Jumat, 02 Oktober 2015

Radikalisasi Kesaktian Pancasila

Radikalisasi Kesaktian Pancasila

Fathorrahman Ghufron ;   Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A’wan syuriah PW NU Jogjakarta
                                                      JAWA POS, 01 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM konteks keindonesiaan, Pancasila adalah ”rumah besar” bagi semua komponen masyarakat dengan segala latar belakang ideologi yang patut dijaga dan diyakini sebagai jalan hidup (way of life) menuju kedamaian (assalam). Bahkan, Pancasila merupakan dasar persatuan dan haluan kemajuan bangsa yang mampu membimbing setiap orang menjadi pribadi yang bersahaja.

Itulah Pancasila, yang setiap 1 Oktober selalu diperingati hari kesaktiannya. Nilai sublim yang tertanam kuat dalam Pancasila penting diaktualisasikan secara terus-menerus, mengingat isu terorisme semakin menyeruak dalam berbagai jenis gerakan. Sebagaimana yang sering ditunjukkan kelompok agama, etnis, maupun kohesi kelompok yang beraliran puritan-radikal yang kerap mendemonstrasikan aksi kekerasan di berbagai kesempatan.

Narasi kekerasan yang digunakan berbagai kelompok beraliran puritan-radikal dapat menjadi pemicu berkembangnya gerakan ekstrem yang lebih besar sekaligus mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu bisa dicermati dari hadirnya berbagai kelompok beraliran puritan-radikal yang berafiliasi dengan ikatan transnasional seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan ditengarai sebagai upaya penghancuran sendi-sendi kebangsaan yang selama ini mengacu pada Pancasila.

Bahkan, Pancasila yang sudah disepakati sebagai asas negara sekaligus titik temu (kalimatun sawa) dari seluruh realitas sosial keindonesiaan yang majemuk (Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban) selalu ditolak dan disebut sebagai ”ideologi haram” yang tidak pantas dipeluk rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Mereka mempropagandakan gagas an doktrin keyakinannya untuk menggantikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka, Pancasila dianggap sebagai ajaran sekuler yang tidak bisa mengatasi problem manusia yang dilanda ketidakadilan dan ketimpangan sosial.

Untuk menyikapi hal itu, segenap komponen masyarakat dan pemerintah perlu menggulirkan semangat keindonesiaan dengan menjadikan Pancasila sebagai asas pengetahuan, paham, dan pola pergerakan secara radikal. Hal itu dilakukan agar menjadi wacana tanding atas aksi terorisme yang selalu berkembang dengan beragam metamorfosisnya. Setidaknya metode itu menjadi bentuk ”jihad nasionalisme” untuk memfilter setiap arus terorisme. Sebab, bila terorisme selalu bercokol ke permukaan tanpa lawan gerakan yang radikal di bawah naungan Pancasila, bisa rusak tatanan kehidupan rakyat Indonesia.

Radikalisasi

Sebagai wacana tanding terhadap arus terorisme, radikalisasi Pancasila meniscayakan gugusan pengetahuan dan pemahaman doktrinal hingga akar nilai yang paling esensial serta konstitusional. Secara epistemologis, radikalisasi menjadi upaya untuk membangkitkan semangat jibaku dalam menjadikan Pancasila sebagai titik tolak dan titik lebur di kehidupan berbangsa dan bernegara secara komprehensif.

Pancasila tidak sekadar menjadi rujukan materi pelatihan maupun bahan ajar di berbagai jenjang pendidikan. Tapi, Pancasila menjadi laku sejarah persemaian keberadaban yang selalu berkembang biak hingga setiap orang meyakini bahwa Pancasila adalah sumber ajaran yang menyinergikan semangat berketuhanan (teomorfisme) dan semangat berperikemanusiaan (antropomorfisme) secara berimbang.

Dalam kaitan ini, ada tiga aspek yang bisa digunakan sebagai sarana penguatan Pancasila secara radikal dalam kehidupan masyarakat. Pertama, radical in mind. Berkaitan dengan penguatan gagasan dan ide merevitalisasi Pancasila sebagai ”semangat pencerahan” supaya setiap sila dalam Pancasila tidak hanya disadari sebagai ”asas negara”, tapi juga dapat disikapi kepada ”asas agama maupun budaya” yang bisa diakui sebagai landasan spiritualitas oleh semua kelompok keyakinan teologis dan etnis. Pancasila harus ditransformasi ke berbagai sebaran pengetahuan di sekolah dan lembaga pendidikan agar membentuk kesadaran kognitif yang memberikan pemahaman komprehensif.

Kedua, radical in attitude. Berkaitan dengan sikap dan perilaku tiap orang untuk menyandarkan sila kebertuhanan sebagai cara melindungi berbagai agama dan kepercayaan, sila kemanusiaan untuk mewujudkan keadaban dan perlindungan terhadap HAM, sila persatuan sebagai komitmen sosial yang meniscayakan kerukunan, sila kerakyatan sebagai basis musyawarah dan mufakat yang mendorong kemaslahatan publik, serta sila keadilan yang meniscayakan adanya pola hubungan rerata sekaligus perlu digunakan sebagai sarana untuk melestarikan sikap simbiosis mutualisme yang beradab.

Ketiga, radical in action. Berkaitan dengan tindakan individu maupun kelompok dalam merumuskan kebijakan aksional bernapas Pancasila yang diperuntukkan kepentingan orang banyak. Pada level aksiologi itu, semua komponen masyarakat menyadari bahwa Pancasila menjadi serapan banyak acuan pengetahuan, baik yang berbasis agama, budaya, politik, dan semacamnya, yang antara satu dan lainnya saling berkait dalam ikatan equal validity serta tidak menafikan kebenaran antara satu dan lainnya. Sebab, substansi ajaran yang terdapat dalam tiap-tiap pengetahuan tersebut sudah terkristal dalam norma besar (grand norm) yang bernama Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar