Perlukah Koruptor Diampuni?
Idil Akbar ; Pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP Unpad
|
KORAN
SINDO, 16 Oktober 2015
Korupsi tampaknya tidak lagi akan dipandang sebagai kejahatan
yang besar, dan kampanye memberantas korupsi hingga akar-akarnya hanya akan
berakhir antiklimaks. Tidak akan ada lagi harapan bagi rakyat untuk menikmati
kondisi di mana negara akan bebas dari kejahatan para koruptor, yang
mengambil uang rakyat untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya.
Semua hal tersebut akan benar-benar terjadi bilamana RUU Pengampunan Nasional
dan revisi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diinisiasi oleh beberapa fraksi di DPR, di antaranya PDIP, Nasdem,
Hanura, Golkar, PPP, dan PKB tunai dijalankan.
Jika politik dinilai bukan apa yang terjadi di permukaan, tapi
apa yang tersembunyi dibalik kejadian, maka kemunculan kedua inisiatif ini
sebetulnya memunculkan pertanyaan besar, mengapa mereka menganggap UU
Pengampunan Nasional, di mana di dalamnya juga memuat tentang pengampunan
bagi para koruptor, harus dibuat dan apa yang mendorong “kengototan” DPR
untuk merevisi UU tentang KPK yang dinilai sepihak sebagai upaya memperkuat
KPK? Dalam pikiran normal, setiap orang akan mengonfirmasi bahwa korupsi adalah
sebuah kejahatan besar.
Negara ini juga sudah masuk dalam kategori kritis untuk
menggambarkan bagaimana korupsi sudah sangat merajalela dan menggerogoti
setiap sendi kehidupan rakyat. Transparency International dalam rilisnya
menempatkan Indonesia di peringkat 107 dari 175 negara dunia. Di kawasan
ASEAN, Corruption Perseption Index
(CPI) Indonesia juga masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan
Filipina.
Maka, bagaimana Indonesia bisa lepas dari korupsi jika upaya
pemberantasan korupsi tak didukung maksimal oleh pemerintah dan DPR? Upaya
mengampuni koruptor dengan alasan apa pun jelas bertentangan dengan kehendak
nurani rakyat. Ditambah lagi dengan mengerdilkan KPK baik secara kerja maupun
kelembagaan, hanya memperpanjang upaya kontraproduktif terhadap usaha
memberantas korupsi.
Seharusnya, penyelenggara negara ini lebih mendorong korupsi
untuk menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), yang karenanya segala bentuk korupsi dan para pelakunya ditindak
pula tidak biasa.
Tak Perlu Diampuni
Jika negara menurut Max Weber memiliki kekuasaan memonopoli dan
menggunakan kekerasan fisik secara sah, negara tak perlu menunggu niat baik
para koruptor mengembalikan semua yang telah diambil dari rakyat dan tak
perlu pula mengampuni perbuatannya.
Negara memiliki kuasa penuh dalam mengatur ketentuan perbuatan
yang melawan hukum dan memberikan sanksi sepadan atas perbuatan tersebut.
Karena itu, jika pengampunan diberikan oleh sebab didasari pertimbangan
koruptor harus mengembalikan semua yang sudah dikorupsi, hal ini dapat
berkonsekuensi pada dua hal, yakni pertama, negara dipandang lemah karena
produk hukum yang dibuat tidak keras terhadap kejahatan korupsi.
Hukum hanya dibuat main-main oleh para pelaku kejahatan korupsi.
Kedua, korupsi tidak akan berkurang, bahkan cenderung kian bertambah karena
para koruptor akan berpikiran toh mereka cukup mengembalikan
dantakperlumasukpenjaraatau sanksi lainnya atas perbuatannya tersebut. Sama
halnya ketika kerja KPK baru bisa menindak korupsi dengan nominal di atas
Rp50 miliar, maka ini sama saja dengan memberi peluang tindak korupsi
dilakukan dengan nilai yang lebih tinggi.
Di luar kapasitas itu, kepolisian dan kejaksaan juga harus
didorong performa nya dalam memberantas korupsi. Dengan begitu, sangat
memungkinkan suatu saat kelembagaan KPK tidak diperlukan lagi karena
kepolisian dan kejaksaan bisa melampaui ekspektasi rakyat dalam pemberantasan
korupsi. Di situlah DPR dan pemerintah semestinya lakukan, bukan justru
membatasi kerja KPK.
Butuh Komitmen Pasti
Belum jelas alasan mengapa koruptor perlu diberi pengampunan dan
perlu dilegalkan pula secara formal. Belum jelas pula logis ketentuan
perlunya revisi terhadap UU tentang KPK pada konteks klausal tertentu yang
signifikan, jika dalam realitasnya korupsi masih menjadi momok bangsa ini.
Mengapa beberapa fraksi di DPR yang notabene merupakan partai
pendukung pemerintah sedemikian ngototnya menginginkan dua bentuk peraturan
itu diterbitkan, hal ini perlu menjadi catatan bagi rakyat dan mempertanyakan
komitmen mereka dalam usaha memberantas korupsi hingga akarakarnya.
Meski baru sebatas pengusulan, tanpa pengawasan dan penolakan
masif kiranya DPR bisa saja meneruskan inisiatif ini. Rakyat karenanya juga
perlu berkontemplasi dengan geliat politik di DPR. Tujuannya agar rakyat tak
“dipecundangi” begitu saja oleh orientasi politik parpol di DPR. Jika ditanya
apa orientasinya? Tentu saja adalah melanggengkan kekuasaan.
Rakyat Indonesia membutuhkan komitmen yang berwujud, tak hanya
terlontar dari ucapan yang dalam logika politik lebih cenderung lip service,
tapi konkret dalam peraturan perundang-undangan yang menunjukkan ketegasan,
keadilan, dan hukuman yang sepadan. Di mana letak komitmen tersebut jika yang
tampak justru ada upaya mendelegitimasi peraturan hingga menghilangkan
urgensi terhadap pentingnya pemberantasan korupsi itu dilakukan.
Ataukah memang ingin melihat rakyat menunjukkan kuasanya dan
mempertimbangkan pilihan politik dalam pemilu berikutnya terhadap parpol yang
tidak mendukung usaha memberantas korupsi secara luas? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar