Kutukan Sumber Daya Alam
Achmad Maulani ; Kandidat Doktor Sosiologi Universitas
Indonesia;
Menulis disertasi tentang bisnis
dan politik di era desentralisasi
|
JAWA
POS, 22 Oktober 2015
KONFLIK
penambangan pasir besi di Lumajang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu hanyalah
satu di antara sekian panjang deretan konflik sumber daya alam (SDA) di tanah
air. Kasus tersebut semakin meneguhkan sebuah keyakinan bahwa tanpa
pengelolaan yang baik, hamparan sumber daya alam (SDA) tak akan pernah menjadi
berkah, melainkan berubah menjadi kutukan ( curse).
Sebagaimana
ditulis Sach dan Warner (1995), sejarah mencatat bahwa kelimpahan SDA suatu
negara sering justru menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan
yang dalam. Hampir tak ada teladan yang bisa dirujuk bahwa negara yang kaya
SDA bisa menjadi bangsa yang makmur.
Dalam soal
pengelolaan sumber daya alam, bangsa ini memiliki masalah yang akut.
Eksploitasi SDA begitu tak terkendali. Pertanyaan besarnya kemudian,
bagaimana bisa anugerah SDA yang dimiliki sebuah bangsa berubah menjadi
kutukan? Ada dua argumentasi yang bisa menjelaskan dalam hal ini.
Argumentasi
pertama, biasanya pemerintah suatu negara yang dikaruniai SDA yang berlimpah
terlambat memulai proses industrialisasi. Padahal, industrialisasi, jika
dilakukan dengan konsep yang betul, akan menyelamatkan dalam dua hal. Yakni,
meningkatkan produktivitas dan nilai tambah barang/jasa yang dihasilkan.
Juga, mengurangi eksploitasi SDA karena konsentrasi industrialisasi bukan
eksploitasi, melainkan mengolah.
Kedua,
pemerintah suatu negara yang kaya SDA cenderung terjerumus dalam formulasi
kebijakan yang buruk. Kebijakan yang tak berkualitas tersebut bersumber dari
realitas bahwa kekayaan dengan mudah bisa diperoleh dengan jalan menguras
SDA. Akibatnya, kebijakan ekonomi yang diproduksi hanya berfokus pada
eksploitasi SDA untuk dijual tanpa menghitung kelayakan daya dukung
lingkungan.
Problem itulah
yang juga terjadi di Indonesia. Sejak dekade 1960an, secara sistematis
terjadi pembabatan hutan dan eksploitasi industri pertambangan tanpa
menyisakannya untuk masa depan.
Tipikal
kebijakan yang buruk itu bahkan tidak menunjukkan perubahan yang berarti
ketika proses eksploitasi SDA telah berlangsung 50 tahun terakhir ini. Karena
itu, wajar saja bila proses kemajuan ekonomi akhirnya kurang berpihak kepada
bangsa ini. Sebab, eksploitasi SDA memiliki batas, ditambah sebagian besar
pelaku eskploitasinya adalah pihak asing.
Dua hal itulah
yang mengakibatkan aset SDA justru menjadi kutukan bagi sebagian besar negara
yang memiliki kekayaan ekonomi berbasis SDA. Tentu saja, di luar itu, selalu
terdapat potensi rente ekonomi yang bisa diperoleh birokrasi pemerintah untuk
mengeskploitasi SDA ketimbang menciptakan kebijakan ekonomi yang berfokus
pada penciptaan nilai tambah.
Di Indonesia,
perkembangan kondisi SDA sudah masuk tahap yang sangat mencemaskan. Di satu
sisi, sebagian SDA yang tidak terbarukan hampir habis sehingga
sumbangannya terhadap pendapatan nasional kian menciut. Di sisi lain, implikasi
kerusakan lingkungan telah menimbulkan aneka bencana alam yang tak
tertanggulangi.
Saat bencana
alam silih berganti seperti banjir dan kekeringan, sebenarnya itulah fase
awal kutukan tersebut. Saat SDA dieksploitasi melebihi batas yang
diperkenankan, residu eksploitasi tersebut menjelma menjadi kutukan alam yang
tidak dapat dikendalikan.
Tepat pada
titik itulah hipotesis kutukan SDA menemui pembenarannya di Indonesia. Tanpa
upaya yang serius dan sistematis untuk mengatasi persoalan tersebut, bisa
dipastikan pembangunan bangsa ini akan semakin oleng dan sempoyongan.
Karena itu,
rekonstruksi pembangunan berbasis SDA mutlak diperlukan dengan menempatkan
SDA bukan sebagi pusat pertumbuhan ekonomi semata, melainkan
jugamemosisikannyasebagaisumber keberlanjutan pembangunan.
Dalam posisi
ini, SDA bukan sekadar bahan baku, namun justru sektor ekonomi harus
diselamatkan dan dilindungi. Konsekuensinya, metode penghitungan pembangunan
(pertumbuhan) ekonomi konvensional, yang tidak mempertimbangkan degadrasi
lingkungan sebagai pengurang pertumbuhan, harus dibuang jauh-jauh.
Perlu dibuat
sebuah tolok ukur bahwa pembangunan (ekonomi) akan dianggap gagal apabila
kekayaan alam justru menyusut ketika kemajuan dicapai, meski pertumbuhan
ekonomi menunjukkan angka positif. Artinya, pendapatan nasional yang
berlanjut ( sustainable) juga harus memperhitungkan penyusutan SDA sekaligus
biaya pemulihannya.
Rekonstruksi
pembangunan berbasis SDA juga harus dimulai dengan mengkaji ulang secara
saksama kepemilikan asing dalam eksplorasi maupun pengolahan SDA. Sebab,
secara kasatmata, kepemilikan asing dalam eksplorasi SDA akan menimbulkan
setidaknya tiga persoalan.
Pertama,
kontrak karya cenderung menempatkan Indonesia dalam posisi yang lemah.
Akibatnya, sebagian besar bagi hasil atas SDA tersebut lari ke korporasi
asing. Kedua, selalu terdapat ruang bagi pelaku operasi eksplorasi SDA untuk
melakukan manipulasi atas hasil operasi. Ketiga, SDA yang menguasai hajat
hidup rakyat harus dimiliki dan dikuasai pemerintah.
Merefleksi
semua hal tersebut, pekerjaan rumah terpenting saat ini adalah menghentikan
praktik rente ekonomi yang menempatkan negara justru sebagi predatornya.
Wujud rente ekonomi tersebut adalah korupsi, kelembagaan ekonomi yang rapuh,
konflik politik, serta pengambil kebijakan yang lebih memilih transfer SDA
ketimbang memodernisasi ekonomi negara.
Untuk itu semua, ada beberapa
langkah yang bisa ditempuh. Pertama, moratorium eksploitasi SDA adalah
keniscayaan yang tak bisa ditunda, khususnya sektor pertambangan. Kedua,
melembagakan strategi ekonomi yang tidak menempatkan SDA sebagai pusat
pertumbuhan, melainkan sebagai mitra sektor hilir. Ketiga, memutus rente
ekonomi dan perilaku korup pemangku negara yang masih menguras SDA demi
syahwat kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar