Umat Tanpa Pemimpin
Abdul Mu’ti ; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 14 Oktober 2015
Kamis (8/10), Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerima kunjungan
kehormatan Pimpinan KAHMI Pusat. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar
satu jam dibahas berbagai masalah umat dan bangsa. KAHMI dan PP Muhammadiyah
mengkhawatirkan kondisi dan masa depan umat bangsa. Beberapa masalah umat
yang dirasakan sangat berat dan perlu dilakukan penyelesaian adalah persoalan
lemahnya ekonomi, rendahnya daya saing, dan tidak adanya kepemimpinan.
Artikel ini hanya membahas masalah krisis kepemimpinan umat.
Umat yang Terbelah
Merujuk pada tesis Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid, umat Islam
mengalami masalah segregasi sosial yang serius. Lantas, mengacu pada
peristiwa seputar Reformasi 1998 Kuntowijoyo berpendapat bahwa generasi muda
sudah terbelah antara satu dengan yang lain.
Selain karena faktor orientasi politik, juga karena masjid sudah
kehilangan fungsinya sebagai pemersatu umat. Perbedaan di kalangan aktivis
muda secara kontinum terjadi ketika mereka tampil memimpin organisasi Islam,
partai politik, birokrasi, dan organisasi sosial. Harus diakui saat ini umat
Islam tidak memiliki pemimpin. Yang ada sekarang adalah pemimpin organisasi
Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al- Washliyah, Mathlaul Anwar,
Tarbiyah Islamiyah.
Mereka masing-masing diterima di lingkup internal organisasinya.
Umat tidak memiliki pemimpin yang diterima luas, pemersatu, dan pembangun
solidaritas semua organisasi Islam. Bahkan di kalangan internal organisasi
juga terdapat friksi dan faksi sebagaimana terlihat dalam suksesi kepemimpinan
dan perpecahan selepas perhelatan permusyawaratan. Walaupun di permukaan
tampak rukun, potensi perpecahan umat Islam relatif tinggi.
Di dalam tubuh umat tumbuh kelompok takfiri yang berislam secara
ekstrem dan menempatkan kelompoknya sebagaipemegangotoritastunggal kebenaran
agama. Kaum takfiri mengafirkan pihak lain di luar organisasinya dan varian
lain di dalam sesama organisasi, misalnya dengan label liberal, sekuler, dsb.
Di akar rumput sering terjadi perebutan jamaah, masjid, dan aset sosial.
Tidak adanya pemimpin umat disebabkan beberapa faktor. Pertama ,
modernisasi organisasi Islam yang berdampak terhadap pergeseran nilai dan
kultur kepemimpinan. Di satu sisi modernisasi berdampak positif terhadap
sistem administrasi, manajerial, serta akuntabilitas kinerja dan keuangan.
Namun pada sisi lain, modernisasi melemahkan kepemimpinan
karismatik yang bersendi pada kualitas keulamaan dan keutamaan akhlak.
Modernisasi melahirkan pemimpin formal yang kepemimpinannya ditentukan oleh
jabatan struktural. Berkelindan dengan demokratisasi, modernisasi organisasi
Islam melahirkan pemimpin populis yang kehilangan peran sebagai pemandu umat
dan penegak kebenaran.
Faktor kedua adalah orientasi politik kekuasaan. Banyak pemimpin
organisasi Islam yang menduduki jabatan strategis partai politik. Sebagian
mereka menjadi pejabat publik. Dari sudut perjuangan politik, hal tersebut
merupakan capaian politik santri. Tapi, dari sudut persatuan dan sinergi
perjuangan umat Islam hampir selalu gagal. Fenomena kanibalisme sesama partai
dan rivalitas di antara pemimpin muslim semakin terasa.
Laksana pepatah the winner takes all, di kalangan organisasi
Islam tidak terjadi distribusi dan meritokrasi jabatan. Monopoli dan dominasi
kekuasaan oleh kelompok mayoritas begitu kasatmata dalam kementerian
tertentu. Etik tersingkirkan oleh libido kekuasaan. Faktor ketiga adalah
kurangnya komunikasi, silaturahmi, dan sillatul fikri (tukar-menukar
pemikiran) di antara para pemimpin organisasi Islam sehingga tidak terjalin personal proximity.
Pertemuan sering kali bersifat seremonial, sporadis, dan
kasuistis. Ketika warga Palestina diserang Israel umat Islam segera melakukan
“ritual” kutukan dengan nada bahasa dan isi yang hampir sama. Ketika umat
Islam di Tolikara diserang kelompok Kristen fundamentalis, para tokoh muslim
segera bertemu. Sayup-sayup suara jihad berkumandang. Tapi seruan itu menjadi
lemah ketika pemimpin muslim lainnya membuat pernyataan yang berbeda.
Membangun Dialog dan Kerja
Sama
Dalam sejarah, umat pernah memiliki pemimpin umat seperti Buya
Hamka. Walaupun berlatar belakang Muhammadiyah, Buya bisa diterima oleh
hampir seluruh umat. Pernyataannya sangat di dengar dan akhlaknya menjadi
teladan.
Sekarang ini memang sulit memiliki pemimpin karismatik sekelas
Buya Hamka. Konteks sosial, politik, dan keagamaan umat jauh berbeda. Tapi
umat masih mungkin memiliki pemimpin yang mampu menjalin komunikasi dan
membangun solidaritas umat. Pertama, para pemimpin muslim perlu membangun
komunikasi yang lebih intens dan persahabatan pribadi.
Salah satunya melalui pertemuan nonformal dan saling
mengunjungi. Memang hal ini tidak mudah karena kesibukan masingmasing.
Berbagai ketegangan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah
nonformal. Kedekatan para tokoh di tingkat nasional bisa menginspirasi
pemimpin di akar rumput. Kedua, perlu ada jiwa besar dan kedewasaan untuk
saling memberi dan menerima.
Perlu keikhlasan untuk menjadi makmum dengan tidak memaksakan
diri menjadi imam. Umat perlu membangun tradisi followership tidak hanya leadership. Sesama pemimpin perlu saling
mengisi. Ketiga, diperlukan peningkatan kerja sama di antara organisasi
Islam. Kerja sama tersebut bisa bersifat bilateral. Lembaga seperti MUI bisa
lebih berperan dalam mewadahi organisasi Islam yang lebih inklusif.
Sewaktu menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Din
Syamsudin pernah membentuk forum Silaturahmi Organisasi dan Lembaga Islam
(SOLI) sebagai sarana membangun dan mempererat kerja sama pendidikan,
ekonomi, dan dakwah. Sayang forum tersebut tidak berjalan dengan baik. Di
tengah semangat tahun baru Islam 1437 H, umat Islam perlu lebih serius
memikirkan bagaimana menjalin ukhuwah dan kerja sama.
Tantangan keumatan yang semakin berat di tengah ancaman
perpecahan memerlukan memimpin yang bisa menjadi penyambung lidah umat,
solidarity maker, dan dirigen yang mengorkestrasi suara umat menjadi harmoni
yang indah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar