Festival
Kuwung
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 10 Januari
2017
Akhir
2016 saya diundang ke Banyuwangi oleh Abdullah Azwar Anas, bupati yang gesit,
cerdas, dan tak ada lelahnya. Saya diajak menyaksikan Festival Kuwung Banyuwangi
yang digelar di pendapa kabupaten.
Festival
Kuwung atau Pelangi menampilkan adat istiadat dan kesenian berbagai ragam
etnis yang ada di Banyuwangi. Mulai kesenian Hindu Bali, suku Osing, etnis
Tionghoa, Madura, Mandar, Mataraman, hingga kesenian-kesenian yang datang
dari berbagai daerah di Indonesia lainnya.
Untuk
memasarkan Banyuwangi, Anas mengaku menciptakan 53 festival setahun. Malam
itu saya dan para undangan sangat menikmatinya. Menyaksikan aneka kebudayaan
dan seni pertunjukan asli Banyuwangi yang indah.
Jadi,
setiap minggu praktis ada festival yang membuat wisatawan selalu ingin
datang. Kini di setiap desa anak-anak dan kaum muda aktif berlatih seni
pertunjukan. Belum lagi para aparatur sipil negara yang tak henti-hentinya
melakukan studi banding. Maklum, Banyuwangi adalah contoh penerapan disruptive government yang tangkas.
Kini
rata-rata turis membelanjakan Rp 2 juta per hari per orang. Sehingga secara
total sektor pariwisata Banyuwangi mampu menyumbang devisa senilai lebih dari
Rp 50 miliar per tahun.
Bahkan,
beberapa event dibuat aktivis-aktivis olahraga dunia. Misalnya balap sepeda
internasional Tour de Banyuwangi Ijen, yang melewati alam pedesaan Maron,
Kecamatan Genteng, Benculuk, lalu ke Sumber Buluh dan Rogojampi. Selain
pesertanya dari mancanegara, banyak lembaga dunia yang ikut berpartisipasi
dan menjadi sponsor.
Bupati
membisiki saya bahwa mereka praktis tak keluar uang banyak. Bahkan bisa
mendatangkan rezeki untuk masyarakat. Ini berbeda dengan Tour de Flores yang
baru dimulai dan harus menghabiskan puluhan miliar rupiah uang pemerintah
daerah serta sponsor lokal.
Terlalu
banyak yang bisa dilihat di Banyuwangi. Ini tentu berbeda dengan Danau Toba
yang masih ”disusui” pemerintah pusat. Presiden berkali-kali datang ke Danau
Toba untuk membuka daerah itu, memimpin Festival Danau Toba agar kembali
menjadi tujuan wisata. Padahal, di area sekitar Danau Toba terdapat delapan
kabupaten dengan adat dan atraksi budaya yang sangat beragam. Hanya, pada
tahap ini, masih terlalu sedikit event yang bisa ”dijual” Danau Toba. Juga
belum terlalu solid para bupati bekerja sama.
Festival
marketing atau pemasaran wisata melalui festival, kalau dikelola dengan baik,
dapat menjadi motor pemacu pariwisata. Tentu tak perlu seminggu sekali. Satu
saja event besar yang mendunia bisa mendatangkan turis tiada henti selama
setahun. Sebut saja Darjeeling Tea Festival di Pegunungan Himalaya, Kala
Ghoda Arts Festival (Mumbai), Onam Festival (Kerala, India), Pushkar Mela
(Rajasthan), Octoberfest (Muenchen, Jerman), Rio Carnival (Brasil), Melbourne
Comedy, New York Fashion Week, Glastonbury (Inggris), Mardi Gras (New
Orleans, AS), Cosplay (Kanto, Jepang), dan banyak lagi.
Di
Rio bahkan festival yang mendunia itu bisa mendatangkan 2 juta turis. Tapi,
jangan salah, festival pertama di kota pantai itu sudah digelar sejak 1723.
Dan, karena pengunjungnya banyak, tarif hotel serta restoran menjadi sangat
mahal.
Disruptive Government
Namun,
tentu saja tak ada yang salah kalaupun kita memulai perubahan dengan strategi
international intensive festival. Festival yang berulang-ulang bisa melatih
semua pihak, ya artis-artis lokal, pemerintah desa, masyarakat, sampai
pemerintah kabupaten. Dalam hal apa? Ini tentu bukan sekadar semi
pertunjukan, tapi membangun kapasitas birokrasi dalam merespons.
Jangan
lupa, kita hidup dalam era disruption. Perubahan yang dipicu teknologi
digital membuat manusia mampu berkolaborasi sehingga membuat marginal cost
rendah, tarif pelancongan lebih terjangkau, dan segmen baru yang selama ini terabaikan
kini masuk sebagai pasar.
Muncul
business model baru yang membuat incumbents menjadi irrelevant, menjadi
obsolete. Dunia pariwisata dituntut mengeksplorasi cara-cara baru. Dan untuk
itu kita membutuhkan disruptive government.
Saya
ceritakan sedikit kepada Anda soal Banyuwangi yang sudah lebih dulu
mengadopsi disruptive government dengan digitalisasi pelayanan. Hal ini agar
Anda mudah memahami dan apa hubungannya dengan disruptive marketing.
Banyuwangi sudah menjadi salah satu kabupaten paling terintegrasi di dunia
maya. Dalam SKPD-nya saja, 61 badan, 24 kecamatan, 28 kelurahan, dan 188 desa
sudah terintegrasi sistem informasinya.
Rapat-rapat
pemkab bisa diadakan melalui grup WhatsApp. Beberapa program pun tercatat
sebagai salah satu pionir di Indonesia seperti SIM perizinan, SMS gateway,
LPPD, serta e-filling dan budgeting. Ada juga program Smart Kampung yang
menghubungkan desa-desa dengan internet. Ini tentang bagaimana membuka akses
dari masyarakat desa pada dunia yang luas.
Pertanyaannya,
apakah hal itu sudah dilakukan para bupati lain yang tengah memasarkan
pariwisata? Harap diingat, ekonomi pariwisata itu banyak pekerjaan rumahnya.
Mulai fasilitas umum, informasi, kesehatan, pangan, kebersihan, petunjuk
jalan, sampai urusan transportasi dan keamanan. Tanpa smart government yang
baik, sulit rasanya mengintegrasikan dan menjamin masa depannya. Festival
yang didorong dari atas saja tidak cukup.
Maksud
saya, untuk menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan, juga untuk menjaga
agar para pelancong mau ikut memublikasikan destinasi wisata yang
dikunjunginya, dibutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai, akses internet
yang kuat, dan pemerintahan yang gesit.
Disruptive Bureaucracy
Akhirnya,
kita butuh birokrasi yang tangkas, transparan, dan direct. Di Pendapa
Kabupaten Banyuwangi saya disuguhi sebuah ruang pelayanan, lengkap dengan
beberapa layar komputer. Di situ saya bisa dengan mudah mengunduh informasi
tentang potensi lokal dan program.
Bupati
Anas menggunakan teknologi digital dan event yang akrab dengan rakyat untuk
membentuk budaya birokrasi baru. Event yang padat itu mampu melancarkan
myelin dalam birokrasi, mendorong partisipasi ekonomi rakyat, serta sekaligus
membentuk engagement antara pemkab dan rakyatnya. Kalau sudah berjalan lancar
begini, tentu saja pemerintah pusat tidak perlu terlalu sering hadir.
Ruangannya
dibuat seperti VIP lounge bandara. Yang dilengkapi kopi, snack lokal, dan
tentu saja wifi plus sofa. Kalau sudah terbuka dan nyaman seperti itu,
pemerintah bisa tidur nyenyak karena sistem tersebut bekerja 24 jam. Memang
betul, disruptive marketing tak bisa lepas dari disruptive bureaucracy, dan
disruptive bureaucracy menuntut cara berpikir baru: disruptive mindset. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar