Selasa, 20 Oktober 2015

Perlukah Koruptor Diampuni?

Perlukah Koruptor Diampuni?

Idil Akbar  ;  Pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad
                                                  KORAN SINDO, 16 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Korupsi tampaknya tidak lagi akan dipandang sebagai kejahatan yang besar, dan kampanye memberantas korupsi hingga akar-akarnya hanya akan berakhir antiklimaks. Tidak akan ada lagi harapan bagi rakyat untuk menikmati kondisi di mana negara akan bebas dari kejahatan para koruptor, yang mengambil uang rakyat untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya. Semua hal tersebut akan benar-benar terjadi bilamana RUU Pengampunan Nasional dan revisi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diinisiasi oleh beberapa fraksi di DPR, di antaranya PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar, PPP, dan PKB tunai dijalankan.

Jika politik dinilai bukan apa yang terjadi di permukaan, tapi apa yang tersembunyi dibalik kejadian, maka kemunculan kedua inisiatif ini sebetulnya memunculkan pertanyaan besar, mengapa mereka menganggap UU Pengampunan Nasional, di mana di dalamnya juga memuat tentang pengampunan bagi para koruptor, harus dibuat dan apa yang mendorong “kengototan” DPR untuk merevisi UU tentang KPK yang dinilai sepihak sebagai upaya memperkuat KPK? Dalam pikiran normal, setiap orang akan mengonfirmasi bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan besar.

Negara ini juga sudah masuk dalam kategori kritis untuk menggambarkan bagaimana korupsi sudah sangat merajalela dan menggerogoti setiap sendi kehidupan rakyat. Transparency International dalam rilisnya menempatkan Indonesia di peringkat 107 dari 175 negara dunia. Di kawasan ASEAN, Corruption Perseption Index (CPI) Indonesia juga masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Maka, bagaimana Indonesia bisa lepas dari korupsi jika upaya pemberantasan korupsi tak didukung maksimal oleh pemerintah dan DPR? Upaya mengampuni koruptor dengan alasan apa pun jelas bertentangan dengan kehendak nurani rakyat. Ditambah lagi dengan mengerdilkan KPK baik secara kerja maupun kelembagaan, hanya memperpanjang upaya kontraproduktif terhadap usaha memberantas korupsi.

Seharusnya, penyelenggara negara ini lebih mendorong korupsi untuk menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang karenanya segala bentuk korupsi dan para pelakunya ditindak pula tidak biasa.

Tak Perlu Diampuni

Jika negara menurut Max Weber memiliki kekuasaan memonopoli dan menggunakan kekerasan fisik secara sah, negara tak perlu menunggu niat baik para koruptor mengembalikan semua yang telah diambil dari rakyat dan tak perlu pula mengampuni perbuatannya.

Negara memiliki kuasa penuh dalam mengatur ketentuan perbuatan yang melawan hukum dan memberikan sanksi sepadan atas perbuatan tersebut. Karena itu, jika pengampunan diberikan oleh sebab didasari pertimbangan koruptor harus mengembalikan semua yang sudah dikorupsi, hal ini dapat berkonsekuensi pada dua hal, yakni pertama, negara dipandang lemah karena produk hukum yang dibuat tidak keras terhadap kejahatan korupsi.

Hukum hanya dibuat main-main oleh para pelaku kejahatan korupsi. Kedua, korupsi tidak akan berkurang, bahkan cenderung kian bertambah karena para koruptor akan berpikiran toh mereka cukup mengembalikan dantakperlumasukpenjaraatau sanksi lainnya atas perbuatannya tersebut. Sama halnya ketika kerja KPK baru bisa menindak korupsi dengan nominal di atas Rp50 miliar, maka ini sama saja dengan memberi peluang tindak korupsi dilakukan dengan nilai yang lebih tinggi.

Di luar kapasitas itu, kepolisian dan kejaksaan juga harus didorong performa nya dalam memberantas korupsi. Dengan begitu, sangat memungkinkan suatu saat kelembagaan KPK tidak diperlukan lagi karena kepolisian dan kejaksaan bisa melampaui ekspektasi rakyat dalam pemberantasan korupsi. Di situlah DPR dan pemerintah semestinya lakukan, bukan justru membatasi kerja KPK.

Butuh Komitmen Pasti

Belum jelas alasan mengapa koruptor perlu diberi pengampunan dan perlu dilegalkan pula secara formal. Belum jelas pula logis ketentuan perlunya revisi terhadap UU tentang KPK pada konteks klausal tertentu yang signifikan, jika dalam realitasnya korupsi masih menjadi momok bangsa ini.

Mengapa beberapa fraksi di DPR yang notabene merupakan partai pendukung pemerintah sedemikian ngototnya menginginkan dua bentuk peraturan itu diterbitkan, hal ini perlu menjadi catatan bagi rakyat dan mempertanyakan komitmen mereka dalam usaha memberantas korupsi hingga akarakarnya.

Meski baru sebatas pengusulan, tanpa pengawasan dan penolakan masif kiranya DPR bisa saja meneruskan inisiatif ini. Rakyat karenanya juga perlu berkontemplasi dengan geliat politik di DPR. Tujuannya agar rakyat tak “dipecundangi” begitu saja oleh orientasi politik parpol di DPR. Jika ditanya apa orientasinya? Tentu saja adalah melanggengkan kekuasaan.

Rakyat Indonesia membutuhkan komitmen yang berwujud, tak hanya terlontar dari ucapan yang dalam logika politik lebih cenderung lip service, tapi konkret dalam peraturan perundang-undangan yang menunjukkan ketegasan, keadilan, dan hukuman yang sepadan. Di mana letak komitmen tersebut jika yang tampak justru ada upaya mendelegitimasi peraturan hingga menghilangkan urgensi terhadap pentingnya pemberantasan korupsi itu dilakukan.

Ataukah memang ingin melihat rakyat menunjukkan kuasanya dan mempertimbangkan pilihan politik dalam pemilu berikutnya terhadap parpol yang tidak mendukung usaha memberantas korupsi secara luas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar