonomian dalam negeri melalui besaran defisit 2,41 persen dari PDB, untuk
menjaga daya tahan ekonomi dalam menghadapi potensi guncangan dari kondisi
perekonomian global, sekaligus juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
Tahun
2017 juga menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya perencanaan anggaran
dana transfer ke daerah sudah melebihi belanja kementerian/lembaga. Dalam
pelaksanaannya, sekurangnya 25 persen dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi
Hasil diarahkan penggunaannya untuk belanja infrastruktur daerah. Hal lain
yang sangat istimewa dari desentralisasi fiskal pada APBN 2017 adalah dana
transfer ke desa yang meningkat tajam dari Rp 47 triliun menjadi Rp 60
triliun atau hampir 10 persen dari total dana transfer ke daerah.
Pemihakan
belanja ke daerah dan desa diharapkan akan mempercepat pengurangan kemiskinan
dan kesenjangan. Hal ini hanya akan terjadi apabila kapasitas serta kemampuan
pemerintah daerah juga meningkat dalam menjalankan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan fungsi pelayanan masyarakat secara baik. Korupsi
dan inefisiensi jadi musuh terbesar dalam upaya kita memerangi kemiskinan dan
mengurangi kesenjangan.
Pemerintah
akan terus berupaya meningkatkan kredibilitas dan efektivitas APBN sebagai
instrumen penting dalam pengelolaan ekonomi. Meski demikian, APBN bukanlah
instrumen kebijakan satu-satunya. Pemerintah telah dan terus melakukan
berbagai kebijakan ekonomi dan reformasi kelembagaan untuk memperbaiki daya
saing ekonomi dan produktivitas masyarakat, serta memperbaiki iklim investasi
seperti yang tecermin dalam perbaikan kemudahan berbisnis (ease of doing business).
Peranan
seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sangat penting dalam
menjaga perekonomian Indonesia agar negara kita terus mampu meningkatkan
kemakmuran rakyat dan memperkuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar