Netralitas ASN di Pilkada
Asrinaldi A ; Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas,
Padang
|
KOMPAS,
21 Oktober 2015
Bukanlah hal yang mudah mengharapkan aparatur sipil negara untuk
bersikap netral dalam pilkada. Walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah mengatur secara jelas larangan ini,
indikasi keterlibatan aparatur sipil tersebut masih dapat dijumpai di hampir
setiap daerah yang melaksanakan pilkada.
Memang dalam praktiknya keterlibatan ini sering dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, tetapi bukan berarti realitas tidak dapat diidentifikasi
oleh banyak pihak. Bahkan, nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani Badan
Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan
Pengawas Pemilu baru-baru ini juga tidak akan mampu membatasi ruang gerak
aparatur sipil ini untuk bersikap netral.
Modus keterlibatan
Ada beberapa modus keterlibatan aparatur sipil negara yang dapat
ditemukan di daerah, terutama menjelang pelaksanaan pilkada. Pertama adalah
aparatur sipil negara yang terlibat dengan bertindak sebagai operator politik
calon kepala daerah yang didukung. Walaupun bergerak sembunyi-sembunyi,
mereka yang menjadi operator lapangan ini menjadi ujung tombak untuk
memobilisasi dukungan massa dan sumber daya yang dibutuhkan calon kepala
daerah.
Hampir setiap saat aparatur sipil negara yang menjadi operator
lapangan akan berkoordinasi dengan ketua tim pemenangan jika calon kepala
daerah tidak dapat berhubungan langsung dengan mereka. Dalam beberapa hal,
pengaruh aparatur sipil negara yang menjadi operator lapangan ini memang
sangat efektif untuk mengumpulkan dukungan dan materi yang dibutuhkan calon
kepala daerah untuk memenangi pilkada. Ini karena sumber daya dan informasi
yang dimiliki aparatur sipil negara sangat dibutuhkan calon kepala daerah
untuk mendukung pergerakan dalam masyarakat.
Modus kedua keterlibatan aparatur sipil negara ini adalah
keterlibatan mereka sebagai kelompok pemikir (think tank) yang membantu di belakang layar. Kelompok pemikir ini
sekaligus bertindak sebagai penasihat politik bagi calon kepala daerah. Modus
keterlibatan kelompok pemikir dapat dilihat dari aktivitas mereka yang
dimulai dari penyusunan visi dan misi calon kepala daerah, strategi kampanye
dan pemenangan, serta penyiapan materi untuk menghadapi debat kandidat yang
diselenggarakan oleh KPU daerah.
Penguasaan aparatur sipil negara terkait dengan pemetaan potensi
daerah, sumber-sumber keuangan daerah, dan rencana pembangunan jangka panjang
daerah menjadi modal bagi mereka untuk membekali kepala daerah dalam
menghadapi persaingan dengan kandidat lain.
Sering kali gagasan yang disampaikan oleh calon kepala daerah
yang berasal dari kelompok pemikir ini menarik perhatian segmen pemilih dari
kelompok menengah. Targetnya tidak lain adalah untuk mendapatkan dukungan
kelompok menengah yang memang lebih fokus pada gagasan setiap calon kepala
daerah untuk pembangunan daerah.
Menjadi fasilitator
Modus ketiga adalah keterlibatan aparatur sipil negara sebagai
fasilitator dalam memfasilitasi kebutuhan operasional calon kepala daerah,
khususnya petahana yang berasal dari birokrat. Fasilitasi ini dapat berupa
uang ataupun barang yang dibutuhkan untuk kegiatan pemenangan calon kepala
daerah.
Dalam beberapa kasus, aparatur sipil negara yang terlibat dalam
tim akan berusaha mencarikan sejumlah pendanaan untuk membantu calon kepala
daerah. Biasanya mereka akan mendatangi pengusaha lokal yang banyak bermitra
dengan pemerintah daerah. Jika pendanaan sulit didapatkan, biasanya calon
kepala daerah meminta aparatur sipil negara yang loyal kepada mereka untuk
menyediakan sejumlah fasilitas pemerintah untuk membantu pergerakan tim
sukses mereka.
Modus lain yang juga lazim ditemukan terkait dengan keterlibatan
aparatur sipil negara ini adalah penyedia dana bagi calon kepala daerah.
Biasanya aparatur sipil negara yang terlibat adalah mereka yang memiliki
sejumlah proyek pemerintah dalam APBD sehingga uangnya bisa dialokasikan
untuk membantu aktivitas calon kepala daerah untuk memenangi pilkada.
Biasanya yang terlibat dalam modus tersebut adalah mereka yang
memiliki jabatan eselon di pemerintah daerah. Melalui kewenangan yang
dimiliki, pejabat bisa mengintervensi penggunaan dana proyek yang sedang
berlangsung.
Demi jabatan
Sudah menjadi pengetahuan awam bahwa aparatur sipil negara yang
terlibat dalam politik praktis ini biasanya dihubungkan dengan keinginan
mereka untuk mendapatkan jabatan setelah calon kepala daerah yang mereka
dukung menang. Bahkan tidak jarang untuk memberi harapan, calon kepala daerah
pun menjanjikan sejumlah jabatan pemerintahan kepada aparatur sipil yang
mendukungnya.
Meskipun aturan terhadap keterlibatan aparatur sipil negara ini
sudah dibuat pemerintah, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Aturan
seakan tidak mampu menjangkau perilaku aparatur sipil negara dalam
berpolitik.
Memang sejak pilkada secara langsung dilaksanakan tahun 2005,
persoalan netralitas aparatur sipil negara ini selalu menjadi perhatian
publik. Bahkan, UU pun tidak dapat mencegah lebih jauh keterlibatan aparatur
sipil negara dalam politik praktis karena naluri kekuasaan yang ada dalam
diri aparatur sipil negara ini begitu besar dan kesempatan yang ada
memungkinkan mereka terlibat.
Apalagi tidak ada sanksi yang tegas untuk pelajaran bagi
aparatur sipil negara ini kecuali hanya sebatas imbauan dan teguran. Hal ini
tentu saja tidak membuat mereka jera. Jika diperhatikan, hampir pada setiap
pilkada yang dilaksanakan, keberpihakan aparatur sipil negara selalu terjadi
tanpa dapat dicegah pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar