Kamis, 01 Oktober 2015

Divestasi Freeport dan Kedaulatan Presiden

Divestasi Freeport dan Kedaulatan Presiden

Ferdy Hasiman ;   Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
                                                       KOMPAS, 01 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Divestasi Freeport Indonesia adalah kesempatan emas bagi pemerintahan Jokowi-JK merealisasikan Trisakti Bung Karno melalui Nawacita dengan membeli 10,64 persen saham pada divestasi tahap pertama, Oktober ini.

Namun, mampu dan maukah Jokowi mewujudkannya di tengah belenggu elite dan kepongahan korporasi transnasional yang sudah puluhan tahun menambang emas dan tembaga di Grasberg-Papua itu?

Tim Khusus Sumber Daya Alam Papua merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo agar divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia (FI) tahap pertama (Oktober 2015) dilakukan melalui mekanisme IPO (penawaran umum perdana) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Rekomendasi pelepasan saham melalui IPO adalah alternatif karena pemerintah belum menyiapkan dana dan perusahaan BUMN belum menunjukkan kesiapan pendanaan membeli 10,64 persen saham Freeport sebesar 1,6 miliar dollar AS, sesuai dengan pengeluaran investasi Freeport di Grasberg-Papua. Ini memang belum final karena penentu akhir ada di tangan Presiden.

Divestasi saham salah satu poin penting dari enam klausul renegosiasi kontrak pertambangan: penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan kontrak, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan kewajiban penggunaan barang-jasa dalam negeri. Tujuan divestasi adalah mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan pertambangan strategis harus dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat. Korporasi asing tak boleh jadi pemegang saham pengendali atas perusahaan tambang.

Sebagai operasionalisasi UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, pemerintah telah menerbitkan PP No 24/2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini mengamanatkan pertambangan yang dikendalikan korporasi asing wajib mendivestasikan 51 persen saham secara bertahap setelah lima tahun berproduksi kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau korporasi lokal melalui pelelangan.

Namun, dengan dalih proses hilirisasi tambang dan investasi tambang bawah tanah, pemerintah SBY-Boediono pada akhir masa baktinya merevisi PP No 24/2012 jadi PP No 77/2014. PP hasil revisi ini lebih lunak karena perusahaan tambang asing yang membangun sektor hulu-hilir (smelter) hanya mendivestasikan 41 persen ke pihak nasional. Sementara perusahaan yang mengolah tambang bawah tanah, seperti PT FI, hanya mendivestasikan 30 persen saham ke pihak nasional. Konsekuensinya, FI hanya mendivestasikan 20,64 persen saham ke pihak nasional karena pemerintah telah mengontrol 9,36 persen saham Freeport.

Rebutan elite

Proses divestasi tak mudah. Pemerintahan Jokowi-JK dihadapkan pada banyak tantangan dari politisi dan pengusaha lokal. Berdasarkan aturan, pemerintah pusat memiliki first right mengakuisisi saham Freeport. Namun, proses divestasi mustahil dilakukan pemerintah pada 2015 karena pemerintahan tak memiliki ruang fiskal untuk membeli saham pertambangan strategis pada APBN 2015. Apalagi, beban APBN sangat berat untuk subsidi BBM, pembayaran utang, dan belanja pembangunan.

Jika saja Kementerian Keuangan menggunakan dana Pusat Investasi Pemerintah (PIP), seperti pada polemik divestasi 7 persen saham Newmont tahap dua, itu hal sulit karena divestasi menggunakan keuangan negara harus melalui persetujuan DPR. Apabila pemerintah pusat tak menggunakan kesempatan ini, divestasi saham akan diserahkan ke pemerintah daerah (pemda) atau melepaskan saham perdana melalui IPO di BEI. Dua opsi ini tentu rawan korupsi.

Pemda Papua tak punya banyak uang untuk membeli saham FI. Paling mereka akan bekerja sama dengan pengusaha lokal. Mekanisme seperti itu yang dilakukan Pemkab Sumbawa Barat pada divestasi 24 persen tahap pertama saham Newmont. Padahal, Newmont waktu itu telah memberi harga spesial ke pemerintah, tetapi yang mendapat keuntungan adalah Grup Bakrie. Maka, divestasi saham FI ke pemda rawan korupsi dan rakyat tak dapat manfaat dari divestasi.

Jika melalui IPO, saham Freeport akan jadi rebutan pengusaha lokal dan politisi yang memiliki akses mudah ke bank. Pengalaman pelepasan saham Garuda Indonesia (GIA) adalah contoh. Pada IPO saham GIA, bekas Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin memborong 400 juta saham atau Rp 300 miliar, yang dilakukan lima perusahaan miliknya. Setelah IPO, salah satu pengusaha kakap yang dapat pinjaman Credit Suisse memborong 351,6 juta lembar (10 persen saham GIA). Masih banyak kasus korupsi dalam penawaran saham, seperti IPO perusahaan baja milik negara, PT Krakatau Steel Tbk.

Opsi divestasi saham FI melalui IPO bukan solusi cerdas. Pemerintah Jokowi kelihatannya tidak mampu memberikan solusi yang lebih brilian dibandingkan rezim sebelumnya dalam divestasi saham pertambangan. IPO saham perusahaan sebenarnya bagus agar partisipasi rakyat Indonesia dalam mengontrol kinerja FI kian besar. Publik makin berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam rapat umum pemegang saham. Persoalannya, publik yang berharap mendapat jatah saham FI bisa gigit jari karena tak kebagian jatah. Semua saham diborong politisi dan pengusaha kaya. IPO saham FI pun jatuh ke tangan orang-orang korup. Pertanyaan, mengapa Freeport jadi incaran?

Freeport adalah barang bagus. Keuntungan finansial produsen tembaga dan emas yang menambang di Grasberg-Papua itu menggiurkan investor. Freeport McMoRan (FCX), misalnya, memproduksi 2,9 juta pound tembaga dan 846.000 ons emas pada kuartal pertama 2014. Kontribusi FI terhadap FCX untuk tembaga 16 persen dan emas 91,7 persen. FCX meraup laba 1,54 miliar dollar AS dari pendapatan sebesar 16,2 miliar dollar AS. FI meraup pendapatan 1,5 juta dollar AS dari tembaga dan 1 miliar dollar AS dari emas. Secara keseluruhan, tambang Grasberg menyumbang 2,5 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2014.

Apalagi, sejak 2010 FI telah membangun The Deep Ore Zone (DOZ), tambang bawah tanah terbesar dunia, dengan kapasitas 80.000 metrik ton biji per hari. FCX telah membangun infrastruktur untuk memperlancar operasi tambang bawah tanah. Tambang bawah tanah diperkirakan akan memproduksi 24.000 metrik ton per pada 2016. Maka, di masa depan Freeport akan mendapat untung besar.

Dengan demikian, yang mendapat keuntungan dari divestasi adalah segelintir elite bisnis dan politik yang punya akses finansial dan akses kekuasaan. Sementara warga Papua masih hidup dalam kubangan kemiskinan dan jadi buruh tambang minus jaminan sosial. Warga asli Papua (Amungme dan Komoro) tetap terpinggirkan. Sungai Wanigon yang dianggap keramat menurut kepercayaan orang Amungsal tetap jadi tempat pembuangan tailing dan limbah beracun hasil tambang.

Kedaulatan Presiden

Posisi Presiden Jokowi sangat penting untuk mengembalikan mandat konstitusi atas pertambangan strategis kita. Presiden harus memiliki kehendak baik agar negara mendapat keuntungan dari divestasi. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) harus mencerminkan konsep Nawacita sebagaimana tertuang dalam visi-misi Presiden, yang merupakan operasionalisasi konsep Trisakti-nya Bung Karno.

Divestasi Freeport ujian kedua setelah nasionalisasi blok Mahakam (Total E&P ke Pertamina), apakah Jokowi mampu bertarung melawan politisi dan pengusaha lokal. Divestasi saham Freeport tidak boleh diserahkan kepada daerah atau swasta, tetapi kepada pemerintah pusat melalui perusahaan BUMN, seperti PT Aneka Tambang Tbk, dan didanai bank-bank BUMN. Keuntungan besar yang diperoleh Freeport tak diragukan untuk pengembalian dana pinjaman dalam jangka waktu singkat. Maka, Menteri BUMN harus menangkap peluang ini. Setelah itu, tambang Freeport harus dikelola secara transparan untuk kesejahteraan rakyat.

Jika BUMN tak punya pendanaan cukup, pemerintah tak perlu tergesa-gesa melakukan divestasi FI. Kontrak PT FI akan berakhir 2021. Setiap kontrak karya yang usai masa kontraknya wajib dikembalikan ke negara. Pada saat itu, pemerintah tak perlu membayar dengan sejumlah uang jika ingin memiliki saham di Freeport. Pada saat itulah, pemerintah bisa memerintahkan PT Aneka Tambang Tbk bekerja sama dengan PT FI dengan porsi saham seimbang agar Indonesia dapat manfaat dari pengelolaan tambang strategis. Opsi kerja sama ini penting karena FI punya skill mumpuni mengelola tambang bawah tanah di Grasberg.

Presiden akan dikenang dalam lembaran sejarah bangsa sebagai pemimpin besar jika sukses mewujudnyatakan program Nawacita dalam menasionalisasi tambang Freeport. Jika tak mau dianggap sebagai boneka kapitalis dan perpanjangan tangan asing, Presiden harus menggunakan kekuasaannya untuk melakukan divestasi PT Freeport Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar