Selasa, 20 Oktober 2015

Petani dan Kedaulatan Pangan

Petani dan Kedaulatan Pangan

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
                                                  KORAN SINDO, 16 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2015, diperingati dengan mengusung tema “Pemberdayaan Petani sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan”. Tema ini amat tepat untuk menggambarkan persoalan petani dan pertanian Indonesia kontemporer. Beban yang dipikul sektor pertanian kian berat. Di satu sisi sektor ini menampung lebih sepertiga tenaga kerja. Di sisi lain bertahun- tahun sektor pertanian tumbuh rendah.

Sektor manufaktur yang diharapkan menyerap banyak tenaga kerja jauh panggang dari api. Akibat surplus tenaga kerja kemiskinan menumpuk di sektor pertanian. BPS mencatat, dari jumlah penduduk miskin 28,59 juta orang, Maret 2015, sebanyak 62,75% tinggal di desa yang sebagian besar petani. Sebagai produsen pangan petani jadi kelompok paling terancam rawan pangan. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan.

Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas aneka pangan melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Bukan hanya lahan, petani pun terancam punah. Menurut Sensus Pertanian 2013, selama satu dekade terakhir jumlah keluarga petani menurun 5 juta, dari 31,17 jadi 26,13 juta.

Pertanian dijauhi karena tak menjanjikan kesejahteraan dan masa depan. Menurut BPS, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rerata Rp12,4 juta/tahun atau Rp1 juta/ bulan. Pendapatan ini hanya menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian seperti ngojek, berdagang, dan jadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan tidak ada lagi “masyarakat petani” yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Pertanian juga dijauhi tenaga kerja muda terdidik.

Menurut Sensus Pertanian 2013, lebih sepertiga pekerja sektor pertanian berusia lebih 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi. Ini terjadi karena pertanian mengalami destruksi sistemis di semua lini: di on farm, off farm, serta industri dan jasa pendukung. Otonomi daerah dan desentralisasi membuat Kementerian Pertanian tidak punya “tangan dan kaki” di daerah.

Ditambah sikap pemerintah daerah yang tidak memandang penting pertanian membuat sektor pertanian rapuh di segala lini. Sejak 2007 Indonesia defisit perdagangan pangan. Impor pangan melesat lebih cepat ketimbang ekspor sehingga defisit cenderung melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia sebesar 4,87% per tahun tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi domestik.

Indeks keamanan pangan Indonesia, seperti diukur dalam Global Food Security Index, terus merosot: dari posisi ke-62 dari 105 negara (skor antara 0-100) pada 2012 anjlok ke posisi ke-74 dari 109 negara pada 2015. Kedaulatan pangan Indonesia kian rapuh dan rentan oleh fluktuasi harga pangan dunia dan perubahan iklim ekstrem yang sulit diantisipasi.

Instabilitas harga pangan selalu berulang akibat dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi amat terbatas. Ini tidak hanya menggerus daya beli warga, tapi membuat inflasi melambung dan sulit dikendalikan.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji menempatkan pertanian pada posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Ini ditempuh lewat sejumlah langkah yaitu membagikan 9 juta ha lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha jadi 2 ha, membangun irigasi/embung, mencetak 1 juta ha lahan baru, mendirikan bank pertanian, dan mendorong industri pengolahan. Langkah ini tak cukup guna membangun kedaulatan pangan. Agar berdaulat pangan, pertama-tama petani sebagai pelaku utama harus berdaulat.

Petani berdaulat bila memiliki tanah, bukan penggarap, apalagi buruh. Karena itu, pertama, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani pada sumber daya penting (tanah, air, benih, teknologi, dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Kedua, sumber daya penting harus dikelola seoptimal mungkin guna memproduksi aneka pangan sesuai keragaman hayati dan kearifan lokal.

Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur, pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Perluasan lahan merupakan keniscayaan karena ketersediaan lahan pangan per kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 meter2 untuk sawah (451 m2 bila digabung lahan kering), jauh dari Vietnam (960 m2), Thailand (5.226 m2), China (1.120 m2).

Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup sosial-ekonomi negara perlu menjamin struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik domestik maupun dunia, merupakan pasar yang adil. Liberalisasi kebablasan musti dikoreksi. Lalu dikembangkan perdagangan adil buat petani dengan mengadopsi harga pantas (fair price): harga break even point (BEP), plus asuransi gagal panen (50% dari BEP), tabungan masa depan, dan tabungan pengembangan usaha (masing-masing 10% dari BEP).

Perdagangan adil membuat petani berdaya karena mereka punya asuransi dan dana investasi. Keempat, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator harga pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga mengelola sejumlah komoditas penting lain disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai.

Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam mengontrol harga dan mereduksi praktik rente. Agar peta jalan kedaulatan pangan berjalan, perlu dua syarat: anggaran memadai dan kelembagaan yang powerful . Selama reformasi pertanian dipinggirkan. Politik pembangunan dan anggaran menjauh dari pertanian.

Pertanian dinilai tidak lagi penting. Kelembagaan yang mengurus pangan dibubarkan. Padahal, sejarah negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan yang lain mengajarkan tidak ada negara yang ekonominya maju dan stabil tanpa ditopang pertanian. Meskipun ekonomi mereka sudah bergantung pada pertanian, tidak serta-merta pertanian ditinggalkan.

Justru pertanian diperkuat dengan anggaran dan aneka perundangan. Pertanian ditaruh di tempat terhormat: sebagai persoalan bangsa. Untuk berdaulat pangan, Jokowi-JK harus menempatkan pangan dan pertanian sebagai persoalan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar