Indonesia
di Pusaran Radikalisme Global
A Helmy Faishal Zaini ; Sekjen
PB Nahdlatul Ulama
|
JAWA POS, 06 Januari
2017
ANALYTICAL
and Capacity Development Partnership (ACDP) bekerja sama dengan Kementerian
Agama beberapa waktu lalu mengeluarkan rilis hasil penelitiannya. Yang
mengejutkan dari penelitian tersebut, 30 persen sekolah dasar hingga menengah
di Indonesia sudah terpengaruh nilai-nilai radikalisme.
Hasil
penelitian tersebut tidak bisa kita abaikan kalau tidak ingin masuk ke dalam
situasi yang disebut sebagai “surplus radikalisme”.
Persemaian Radikalisme
Lalu
apa yang memantik sekaligus mengakibatkan fakta menyeruaknya nilai-nilai
radikalisme bisa sedemikian merebak? Tulisan ini ingin mecoba menguraikannya.
Ada tiga faktor utama yang menjadi pemantik merebaknya nilai-nilai
radikalisme tersebut.
Pertama,
hari ini kita semua masuk pada apa yang disebut sebagai masa “kemarau
spiritualitas”. Agama menjadi kebutuhan untuk bersandar di era posmodern yang
semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai yang dipercayai mempunyai
kekuatan transenden. Itu berarti agama menjadi semacam “pelarian” di tengah
ketarasingan zaman semacam sekarang ini.
Kedua,
situasi butuh terhadap ajaran agama sebagai “pelarian” itu tidak ditopang
kontrol orang tua yang baik. Artinya, orang tua cenderung lalai dan abai
dalam mengawasi perkembangan paham keagamaan anak.
Ketiga,
kompetensi guru agama yang kurang mumpuni di sekolah mengakibatkan murid
beralih mencari guru-guru pada kegiatan di luar pelajaran resmi. Lahirlah
kegiatan ekstrakurikuler yang belakangan dikenal dengan akronim rohis. Di
sinilah sebetulnya muasal benih radikalisme tersebut disemai.
Tiga
penyebab itu, dalam pandangan saya, pada akhirnya akan menjadi penyebab tiga
kondisi turunan. Pertama, tumbuh suburnya rohis. Kegiatan ekstra semacam
rohis tersebut, sebagaimana dikatakan Anas Saidi (2015), menjadi pabrik yang
memproduksi tumbuh kembangnya benih-benih radikalisme.
Kedua,
di kalangan kampus berkembang tren paham khilafah islamiah dan gerakan yang
memiliki cita-cita untuk mengganti sistem kenegaraan. Pola seperti ini
terjadi karena yang mendominasi lembaga-lembaga keagamaan atau rohis di
kampus adalah mereka yang memiliki paham keagamaan konservatif dan kanan.
Agama diajarkan secara kaku dan ketat.
Dalam
pada itu, faktor pertama dan kedua tersebut memunculkan fenomena ketiga,
yakni merebaknya gerakan takfiri yang sesungguhnya bila diamati dengan
saksama merupakan metamorfosis gerakan-gerakan kampus. Gerakan kampus hanya
dijadikan semacam “laboratorium uji coba” dan “laboratorium uji layak”.
Setelah merasa gerakannya tersebut sudah mapan dan kuat, mereka sejak 2000-an
“berdakwah’ di luar kampus.
Arus Konservatisme
Apa
yang kemudian terjadi? Pew Research, sebuah lembaga riset terkemuka yang
bermarkas di Washington DC, awal 2016 merilis hasil penelitian yang menyebutkan
bahwa Indonesia masuk kategori negara yang penduduknya mendukung
pandangan-pandangan dan gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Dilaporkan,
ada sekitar 4 persen atau jika dikonversikan menjadi angka berarti ada
sekitar 10 juta penduduk Indonesia yang setuju dan mendukung pandangan dan
gerakan yang dilakukan ISIS. Ironisnya, kondisi seperti itu didukung
mayoritas anak muda dan usia produktif.
Arus
konservatisme ini menjadi sedemikian kuat dan tidak terbendung lagi.
Pandangan-pandangan keagamaan yang cenderung kaku dan ketat menjadi komoditas
yang dengan sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Padahal,
pandangan kaku dan ketat seperti merupakan barang langka di Indonesia jika
kita mencarinya 10-20 tahun lampau.
Maka
tidak mengherankan jika arus radikalisme yang sedang melanda Indonesia saat
ini sesungguhnya saling berkelindan dengan jaringan internasional.
Pertanyaannya
kemudian, di mana posisi Nahdlatul Ulama (NU)? Pertanyaan itu beberapa kali
ditujukan beberapa orang kepada saya secara langsung. Terutama mereka yang
menganggap NU tidak memiliki sikap dan cenderung tidak berbuat banyak dalam
aksi-aksi mutakhir yang melibatkan jutaan orang di ibu kota.
Dalam
NU, dalam berdakwah setidaknya kita diajari untuk mengerti esensi dakwah dan
tata cara dakwah. Esensi dakwah itu menyangkut pemahaman yang baik apa itu
dakwah secara ontologis dan epistemologis.
Dalam
NU dakwah itu mengajak. Ajakan yang terbaik justru bukan dengan cara
menceramahi. Ajakan yang terbaik justru dengan cara memberikan teladan. Wali
Sanga adalah referensi paripurna yang bisa dijadikan renungan. Dalam
berdakwah, para wali cenderung kompromistis dan tidak kaku. Wali Sanga bukan
permisif, tapi lebih bisa meramu ajaran Islam dibumbui dengan kebudayaan
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Jadi, alih-alih mereka sibuk
mengafirkan, yang dilakukan jika melihat umat yang tidak benar justru
menuntunnya, bukan menghardiknya.
Gradasi
berdakwah juga penting. Mula-mula tingkatannya adalah dengan hikmah, kemudian
dengan mauizah hasanah (nasihat yang baik). Jika dua metode tersebut masih
tidak berhasil, jika terpaksa kita diberi pilihan untuk berdebat. Itu pun
dengan catatan harus dengan cara-cara yang baik (billati hiya ahsan).
Bandul Keindonesiaan
Dalam
pada itu, jika membincangkan kondisi mutakhir Indonesia, saya membayangkan di
sana terdapat sebuah bandul. Bandul tersebut memiliki dua sudut atau kutub.
Kutub sebelah kanan adalah agama dan kutub sebelah kiri adalah paham
kebangsaan. Posisi sekarang bandul kita ada di sebelah kanan persis. Dengan
posisi bandul yang berada di sebelah kanan persis tersebut,
pandangan-pandangan yang dihasilkan pun cenderung konservatif.
NU
dari awal mula berdirinya selalu berusaha menjaga bandul itu berada persis di
tengah-tengah. Tidak terlampau ekstrem kanan maupun terlampau ekstrem kiri.
Tidak terlalu liberal-permisif dan juga tidak rigid-konservatif.
Walhasil,
di sanalah NU berada. Di tengah arus konservatisme, NU tetap berkonsentrasi
menjaga moderatisme dengan tetap mengarahkan bandul keindonesiaan ada di
tengah-tengah kutub paham kebangsaan dan kutub agama. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar