Rabu, 21 Oktober 2015

Freeport dan Masa Depan Investasi

Freeport dan Masa Depan Investasi

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                       KOMPAS, 19 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Permasalahan krusial yang menghadang perekonomian Indonesia saat ini bukan sekadar pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tantangan yang paling mengkhawatirkan adalah potensi penciptaan lapangan kerja yang terkikis akibat penurunan kinerja sektor riil. Sampai dengan triwulan III-2015 disinyalir telah terjadi pemutusan hubungan kerja. Padahal, kontributor penggerak ekonomi terbesar adalah konsumsi rumah tangga. Artinya, jika sumber pendapatan masyarakat terganggu, hampir bisa dipastikan daya beli masyarakat juga akan ikut menurun.

Oleh karena itu, memacu sektor produksi sekaligus menggeser dominasi kegiatan konsumtif melalui peningkatan investasi memang harus segera dilakukan, terutama dengan mendorong industri yang berbasis pengolahan sumber daya alam. Kiblat kebijakan industri harus digeser dari industri berbahan baku impor ke hilirisasi industri, baik hilirisasi berbasis sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, peternakan, maupun pertambangan.

Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan empat paket kebijakan stimulus untuk mendongkrak investasi. Selain agar Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas, hal itu tentu untuk membangun industri hulu dan hilir yang kuat.

Untuk itu, mendorong investasi yang mengolah hasil tambang merupakan investasi yang sangat penting. Pertumbuhan industri dasar akan menjadi pijakan Indonesia untuk menuju negara industri yang kuat. Melalui industrialisasi, kekayaan sumber daya alam tidak sekadar dieksploitasi, tetapi juga mampu menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Guna mewujudkan target pembangunan dan menjaga kepentingan nasional tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk hukum sebagai panduan kegiatan investasi di Indonesia. Produk undang-undang yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di antaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang antara lain mengamanatkan ekspor bahan mentah tidak lagi diizinkan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba Pasal 7c mengamanatkan pembatasan kepemilikan saham asing, yakni maksimal 75 persen untuk eksplorasi dan 70 persen untuk produksi. Implikasinya, pemegang kontrak karya wajib melakukan divestasi saham. PP itu juga mensyaratkan permohonan perpanjangan kontrak minerba baru dapat diajukan perusahaan terkait paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Atas amanat beberapa regulasi tersebut, sudah sewajarnya pemerintah merenegosiasi perjanjian kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia yang mendapatkan konsesi kontrak karya untuk 30 tahun sejak 1991. Renegosiasi dalam perjanjian kontrak karya jangka panjang merupakan hal yang wajar. Sebab, dalam jangka panjang, tentu terjadi dinamika dalam lingkungan strategis bisnis, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun internal. Apalagi jika terjadi perubahan regulasi. Semua regulasi merupakan produk hukum yang mengikat semua pemangku kepentingan, termasuk kewajiban para investor.

Freeport Indonesia, sebagai salah satu perusahaan asing pemegang izin pertambangan terbesar di Indonesia, tentu juga menjadi subyek hukum dari regulasi yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mendapatkan perpanjangan kontrak karya, Freeport Indonesia juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah diatur perundang-undangan di Indonesia. Paling tidak ada empat hal yang harus dipenuhi, yakni wajib memurnikan mineral dengan membangun sarana pemurnian (smelter) sesuai amanat UU Minerba dan mendivestasi saham pemegang kontrak karya sebesar 30 persen seperti diwajibkan PP No 77/2014. Pelepasan saham Freeport dapat dilakukan bertahap, yang menurut rencana sebesar 10,64 persen pada 2015. Adapun kepemilikan Pemerintah Indonesia di Freeport saat ini 9,36 persen saham.

Selain itu, Freeport Indonesia juga harus memenuhi standardisasi pengelolaan lingkungan dengan pengelolaan limbah yang baku. Mengambil contoh di Amerika Serikat, BP yang menumpahkan minyak di Teluk Meksiko dihukum membayar 30 miliar dollar AS.

Yang tak kalah penting, Freeport Indonesia perlu mewujudkan investasi yang berkeadilan. Sejak 1967 hingga 2014, Freeport hanya membayar royalti emas sebesar 1 persen dan royalti tembaga sebesar 0,5 persen. Besaran royalti ini dinilai kecil karena pemberian royalti di negara lain bisa mencapai 6 persen hingga 7 persen. Sebagai perusahaan multinasional, tentu Freeport Indonesia juga harus menyesuaikan kelaziman praktik pemberian royalti yang telah berlaku secara standar di dunia internasional.

Jika Indonesia mampu melakukan penegakan hukum atas semua regulasi yang telah ditetapkan sebagai payung hukum tersebut, konsistensi dan kepastian hukum di Indonesia akan tercipta. Dengan demikian, ke depan akan tercipta keadilan bagi para investor. Kondisi demikian akan menggairahkan dunia investasi di Indonesia dan mendorong masuknya investor ke Indonesia, terutama di sektor pertambangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar