Minggu, 25 Oktober 2015

Kutukan Sumber Daya Alam

Kutukan Sumber Daya Alam

Achmad Maulani  ;  Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia;
Menulis disertasi tentang bisnis dan politik di era desentralisasi
                                                      JAWA POS, 22 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KONFLIK penambangan pasir besi di Lumajang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu hanyalah satu di antara sekian panjang deretan konflik sumber daya alam (SDA) di tanah air. Kasus tersebut semakin meneguhkan sebuah keyakinan bahwa tanpa pengelolaan yang baik, hamparan sumber daya alam (SDA) tak akan pernah menjadi berkah, melainkan berubah menjadi kutukan ( curse).

Sebagaimana ditulis Sach dan Warner (1995), sejarah mencatat bahwa kelimpahan SDA suatu negara sering justru menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam. Hampir tak ada teladan yang bisa dirujuk bahwa negara yang kaya SDA bisa menjadi bangsa yang makmur.

Dalam soal pengelolaan sumber daya alam, bangsa ini memiliki masalah yang akut. Eksploitasi SDA begitu tak terkendali. Pertanyaan besarnya kemudian, bagaimana bisa anugerah SDA yang dimiliki sebuah bangsa berubah menjadi kutukan? Ada dua argumentasi yang bisa menjelaskan dalam hal ini.

Argumentasi pertama, biasanya pemerintah suatu negara yang dikaruniai SDA yang berlimpah terlambat memulai proses industrialisasi. Padahal, industrialisasi, jika dilakukan dengan konsep yang betul, akan menyelamatkan dalam dua hal. Yakni, meningkatkan produktivitas dan nilai tambah barang/jasa yang dihasilkan. Juga, mengurangi eksploitasi SDA karena konsentrasi industrialisasi bukan eksploitasi, melainkan mengolah.

Kedua, pemerintah suatu negara yang kaya SDA cenderung terjerumus dalam formulasi kebijakan yang buruk. Kebijakan yang tak berkualitas tersebut bersumber dari realitas bahwa kekayaan dengan mudah bisa diperoleh dengan jalan menguras SDA. Akibatnya, kebijakan ekonomi yang diproduksi hanya berfokus pada eksploitasi SDA untuk dijual tanpa menghitung kelayakan daya dukung lingkungan.

Problem itulah yang juga terjadi di Indonesia. Sejak dekade 1960an, secara sistematis terjadi pembabatan hutan dan eksploitasi industri pertambangan tanpa menyisakannya untuk masa depan.

Tipikal kebijakan yang buruk itu bahkan tidak menunjukkan perubahan yang berarti ketika proses eksploitasi SDA telah berlangsung 50 tahun terakhir ini. Karena itu, wajar saja bila proses kemajuan ekonomi akhirnya kurang berpihak kepada bangsa ini. Sebab, eksploitasi SDA memiliki batas, ditambah sebagian besar pelaku eskploitasinya adalah pihak asing.

Dua hal itulah yang mengakibatkan aset SDA justru menjadi kutukan bagi sebagian besar negara yang memiliki kekayaan ekonomi berbasis SDA. Tentu saja, di luar itu, selalu terdapat potensi rente ekonomi yang bisa diperoleh birokrasi pemerintah untuk mengeskploitasi SDA ketimbang menciptakan kebijakan ekonomi yang berfokus pada penciptaan nilai tambah.

Di Indonesia, perkembangan kondisi SDA sudah masuk tahap yang sangat mencemaskan. Di satu sisi, sebagian SDA yang tidak terbarukan hampir habis sehingga sumbangannya terhadap pendapatan nasional kian menciut. Di sisi lain, implikasi kerusakan lingkungan telah menimbulkan aneka bencana alam yang tak tertanggulangi.

Saat bencana alam silih berganti seperti banjir dan kekeringan, sebenarnya itulah fase awal kutukan tersebut. Saat SDA dieksploitasi melebihi batas yang diperkenankan, residu eksploitasi tersebut menjelma menjadi kutukan alam yang tidak dapat dikendalikan.

Tepat pada titik itulah hipotesis kutukan SDA menemui pembenarannya di Indonesia. Tanpa upaya yang serius dan sistematis untuk mengatasi persoalan tersebut, bisa dipastikan pembangunan bangsa ini akan semakin oleng dan sempoyongan.

Karena itu, rekonstruksi pembangunan berbasis SDA mutlak diperlukan dengan menempatkan SDA bukan sebagi pusat pertumbuhan ekonomi semata, melainkan jugamemosisikannyasebagaisumber keberlanjutan pembangunan.
Dalam posisi ini, SDA bukan sekadar bahan baku, namun justru sektor ekonomi harus diselamatkan dan dilindungi. Konsekuensinya, metode penghitungan pembangunan (pertumbuhan) ekonomi konvensional, yang tidak mempertimbangkan degadrasi lingkungan sebagai pengurang pertumbuhan, harus dibuang jauh-jauh.

Perlu dibuat sebuah tolok ukur bahwa pembangunan (ekonomi) akan dianggap gagal apabila kekayaan alam justru menyusut ketika kemajuan dicapai, meski pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka positif. Artinya, pendapatan nasional yang berlanjut ( sustainable) juga harus memperhitungkan penyusutan SDA sekaligus biaya pemulihannya.

Rekonstruksi pembangunan berbasis SDA juga harus dimulai dengan mengkaji ulang secara saksama kepemilikan asing dalam eksplorasi maupun pengolahan SDA. Sebab, secara kasatmata, kepemilikan asing dalam eksplorasi SDA akan menimbulkan setidaknya tiga persoalan.

Pertama, kontrak karya cenderung menempatkan Indonesia dalam posisi yang lemah. Akibatnya, sebagian besar bagi hasil atas SDA tersebut lari ke korporasi asing. Kedua, selalu terdapat ruang bagi pelaku operasi eksplorasi SDA untuk melakukan manipulasi atas hasil operasi. Ketiga, SDA yang menguasai hajat hidup rakyat harus dimiliki dan dikuasai pemerintah.

Merefleksi semua hal tersebut, pekerjaan rumah terpenting saat ini adalah menghentikan praktik rente ekonomi yang menempatkan negara justru sebagi predatornya. Wujud rente ekonomi tersebut adalah korupsi, kelembagaan ekonomi yang rapuh, konflik politik, serta pengambil kebijakan yang lebih memilih transfer SDA ketimbang memodernisasi ekonomi negara.

Untuk itu semua, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, moratorium eksploitasi SDA adalah keniscayaan yang tak bisa ditunda, khususnya sektor pertambangan. Kedua, melembagakan strategi ekonomi yang tidak menempatkan SDA sebagai pusat pertumbuhan, melainkan sebagai mitra sektor hilir. Ketiga, memutus rente ekonomi dan perilaku korup pemangku negara yang masih menguras SDA demi syahwat kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar