Petani dan Kedaulatan Pangan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat
|
KORAN
SINDO, 16 Oktober 2015
Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2015, diperingati dengan
mengusung tema “Pemberdayaan Petani sebagai Penggerak Ekonomi Menuju
Kedaulatan Pangan”. Tema ini amat tepat untuk menggambarkan persoalan petani
dan pertanian Indonesia kontemporer. Beban yang dipikul sektor pertanian kian
berat. Di satu sisi sektor ini menampung lebih sepertiga tenaga kerja. Di
sisi lain bertahun- tahun sektor pertanian tumbuh rendah.
Sektor manufaktur yang diharapkan menyerap banyak tenaga kerja
jauh panggang dari api. Akibat surplus tenaga kerja kemiskinan menumpuk di
sektor pertanian. BPS mencatat, dari jumlah penduduk miskin 28,59 juta orang,
Maret 2015, sebanyak 62,75% tinggal di desa yang sebagian besar petani.
Sebagai produsen pangan petani jadi kelompok paling terancam rawan pangan.
Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan.
Keuntungan pertanian on
farm belum menjanjikan, produktivitas aneka pangan melandai,
diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena
deraan kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Bukan
hanya lahan, petani pun terancam punah. Menurut Sensus Pertanian 2013, selama
satu dekade terakhir jumlah keluarga petani menurun 5 juta, dari 31,17 jadi
26,13 juta.
Pertanian dijauhi karena tak menjanjikan kesejahteraan dan masa
depan. Menurut BPS, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian
rerata Rp12,4 juta/tahun atau Rp1 juta/ bulan. Pendapatan ini hanya menopang
sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian
seperti ngojek, berdagang, dan jadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan
tidak ada lagi “masyarakat petani” yakni mereka yang bekerja di sektor
pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.
Pertanian juga dijauhi tenaga kerja muda terdidik.
Menurut Sensus Pertanian 2013, lebih sepertiga pekerja sektor
pertanian berusia lebih 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi. Ini
terjadi karena pertanian mengalami destruksi sistemis di semua lini: di on farm, off farm, serta industri dan
jasa pendukung. Otonomi daerah dan desentralisasi membuat Kementerian
Pertanian tidak punya “tangan dan kaki” di daerah.
Ditambah sikap pemerintah daerah yang tidak memandang penting
pertanian membuat sektor pertanian rapuh di segala lini. Sejak 2007 Indonesia
defisit perdagangan pangan. Impor pangan melesat lebih cepat ketimbang ekspor
sehingga defisit cenderung melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia
sebesar 4,87% per tahun tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi domestik.
Indeks keamanan pangan Indonesia, seperti diukur dalam Global Food Security Index, terus
merosot: dari posisi ke-62 dari 105 negara (skor antara 0-100) pada 2012
anjlok ke posisi ke-74 dari 109 negara pada 2015. Kedaulatan pangan Indonesia
kian rapuh dan rentan oleh fluktuasi harga pangan dunia dan perubahan iklim
ekstrem yang sulit diantisipasi.
Instabilitas harga pangan selalu berulang akibat dominasi
orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan,
kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi amat
terbatas. Ini tidak hanya menggerus daya beli warga, tapi membuat inflasi melambung
dan sulit dikendalikan.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji
menempatkan pertanian pada posisi penting guna mengembalikan kedaulatan
pangan. Ini ditempuh lewat sejumlah langkah yaitu membagikan 9 juta ha lahan
ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha jadi 2 ha, membangun
irigasi/embung, mencetak 1 juta ha lahan baru, mendirikan bank pertanian, dan
mendorong industri pengolahan. Langkah ini tak cukup guna membangun
kedaulatan pangan. Agar berdaulat pangan, pertama-tama petani sebagai pelaku
utama harus berdaulat.
Petani berdaulat bila memiliki tanah, bukan penggarap, apalagi
buruh. Karena itu, pertama, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses
dan kontrol petani pada sumber daya penting (tanah, air, benih, teknologi,
dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Kedua, sumber daya
penting harus dikelola seoptimal mungkin guna memproduksi aneka pangan sesuai
keragaman hayati dan kearifan lokal.
Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan
infrastruktur, pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi.
Perluasan lahan merupakan keniscayaan karena ketersediaan lahan pangan per
kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 meter2 untuk sawah (451 m2 bila
digabung lahan kering), jauh dari Vietnam (960 m2), Thailand (5.226 m2),
China (1.120 m2).
Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang
tidak adil. Dalam lingkup sosial-ekonomi negara perlu menjamin struktur pasar
yang jadi fondasi pertanian, baik domestik maupun dunia, merupakan pasar yang
adil. Liberalisasi kebablasan musti dikoreksi. Lalu dikembangkan perdagangan
adil buat petani dengan mengadopsi harga pantas (fair price): harga break
even point (BEP), plus asuransi gagal panen (50% dari BEP), tabungan masa
depan, dan tabungan pengembangan usaha (masing-masing 10% dari BEP).
Perdagangan adil membuat petani berdaya karena mereka punya
asuransi dan dana investasi. Keempat, mengembalikan fungsi negara sebagai
stabilisator harga pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan
memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga
mengelola sejumlah komoditas penting lain disertasi instrumen stabilisasi
yang lengkap seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor
(waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai.
Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa
dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi
kuasa swasta dalam mengontrol harga dan mereduksi praktik rente. Agar peta
jalan kedaulatan pangan berjalan, perlu dua syarat: anggaran memadai dan
kelembagaan yang powerful . Selama reformasi pertanian dipinggirkan. Politik
pembangunan dan anggaran menjauh dari pertanian.
Pertanian dinilai tidak lagi penting. Kelembagaan yang mengurus
pangan dibubarkan. Padahal, sejarah negara-negara maju seperti AS, Jepang,
dan yang lain mengajarkan tidak ada negara yang ekonominya maju dan stabil
tanpa ditopang pertanian. Meskipun ekonomi mereka sudah bergantung pada
pertanian, tidak serta-merta pertanian ditinggalkan.
Justru pertanian diperkuat dengan anggaran dan aneka
perundangan. Pertanian ditaruh di tempat terhormat: sebagai persoalan bangsa.
Untuk berdaulat pangan, Jokowi-JK harus menempatkan pangan dan pertanian
sebagai persoalan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar