Mewaspadai
RUU Penyiaran 2017
Ignatius Haryanto ; Peneliti Senior LSPP;
Anggota Koalisi Nasional
Reformasi Penyiaran (KNRP)
|
KOMPAS, 13 Januari
2017
Hampir
15 tahun lalu Undang-Undang Penyiaran disahkan, tepatnya pada 28 Desember
2002. Kelahiran UU ini masih ada dalam suasana euforia reformasi. Tiga tahun
sebelumnya, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 lahir dan sampai hari ini memberikan
warisan sebagai UU Pers yang membela kemerdekaan pers.
Bagaimana
dengan UU Penyiaran 2002? Rupanya tidak semua pihak merasa senang dengan isi
UU Penyiaran itu, mulai dari kewajiban Lembaga Penyiaran melakukan sistem
siaran berjaringan, kemunculan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), aturan
pembatasan kepemilikan silang media, dan lain-lain.
Kini
hampir 15 tahun setelah UU Penyiaran disahkan, upaya revisi yang tidak
kunjung selesai menunjukkan warisan yang baik dari UU Penyiaran 2002 makin
lama makin ditinggalkan. Proses revisi UU Penyiaran-setelah beberapa kali
juga diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) -yang sudah dimulai sejak
2010, menunjukkan gejala bahwa revisi kali ini meninggalkan prinsip penataan
terhadap sistem penyiaran yang adil, merata, dan seimbang.
Saat
ini Komisi I DPR tengah menggodok revisi UU Penyiaran. Namun, ada sejumlah
masalah yang krusial ketika penulis membaca draf yang dikeluarkan pada
Desember 2016 tersebut. Masalah krusial dalam RUU Penyiaran itu adalah yang
terkait sistem siaran berjaringan, kewenangan pemerintah, posisi KPI,
pengaturan soal kepemilikan silang, porsi iklan, dan jenis lembaga penyiaran
yang ada.
Merumuskan kebijakan media
yang imparsial
Des
Freedman, pengajar komunikasi dan studi kebudayaan di Goldsmiths, University
of London, mengatakan, kebijakan media merujuk pada proses yang terbebas dari
berbagai kepentingan di mana aneka permasalahan diselesaikan untuk menjunjung
kepentingan publik lewat mekanisme tertentu yang imparsial (tak bias, tak
memihak) untuk mengubah situasi (The
Politics of Media Policy, 2008).
Dalam
pengertian Freedman, proses pembuatan kebijakan lebih dilihat sebagai
prosedur teknis di mana perubahan kebijakan muncul sebagai respons terhadap
perkembangan teknologi, yang membutuhkan suatu reformulasi baru dari
pendekatan yang telah ada dan cara baru untuk melakukan sesuatu.
Freedman
mengutip Harold Lasswell menjelaskan bagaimana suatu kebijakan itu
dirumuskan. "Perkembangan dan implementasi kebijakan akan berjalan
sangat baik jika mereka dilaksanakan dalam situasi di mana semua pihak sadar,
tetapi juga tidak memihak dengan menggunakan obyektivitas yang penuh
kesadaran dan kemampuan teknis yang maksimal".
Dengan
kerangka ini, saya akan coba memotret bagaimana isi RUU Penyiaran 2017 versi
Desember.
Isi draf versi Desember
Sejumlah
hal yang mencolok dari draf ini adalah tidak ada pasal yang membatasi masalah
kepemilikan silang media, hal yang sebenarnya sudah disebutkan dalam UU
Penyiaran 2002. Tak cukup jelas mengapa pasal ini dihilangkan meski dalam
rancangan penjelasan dari RUU ini disebutkan, "Pengaturan
penyelenggaraan penyiaran dalam praktiknya harus selalu berdasarkan prinsip diversity of content dan diversity of ownership", tetapi
senyatanya ini tak terumuskan dalam pasal yang ada di RUU.
Kewenangan
pemerintah dan KPI sangat timpang dalam RUU ini. Kewenangan pemerintah
mencakup enam hal (Pasal 9 Ayat 1): menentukan arah kebijakan sistem
penyiaran nasional, menetapkan pemetaan penggunaan frekuensi penyiaran di
tiap wilayah siar secara berkala, memberikan dan mengawasi izin
penyelenggaraan penyiaran (IPP), memberikan perpanjangan IPP, menetapkan
biaya hak penggunaan frekuensi, serta memberikan sanksi terkait penggunaan
IPP.
Sementara
kewenangan KPI hanya menyangkut (Pasal 9 Ayat 2): memberikan penilaian
terhadap isi siaran dalam proses uji coba untuk pemberian IPP dan memberikan
evaluasi yang dijadikan dasar perpanjangan IPP
Kondisi
ini berbeda sekali dengan isi UU Penyiaran 2002 (sebelum dipereteli lewat
keputusan MK atas permintaan dari pihak industri penyiaran) yang menyebutkan
kewenangan KPI mencakup (Pasal 8): menetapkan standar program siaran,
menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program
siaran, memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan, melakukan
koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan
masyarakat.
Sistem
siaran berjaringan yang sudah disebutkan dari UU Penyiaran 2002 tak ada
tanda-tanda diperkuat dan memberikan peluang kepada stasiun televisi daerah
untuk turut memberi warna pada sistem penyiaran nasional, apalagi dalam draf
RUU saat ini sistem siaran berjaringan menjadi suatu pilihan yang tergantung
dari lembaga penyiaran itu sendiri. Berarti prinsip diversity of content dan diversity
of ownership pun setengah hati untuk diwujudkan.
Dalam
RUU yang ada, disebutkan pada Pasal 147 bahwa "Waktu siaran iklan spot
paling tinggi 30 persen dari setiap waktu tayang program". Ini artinya
naik dari pengaturan yang telah ada selama ini, yaitu "waktu siaran
iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen, sedangkan
untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15 persen dari seluruh waktu
siaran" (Pasal 46 Ayat 9 UU Penyiaran 2002).
Naiknya
target iklan ini menunjukkan lembaga penyiaran mengedepankan unsur
komersialisasi dari isi siaran. Ini pun baru menyebutkan iklan spot, belum
menyebut jenis iklan dan sponsorship jenis lain yang dalam praktiknya sudah
banyak dijalankan oleh lembaga penyiaran saat ini.
Lembaga penyiaran khusus
bagi parpol
Menurut
saya, ide yang paling berbahaya dari RUU Penyiaran ini adalah dimunculkannya
konsep lembaga penyiaran khusus (Bagian enam, Pasal 103-104). Disebutkan
dalam Pasal 103 Ayat 1 bahwa lembaga penyiaran khusus merupakan lembaga penyiaran
yang bersifat tak komersial didirikan dan dimiliki oleh lembaga negara,
kementerian/lembaga, partai politik, atau pemerintah daerah yang kegiatannya
menyelenggarakan penyiaran radio dan/atau penyiaran televisi.
Pertanyaan
pertama, mengapa pembuat draf merasa perlu hadir jenis lembaga penyiaran
baru? Terutama memberikan ruang kepada parpol untuk juga masuk di lembaga
penyiaran? Apakah ini ide parpol yang saat ini merasa akses mereka pada media
kurang dan iri dengan kondisi sejumlah lembaga penyiaran terkontaminasi
kepentingan parpol yang sudah ada?
Jika
lembaga penyiaran khusus, terutama bagi parpol, diizinkan bukankah hal ini
telah menyalahi prinsip dari imparsialitas lembaga penyiaran? Dan apakah isi
siarannya bisa dikatakan kegiatan jurnalistik? Ataukah isi siaran semacam ini
adalah suatu propaganda dari parpol belaka? Jika dalam praktik hari ini ada
banyak lembaga penyiaran terkontaminasi kepentingan, ini yang harus
dibersihkan, bukannya lalu muncul prinsip "keadilan yang salah
kaprah", di mana seluruh parpol diakomodasi lewat lembaga penyiaran
khusus.
Juga
mengherankan jika pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga juga merasa
perlu mendirikan lembaga penyiaran tersendiri, di bawah kategori lembaga
penyiaran khusus. Saat ini sudah ada lembaga penyiaran publik, seperti TVRI
dan RRI, yang bisa menampung isi siaran model demikian dan prinsip
jurnalistik tetap harus diberlakukan untuk menghadirkan isi siaran yang
berbobot dan berguna untuk kepentingan publik.
Penulis
khawatir jika lembaga penyiaran khusus ini tidak lebih dari suatu upaya
pemolesan citra sejumlah pemerintah daerah yang terfasilitasi lewat RUU ini.
Demokratisasi penyiaran
Bagaimanapun
hal yang mendesak dan penting dari RUU ini adalah persiapan menjelang
digitalisasi penyiaran dan menuju akhir dari sistem penyiaran analog. Proses
pembagian penyelenggara siaran multipleksing haruslah transparan, persaingan
usaha yang sehat, diversity of ownership dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik.
Di
luar itu, prinsip demokratisasi penyiaran yang akuntabel, melindungi
kepentingan publik, mempertahankan prinsip diversity of content dan diversity
of ownership adalah keharusan. Berbagai kalangan memiliki kepentingan atas
RUU ini dan ada baiknya RUU ini didiskusikan secara terbuka dengan sejumlah
pihak dan bukan dengan bekerja secara tertutup.
Jika
dikembalikan pada bahasa Des Freedman di atas, proses pembuatan kebijakan
media yang seperti ini bukanlah proses yang baik, terutama karena unsur
imparsialitas (parpol) diabaikan dalam pembuatannya.
Kita
tentu berharap revisi UU Penyiaran ini akan menuju pada situasi penyiaran
yang lebih baik di Indonesia. Jangan lupa bahwa masyarakat pun makin lama
makin cerdas, serta pilihan atas saluran informasi dan hiburan pun makin
beragam saat ini. Tanpa UU Penyiaran yang cerdas untuk merespons perubahan
zaman, masyarakat yang makin cerdas serta kritis, selain juga merespons
kepentingan lembaga penyiaran sendiri, maka UU Penyiaran mendatang tak lebih
dari suatu macan kertas belaka.
Semoga
bukan itu yang nantinya terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar