Sabtu, 17 Oktober 2015

Menanti Tindak Lanjut dari Sidak Lapangan Kebakaran Hutan

Menanti Tindak Lanjut

dari Sidak Lapangan Kebakaran Hutan

Mas Achmad Santosa  ;  Spesialis Hukum Lingkungan dan Governance;
Mantan Deputi Kepala UKP4
                                                    DETIKNEWS, 10 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perkembangan terkini sampai dengan kunjungan Presiden Jokowi ke beberapa wilayah Sumatera dalam upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menunjukkan kesungguhan presiden mengatasi bencana ini. Kunjungan ini adalah kedatangan Presiden kesekian kalinya sejak November 2014 tahun lalu.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat secara cermat dan kritis. Pertama, ada pertanda baik dari Presiden dan jajaran pemerintah yang akhirnya menerima bantuan pesawat. Ada yang dari Singapura, Malaysia, Korsel, Rusia dan Tiongkok. Terutama pesawat yang mampu membawa air dalam jumlah besar dengan bantuan bahan/cairan kimia (air tractor) untuk mempercepat pemadaman.

Walaupun terlambat, kerjasama internasional untuk sebuah penanganan bencana sangat diperlukan di tengah-tengah keterbatasan kita. Terlebih lagi dampak karhutla ini telah merugikan negara tetangga. Selain itu, presiden memerintahkan membeli pesawat (sendiri) yang khusus untuk pemadaman (untuk masa mendatang)- membeli sejumlah air tractors yang bisa stand by setiap saat terutama di saat kebakaran belum meluas, merupakan sebuah keniscayaan.

Pertanda positif lainnya, dihari yang sama- Jumat 9 Oktober 2015-, kunjungan Menko Polhukam, Kapolri dan Kepala BNPB di Sumsel lewat udara dan darat melihat langsung kebakaran terjadi di areal HTI yaitu PT Bumi Andalas Permai yang berlokasi di Air Sugihan (Jakpost 10 Oktober 2015 hal 3).

Menko Polhukam Luhut Panjaitan yakin bukan masyarakat lokal yang membakar, akan tetapi HTI (memiliki luas 192.000 hektar konsesi). Sayangnya kunjungan Menko Polhukam hanya dimuat di harian Jakarta Post saja. Menko Luhut mengatakan: "local people are often blamed for the fires. In fact HTI concession holders like you are the parties (who are mainly to blame)....".

Luhut Panjaitan juga di lapangan menegaskan bahwa untuk HTI sebesar ini, seharusnya sudah punya pesawat water bombing, satu unit pemadaman api yang memadai dan sistem peringatan dini yang efektif. Luhut berjanji akan mengecek kembali di bulan Februari, apakah permintaannya sudah dipenuhi.

Poin Luhut ini persis seperti temuan Pak Kuntoro Mangkusubroto menjelang bubarnya UKP4 dan Badan Pengelola BP REDD+ di tahun 2014. Di saat itu, UKP4 dan BP REDD+ melakukan audit kepatuhan (compliance audit) di sejumlah perusahaan besar HTI dan kelapa sawit di provinsi Riau dan menemukan ketidaksiapan perlengkapan pengendalian api di sejumlah perusahaan tersebut. Kuntoro Mangkusubroto saat itu merekomendasikan perusahaan-perusahaan tersebut dibekukkan izinnya sebelum mereka melengkapi persyaratan tersebut.

Berdasarkan temuan audit kepatuhan UKP4 dan BP REDD+, ternyata aparat Pemda juga jauh dari kondisi siap, bahkan tidak melakukan pengawasan kepatuhan di lapangan. Menko Luhut juga meminta Kapolri yang menyertainya kemarin untuk ambil tindakan hukum (maksudnya proses gakum pidana sebagai tugas kepolisian).

Maksud saya mengemukakan soal ini, mengangkat sebuah contoh tentang ketegasan dan obyektifitas dalam menyikapi temuan di lapangan, sekalipun perusahaan itu milik the most powerful business di sektor HTI dan kelapa sawit. Secara jujur harus diakui bahwa di Indonesia, politico-business nexus tak jarang menggangu upaya penegakan hukum yang konsekuen dan berkeadilan. Memang seharusnya pemerintah memiliki wibawa terhadap siapapun, termasuk pelaku usaha yang punya pengaruh politik sekalipun harus sama taatnya di hadapan hukum.

Di Desa Panjang dan Rimbo Panjang Kabupaten Kampar Riau yang ditemukan 22 lokasi kebakaran, sudah ditetapkan 10 tersangka. 6 Tersangka perorangan (pelaku fisik) dan 4 korporasi (pelaku fungsional). Perlu ditelusuri sudah sejauh mana proses hukum yang ditangani Polda Riau dan Polda Sumsel ini berjalan. Siapa yang mengawal proses-proses hukum ini, saya tak paham betul. Persoalan gakum ini sangat rawan intervensi apabila tidak ada yang memelototi proses ini.

Kekhawatiran berikutnya adalah tindak lanjut dari pesan kunjungan Presiden. Bagaimana temuan dan perintah Presiden diterjemahkan menjadi kebijakan pemerintahan yang mampu merespon akar persoalan karhutla. Tantangan terbesar ke depan yang menjadi pertaruhan kewibawaan pemerintah adalah menindaklanjuti pesan dan instruksi presiden di lapangan. Statement menggembirakan dari presiden dan gesture Menko Polhukam yang menunjukkan kegeramannya menyaksikan tindakan pembakaran merupakan respon di sisi hilir (downstream) dari sebuah proses penanganan Karhutla.

Tindakan pemerintah di sisi hulu yaitu penataan ulang kawasan gambut perlu disikapi lebih serius melalui paket kebijakan pencegahan. Diawali dengan penyelesaian peta resmi tentang sebaran lahan gambut, kedalaman gambut, kegiatan-kegiatan apa saja di atas lahan gambut terutama gambut dalam di seluruh nusantara. Mengapa gambut? Karena hampir seluruh kebakaran hutan dan lahan berada di atas kawasan sensitif gambut dalam (deep peatland). Peta ini perlu diintegrarasikan ke dalam RTRW provinsi-provinsi yang memeliki lahan gambut dan rawan kebakaran agar ada legal effect karena terkait dengan pelaksanaan UU Penataan Ruang.

Sikap pemerintah dari hasil pemetaan dikaitkan dengan kondisi/praktik di lapangan/kawasan gambut, sangat diperlukan supaya tidak terjadi lagi kebakaran hutan dan lahan dalam skala luas langkah-langkah pencegahan ini merupakan hal mendesak untuk diselesaikan. Terlalu mahal apabila kita hanya bertindak terus menerus sebagai the "fire fighters". Sikap Presiden Jokowi yang mengunjungi Sei Tohor, Riau di tahun 2014 dan serial kunjungan saat ini (2015) harus diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan operasional, seperti kebijakan perlindungan ekosistem gambut, kebijakan tata ruang, kebijakan pengawasan kepatuhan, kebijakan pengadaan, kebijakan anggaran, kebijakan gakum, pembenahan SDM, kebijakan relokasi kegiatan budi daya di atas kawasan gambut, kebijakan penguatan SDM dan partisipasi luas masyarakat.

Siapa yang mengurusi ini agar penyikapan dan pesan Presiden dan jajarannya terinternalisasi ke dalam sistem pemerintahan dengan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan yang jelas? Pertanyaan ini harus dijawab Presiden dalam beberapa hari mendatang. Diperlukan adanya jaminan agar tidak terulang lagi bencana karhutla dimasa yang akan datang. Kita tidak ingin bangsa ini disebut sebagai pelaku kambuhan (repeated offender). Kita tidak ingin lagi ke depan ada kunjungan-kunjungan tingkat tinggi, ad hoc dalam skala besar dari Presiden yang telah banyak menguras biaya, waktu, energi dan kerugian moneter dan kesehatan serta korban jiwa.

Perlu dicatat sudah saatnya kita punya tekad agar tidak lagi terjangkit sindroma "here today gone tommorrow". Perlu ada jaminan ada tindak lanjut dan ketepatan dalam menterjemahkan kunjungan Presiden yang telah dilakukan berkali-kali. Tindak lanjut ini selalu menjadi sisi lemah indonesia. Apakah semuanya perlu dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) yang setiap bulannya dievaluasi tingkat pencapaian dan kemajuannya? Semua terpulang kepada Presiden dan pembantu terdekat Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar