Dinasti
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 13 Januari
2017
Dinasti
politik tak selalu identik dengan korupsi. Ini ucapan Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Tentu saja benar, banyak ada contoh di Amerika Serikat, India, dan Jepang,
misalnya. Dinasti di negeri itu terjadi karena keturunan sang pemimpin
mempersiapkan diri dengan cermat dan bahkan kedinastian itu dijadikan cambuk
untuk belajar lebih baik.
Namun
di negeri ini, dinasti menyiratkan wajah buram. Partai politik bagai dimiliki
keluarga tertentu. Pengkaderan di partai tidak berjalan. Kader bangsa di luar
partai tentu ada, mereka dilahirkan lewat perguruan tinggi atau lembaga
sosial masyarakat. Namun, untuk berkiprah pada jabatan politik seperti
bupati, gubernur, dan presiden, jalurnya tetap lewat partai. Itu jalur aman.
Memang ada jalur perorangan untuk bupati dan gubernur-presiden tidak-tapi
sengaja dipersulit. Dengan dinasti seperti ini, korupsi adalah bunga yang
bisa mekar dengan mudah.
Mari
kita lihat sekadar contoh. Bupati Klaten, Sri Hartini, yang ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), contoh dinasti teramat buruk. Awal mula adalah
suaminya, Haryanto Wibowo yang menjabat Bupati Klaten periode 2000-2005.
Wakilnya adalah Sunarna. Periode selanjutnya, Sunarna yang jadi bupati karena
Haryanto kena kasus korupsi pengadaan buku paket senilai Rp 4,7 miliar.
Sunarna yang adalah ketua pimpinan cabang PDI Perjuangan Klaten menjadi
bupati selama dua periode (2005-2015) dan wakilnya adalah Sri Hartini, istri
Haryanto itu. Periode selanjutnya, karena Sunarna tak boleh mencalonkan lagi,
Sri Hartini yang tampil sebagai calon bupati. Wakilnya Sri Mulyani, istri
Sunarna.
Pasangan
Sri ini terpilih dengan suara terbanyak dan Museum Rekor MURI menobatkan
mereka sebagai Perempuan Hebat.
Selama
hampir 20 tahun, Klaten dipimpin dua keluarga. Bagaimana menjelaskan
keajaiban ini? Pertama, PDI Perjuangan sebagai partai terbesar dipimpin oleh
keluarga itu. Keputusan politik ada pada mereka, sementara pimpinan di pusat
alpa melakukan pengawasan. Yang kedua, tidak ada kader tandingan yang
menonjol. Dengan kasus seperti ini, rakyat masa bodoh, siapa pun yang
terpilih sama. Maka yang dipilih adalah siapa yang memberi duit lebih besar,
"yang bayar yang menang".
Korupsi
pun tinggal selangkah. Sri Hartini butuh uang untuk mengganti modal
politiknya. Lalu jabatan di kabupaten itu dia jual dengan harga yang tinggi.
Untuk kepala dinas, tarifnya Rp 80 sampai Rp 400 juta. Bahkan untuk kepala
sekolah SD maupun SMP tarifnya minimum Rp 75 juta. Andai Sri Hartini belum
tertangkap sekarang, ladang korupsinya bisa bertambah dengan tarif kepala
sekolah menengah atas dan kejuruan, yang tahun ini pengelolaannya diserahkan
ke pemerintah daerah.
Dari
mana kepala dinas mendapatkan uang untuk modal jabatannya? Ya, sudah pasti
korupsi pula. Korupsi jadi menular terus ke bawah. Sulit dibayangkan di
sebuah kabupaten kecil itu seorang bupati menyimpan uang kontan Rp 2 miliar
lebih ketika KPK melakukan penggeledahan. Juga uang Rp 3,2 miliar di rumah
anak sang bupati, yang "kebetulan" jadi anggota dewan di sana.
Klaten
hanya contoh dari sekian banyak praktek dinasti. Ada dinasti di Banten,
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Bali, dan sepertinya juga di Jakarta dengan
munculnya calon yang dipaksakan dari petinggi partai, bukan calon yang dibina
partai. Untuk itu, imbauan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menjadi
penting, masyarakat harus jeli dalam memilih pemimpin menjelang pemilihan
kepala daerah. Saatnya untuk tidak masa bodoh untuk memperbaiki negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar