Demokrasi,
Integrasi, Makar
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 14 Januari
2017
Apakah
demokrasi dalam hidup bernegara merupakan sistem yang baik? Jawabannya pasti
tidak.
Demokrasi
hanyalah sistem yang paling sedikit kelemahannya jika dibandingkan dengan
sistem-sistem lain yang semuanya memuat unsur jelek. Sejak zaman Yunani kuno
Plato sudah mengingatkan, demokrasi berpotensi menimbulkan massa liar dan
beringas. Demokrasi juga terlalu berisiko memperjudikan nasib negara karena
memberikan hak kepada rakyat yang pada umumnya awam untuk menentukan arah dan
kepemimpinan negara.
Di
dalam masyarakat yang kurang terdidik yang muncul bisa-bisa demokrasi jual
beli, transaksional, bahkan demokrasi kriminal. Aristoteles, yang juga murid
Plato, mengingatkan bahwa di dalam demokrasi banyak demagog, agitator ahli
pidato, dan jago membuat janji tetapi tidak pernah bisa memenuhinya. Banyak
politikus demagog di dalam demokrasi yang tidak bisa memenuhi janjinya baik
karena dia tidak tahu atas kompleksitas apa yang dijanjikannya maupun karena
sejak awal niatnya memang membohongi.
Demokrasi,
dalam faktanya, juga sering dijadikan mekanisme kolusi untuk berkorupsi.
Artinya, korupsi bisa dibangun melalui mekanisme demokrasi oleh
pejabat-pejabat yang dipilih melalui mekanisme ”formal” demokrasi juga.
Tetapi, demokrasi tetaplah merupakan pilihan terbaik dari
alternatif-alternatif sistem lain yang juga berpotensi melahirkan
praktik-praktik buruk.
Demokrasi
tetaplah yang terbaik jika dibandingkan dengan otokrasi, oligarki, tirani,
monarki, bahkan dengan aristokrasi sekali pun. Para pendiri negara kita,
Indonesia, paham benar kekuatan dan kelemahan berbagai sistem itu. Selain
soal dasar ideologi negara para pendiri juga sudah memperdebatkan apakah
Indonesia akan dibangun berdasar sistem kerajaan atau republik, berdasar
monarki atau demokrasi.
Sampai-sampai
pilihan atas bentuk pemerintahan republik dan demokrasi dilakukan melalui
voting di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Setelah perdebatan seru pada stem (voting) di BPUPKI tanggal 11
Juli 1945 disepakatilah Indonesia didirikan sebagai negara dengan bentuk
pemerintahan republik yang kemudian disebut Negara Republik Indonesia.
Selain
memilih negara republik sebagai bentuk pemerintahan, para pendiri negara juga
memilih bentuk kesatuan sebagai bentuk negara. Jadilah negara kita sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pilihan atas demokrasi dengan
bentuk pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, dengan demikian,
merupakan kesepakatan para pendiri negara yang juga adalah pemimpin bangsa
yang kemudian dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Begawan
konstitusi KC Wheare, penulis buku the
Modern Constitutions, memang mendalilkan bahwa konstitusi adalah
resultante alias kesepakatan para pembentuknya sesuai dengan situasi dan
kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat dibuat. Tetapi,
pilihan kita atas demokrasi bukan tidak menghadapi problem serius dalam
menjaga kelangsungan negara.
Demokrasi
ada kalanya mengancam integrasi, prinsip lain yang tak kalah penting dalam
bernegara. Integrasi dan demokrasi sama pentingnya bagi kelangsungan negara.
Negara dibangun agar terjadi integrasi (kebersatuan) yang kokoh, demokrasi
dibangun guna memberi peluang bagi setiap individu dan kelompok primordial
sekali pun untuk menyatakan aspirasinya dalam penyelenggaraan negara.
Dilema
antara demokrasi dan integrasi terjadi karena keduanya mempunyai watak yang
berlawanan. Demokrasi ingin membebaskan, sedangkan integrasi ingin mengekang.
Dilema itu pernah ditulis oleh Clifford Geertz dalam topik the Integrative Revolution, Primordial
Sentiments and Civil Politics in the New States ( 1971).
Kegagalan
mengelola keseimbangan antara demokrasi dan integrasi bisa menimbulkan
disintegrasi, bahkan kehancuran. Pakistan memecahkan diri dari India pada
tahun 1947, padahal sebelumnya merupakan kesatuan Hindustan di bawah Britania
Raya, karena sentimen agama. India didominasi Hindu, sedangkan Pakistan
didominasi Islam. Selanjutnya Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan pada
1971 karena perbedaan primordial kedaerahan, bahasa, dan warna kulit.
Orang-orang
Pakistan tinggal di wilayah barat, berbahasa Urdu, dan berkulit terang;
sedangkan orang-orang Bangladesh tinggal di daerah timur, berbahasa Bengali,
dan berkulit agak gelap. Kita bersyukur, sampai saat ini Indonesia masih
dapat menjaga integrasi dengan sistem demokrasi yang beberapa kali mengalami
uji perubahan.
Meskipun
begitu, problem tentang dilema antara demokrasi dan integrasi bukannya tidak
ada di Indonesia. Kasus yang sekarang ramai, sangkaan makar terhadap 12 orang
yang, antara lain, memunculkan nama tersangka Rachmawati dan Sri Bintang
Pamungkas, pada dasarnya merupakan dilema antara membangun demokrasi dan
menjaga integrasi.
Pada
satu pihak para tersangka merasa menggunakan hak-hak politiknya dengan
mekanisme demokrasi sesuai dengan jaminan konstitusi. Di pihak lain, aparat
hukum negara melihat penggunaan hak-hak tersebut mengancam integrasi karena,
disangka, berbau makar. Disinilah dilemanya, terasa ada perbenturan
kepentingan antara membangun demokrasi dan menjaga integrasi.
Maka
itu, diperlukan sikap kenegarawanan dari semua pihak, baik yang ingin menggunakan
jalur demokrasi maupun yang ingin menjaga integrasi. Integrasi harus dijaga
sebagai harga mati, demokrasi harus dibangun sebagai mekanisme pemenuhan
ketentuan konstitusi. Demokrasi dan integrasi harus berjalan harmonis karena
keduanya merupakan jiwa konstitusi.
Demokrasi
tidak boleh liar, integrasi tidak dapat sewenang-wenang. Semua harus bekerja
di dalam koridor konstitusi. Konstitusi kita menentukan, Indonesia bukan
negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) semata, tetapi negara nomokrasi (berkedaulatan
hukum) juga. Sikap kenegarawananlah yang bisa menyuburkan keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar