Dari
Megawati untuk Mereka
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 14 Januari
2017
”Kalau jadi Hindu, jangan jadi
orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen,
jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya
Nusantara yang kaya raya ini.”
Perayaan hari jadi ke-44 Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) di Jakarta, Selasa (10/1) lalu, menjadi etalase
keindonesiaan yang kolosal, khidmat, dan mungkin berhasil menggugah akal dan
nurani publik mayoritas diam (the
silent majority) untuk sekali lagi memahami betul arti kebinekaan.
Rentetan acara yang berlangsung sekitar 2,5 jam menyuguhkan aneka acara
budaya, suguhan videotron, dan pemberian penghargaan internal partai, di pungkas
pidato politik Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Hari jadi PDI-P kali ini tak lagi sekadar ajang pemberian
tumpeng dari Megawati kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla
seperti pada dua tahun sebelumnya. Hari jadi kali ini istimewa karena
Megawati berpidato jujur dan lantang menyikapi situasi politik beberapa bulan
terakhir. Situasi politik dimaksud adalah kericuhan waktu aksi Bela Islam
pada 4 November 2016. Saat bersamaan nyaris pecah kerusuhan di Jelambar dan
sempat ada penumpukan massa di depan Kompleks Parlemen, Senayan.
Sebelum aksi Bela Islam pada 2 Desember 2016, sejumlah
tokoh diciduk dan sampai kini masih diperiksa dengan sangkaan makar. Aksi 2
Desember sendiri berlangsung aman dan tertib serta dihadiri Presiden dan
Wapres.
Aksi Bela Islam itu untuk memprotes Gubernur DKI
(nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama yang kini diadili karena dakwaan menodai
agama. Basuki adalah calon gubernur DKI 2017-2022 yang didukung, antara lain,
oleh PDI-P, yang menyertakan kadernya, Djarot Saiful Hidayat, sebagai calon
wakil gubernur.
Jadi jelaslah peristiwa sejak 4 November 2016 sampai saat
ini erat kaitannya dengan Pilkada DKI yang berlangsung 15 Februari 2017.
Dalam perjalanan peristiwa inilah muncul sejumlah ”pemaksa kehendak” yang
bukan hanya ingin melancarkan makar, tetapi juga terang-terangan menghina
presiden dan lambang negara.
Rasa prihatin, sedih, dan sebal inilah yang membuat
Megawati berbicara lantang. ”Anak-anak saya ini nakal-nakal Bapak Presiden,
tetapi kalau untuk bangsa, jiwa mereka berikan. Kalau ada yang macam-macam
Bapak Presiden dan Wakil Presiden, panggil kami,” ujarnya.
Di satu pihak sesungguhnya demokrasi kita yang terhitung
masih seumur jagung tidak perlu lagi mempraktikkan machtsvorming (pengerahan massa). Politik hari ini melulu
memperlihatkan machtsvorming,
seolah kekuatan politik hanya bisa diukur melalui berapa banyak massa yang
dikerahkan untuk ”demokrasi jalanan”.
Di lain pihak, pernyataan Megawati cukup kontekstual untuk
kondisi politik hari ini. Megawati, yang akan berusia 70 tahun pada 23
Januari 2017, sosok politisi ulung yang sudah makan asam-garam sejak diusir
Orde Baru dari Istana Negara akibat pecahnya peristiwa Gerakan 30 September
1965.
Juga cukup aktual ketika Megawati mengutip ucapan ayahnya,
Presiden Soekarno, tentang menjadi Indonesia seperti tertera di atas kolom
ini. Semakin hari kita semakin menyadari adanya gerakan yang dilancarkan para
pemaksa kehendak, seperti yang memelesetkan Pancasila menjadi ”Pancagila”.
”Apa yang terjadi di pengujung tahun 2016 harus dimaknai
sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai
’pendeteksi sekaligus tameng proteksi’ terhadap tendensi hidupnya ’ideologi
tertutup’ yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Megawati.
Menurut dia, ideologi tertutup itu dogmatis dan hanya muncul dari kelompok
tertentu yang dipaksakan diterima seluruh masyarakat.
Mereka itulah yang anti dialog dan demokrasi, hanya
memaksakan kepatuhan yang didapatkan dari teror serta propaganda. Mereka
melarang pemikiran kritis, menghendaki keseragaman, memusnahkan pemahaman
terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan, dan tidak menoleransi
demokrasi serta keberagaman.
”Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebinekaan.
Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi
lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya
sebagai pembawa self fulfilling
prophecy, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang
akan pasti terjadi pada masa datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia
fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya,” kata Megawati.
Poin paling menggugah dari pidato politik Megawati adalah
ajakan terhadap kelompok masyarakat mayoritas sunyi. ”… sudah saatnya silent
majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama. Saya percaya mayoritas
rakyat Indonesia mencintai NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Sebuah istilah dalam bahasa Inggris berbunyi ”the singer, not the song”. Kita
mungkin kira-kira sudah paham apa yang dipidatokan, tetapi isi pidato menjadi
bertambah makna karena diucapkan oleh siapa yang berbicara.
Dalam hal ini, Megawati mempunyai legitimasi dan legalitas
untuk berbicara tentang situasi politik belakangan ini dan bagaimana kita
memandang serta menanggapinya. Kebetulan Megawati cenderung dikenal sebagai
politisi yang menjalani the politics of
principles yang teguh.
Ia memimpin sebuah partai nasionalis khas Indonesia yang
dimulai dengan perjuangan berat, dimulai dari karier politik paling bawah
sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang sempat merasakan
represi politik Orde Baru. Dalam usia biologis ataupun ideologis yang nyaris
paripurna, sebagai presiden ke-5 dan politisi senior, ia sudah berbicara
kepada kita mengenai situasi politik yang kita hadapi saat ini.
Pidato Megawati tentu juga jadi pemanasan untuk
pertarungan PDI-P dan partai-partai pendukung lainnya dalam pilgub DKI 15
Februari mendatang. Sekali lagi, dirgahayu PDI-P! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar