Medsos
dan Kebebasan setelah Berbicara
Rachmah Ida ; Dosen
komunikasi FISIP Unair; Ketum ISKI
Jatim
|
JAWA POS, 06 Januari
2017
“THERE
is freedom of speech, but I cannot guarantee freedom after speech.” Begitu
kata diktator Uganda Idi Amin. Freedom of speech atau kebebasan berbicara
adalah konsep yang inheren dengan HAM yang memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menyampaikan opini tanpa harus ada ketakutan sensor atau
tuntutan dan hukuman karenanya.
”Bicara”
atau speech itu sendiri diartikan tidak saja terbatas pada konsep orasi di
hadapan publik. Tetapi, dalam apa pun bentuk ekspresi opini yang disampaikan
di hadapan publik.
Konsep
kebebasan berbicara pada perkembangannya tidak bisa diterima oleh semua
pihak. Dengan kata lain, hak bicara itu tidak absolut. Muncul berbagai syarat
atau conditions yang diberikan oleh pihak-pihak atau institusi terhadap
penggunaan hak berbicara tersebut. Pada institusi-institusi atau pihak-pihak
yang otoriter, diktator, atau pihak yang konservatif, konsep kebebasan
berbicara ditempeli dengan berbagai syarat atau conditions itu. Bahkan,
umumnya kebebasan itu dibatasi dengan konsep ”mencemarkan nama baik”
(slander), ”menyebar kebencian” (insult), atau ”fitnah” (libel/defamation).
Negara
ini telah mengartikan dan memandang berbeda terhadap konsep dan nilai
”demokrasi”. Dalam sjarah pemerintahan yang telah berganti-ganti, konsep dan
nilai demokrasi diterapkan dan dimaknai secara berbeda oleh penguasanya.
Perkembangan
media sosial yang dramatis di dunia dan di tanah air turut serta membawa
perubahan terhadap demokrasi. Seiring itu pula, konsep kebebasan berbicara
menjadi bagian dari ironi dan paradoks para aktivis media sosial. Barangkali
tidak dibayangkan oleh kreator media-media sosial itu sendiri, misalnya
Facebook dan Twitter, bakal terjadi polarisasi penggunaan media sosial.
Media
sosial yang awalnya ditujukan untuk mendekatkan dan menghubungkan individu
menjadi suatu bagian dari masyarakat berjaringan pada perkembangannya
digunakan menjadi media yang lebih banyak mudaratnya (harmful) ketimbang
faedahnya. Masyarakat menjadi resah.
Kelihatan
lah peringai manusia. Asal cuap, asal menulis, dan asal berekspresi, tanpa
berpikir ada orang lain yang tidak suka, ada orang lain yang tersinggung,
serta ada negara dan pemimpin negara yang juga tersinggung. Akibatnya,
kebebasan berbicara atau kebebasan berekspresi melalui medsos melenceng
menjadi istilah yang kemudian muncul sebagai ”penyebar kebencian” atau hate
speech.
Euforia
penggunaan medsos dalam berbagai peristiwa sosial dan politik di tanah air
telah mewarnai demokrasi itu sendiri. Internet sebagai media baru yang
dianggap dan dipelajari oleh para akademisi sebagai platform baru yang
disebut public sphere atau ruang publik nyatanya tidak lagi mampu menjadi ruang
publik yang demokratis. Ada regulasi yang membatasi. Ada hukum siber (cyber
law), ada UU ITE yang kini naik daun.
Ada
regulasi yang ditakuti oleh pengguna medsos. Orang lalu berpikir untuk mau
mengekspresikan opininya. UU ITE seolah menjadi bayang-bayang ketakutan
berekspresi di dunia internet.
Internet
dan medsos menjadi media kekuatan komunal baru saat ini. Kontrol dan
pengawasan (surveillance) komunal semakin kuat akhir-akhir ini. Terutama
ketika gerakan konservatif religius tengah mendapatkan angin. Jika media
mainstream awalnya ketakutan dengan sensor komunal dan pengawasan gerakan
massa terhadap konten media, sekarang tampaknya gerakan kontrol komunal
bergeser pada banyak posting-an medsos dan laman-laman internet.
Negara
bersama dengan gerakan konservatif religius baru menjadi dua kekuatan yang
dikhawatirkan oleh para aktivis dunia siber dan medsos. Francis Fukuyama
pernah mengatakan bahwa jatuhnya Soviet dan suksenya Amerika setelah perang
dingin menandai berkibarnya kapitalisme dan akhir sejarah konservatisme.
Namun, ternyata gerakan konservatif religius fundamentalisme yang sekarang
semakin kuat tidak sempat diprediksi oleh Fukuyama akan muncul.
Polarisasi
konflik antara dua generasi, generasi lama yang konservatif dengan generasi
baru kekirian/leftist, telah muncul di dunia, dan ini yang ditengarai akan
menjadi rhizoma di tanah air. Di Amerika, konflik ideologi antargenerasi itu
terjadi pada era postmodern Amerika seperti yang ditulis oleh James Davison
Hunter pada 1991 dalam bukunya, Cultural Wars: the Struggle to Define
America. Hunter, meskipun tidak secara eksplisit, menyatakan bahwa
pertarungan generasi konservatif dengan generasi kiri baru di Amerika ini
yang pada gilirannya memunculkan persoalan bukan pada kebebasan berbicara,
tetapi kebebasan setelah berbicara.
Dengan
judul yang hampir sama, James Curran (2006) dkk menuliskan tentang konflik
dua generasi itu di Inggris, persoalan yang hampir sama. Dalam bukunya,
Culture Wars: The Media and the British Left, James Curran dkk menunjukkan
bagaimana konflik vis-a-vis di antara generasi konservatif yang pada 1960-an
mengontrol kebebasan berekspresi generasi baru yang cenderung kiri. Namun,
setelah akhir 1990-an dan 2000-an, generasi yang dulu dikontrol telah
menduduki posisi nyaman sebagai pemimpin dan kelompok berpengaruh dalam
politik bersikap berbeda terhadap sikap dan pikiran-pikiran mereka sendiri
ketika menjadi generasi kiri masa lampau.
Generasi
medsos di Indonesia pun tengah mengalami kegalauan mungkin. Media-media
digital yang dikira aman dan lebih bebas untuk berekspresi ternyata tidak
lepas juga dari pengawasan dan kontrol. Kontrol legal melalui UU ITE dan
pengawasan komunal dari kelompok-kelompok yang tidak diprediksi muncul oleh
Fukuyama setelah Perang Dingin.
Jaminan
atas opini dan ekspresi yang ditulis dalam ruang-ruang publik baru tidak lagi
menjadi bentuk baru kebebasan berbicara. Tetapi, beropini di dunia internet
dan medsos menjadi momok baru bagi generasi digital saat ini. Jargon ”To post
or not to post. It’s a question” barangkali bisa menjadi koridor baru bagi
demokrasi digital kekinian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar