Performa Komunikatif Jokowi
Gun Gun Heryanto ; Direktur EksekutifThe Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KOMPAS,
26 Oktober 2015
Jokowi ibarat narasi multimakna yang dibaca dan diinterpretasi
secara berbeda-beda. Tiap fase perjalanan Jokowi di puncak hierarki otoritas
birokrasi pemerintahan menjadi perbincangan sekaligus evaluasi banyak
kalangan. Sudah satu tahun Jokowi memimpin Kabinet Kerja, tentu tak mudah memuaskan keinginan banyak orang.
Meminjam istilah Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya Relating
Dialogues and Dialectics (1996), situasi seperti ini sering menghadirkan
dialektika relasional. Cirinya, kerap kali muncul ketegangan-ketegangan
berkelanjutan. Situasi penuh kontradiksi inilah yang membuat Jokowi wajib mencermati performa komunikatifnya di
tengah pusaran harapan dan banyaknya kepentingan.
Pola interaksi
Hal terberat di fase awal pemerintahan Jokowi-JK tentu saja
mengelola harapan publik yang sangat tinggi. Realitas politik dan ekonomi
menghadirkan turbulensi lebih dini. Jokowi dihadapkan pada tekanan politik
sangat intens dari partai-partai di dalam dan di luar kekuasaan. Pelambatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tekanan krisis ekonomi global membuat fase tinggal landas kabinet kerja
tak menghadirkan impresi memadai. Terlalu prematur menghakimi sukses tidaknya
Jokowi hanya dari perjalanan satu tahun kinerja kabinet. Namun, ada hal
serius saat di fase awal harapan publik cepat memudar akan berdampak pada
tingkat dukungan masyarakat kepada Jokowi.
Realisasi sejumlah program jangka pendek dan menengah dapat
menjadi indikator awal apakah gerbong pemerintahan Jokowi-JK melaju di rel
yang tepat atau sebaliknya. Seberapa optimal Jokowi merealisasikan
program-program pro rakyat yang sudah dijanjikan saat kampanye pemilu tahun
lalu. Misalnya, program kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan yang dirasakan langsung dampaknya oleh
masyarakat. Sering kali masyarakat tak cukup memiliki kesabaran menanti realisasi program jangka panjang, dan tak
mau ambil pusing bagaimana pola relasi kuasa antarelite yang berdampak pada
maju mundurnya kerja kabinet.
Dalam praktik keseharian, opini publik selalu terbangun dari
tiga komponen utama. Pertama credulity,
yakni soal percaya atau tidak. Apakah publik percaya atau sebaliknya mulai
menyangsikan kiprah Jokowi dan Kabinet Kerja-nya. Kedua reliance, yakni
tingkat pentingnya kepercayaan bagi seseorang. Sesuatu yang sudah dipercayai
belum tentu dianggap penting oleh publik. Jika kepercayaan saja belum
menggaransi, apalagi kalau publik sudah tak memercayai pemerintah. Jalan
terjal membentang karena Jokowi akan
kesepian dan tak bisa menggerakkan kekitaan dalam model demokrasi-partisipan.
Ketiga, nilai kesejahteraan (welfare
values), hampir semua opini terkait dengan apa yang dirasakan dan
diupayakan publik menyangkut kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Tiga
hal ini menjadi kunci dalam konteks membangun hubungan pemerintah dengan
rakyat.
Salah satu kekuatan utama Jokowi sejak lama adalah kedekatannya
dengan rakyat. Karena itu, modal sosial berupa kepercayaan inilah yang
menjadi simpul kekuatan Jokowi dalam mengurai pola interaksi yang sering
menjebak siapa pun presiden berkuasa dalam praktik politik konsensus yang
kolusif. Helmke dan Levitsky dalam Informal
Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004) mencatat, akan muncul dan menguat empat
pola interaksi politik, yakni pola
melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola memiliki
pendekatan berbeda-beda.
Idealnya, dalam proses penguatan konsolidasi demokrasi, ada
kejelasan posisi politik di dalam atau di luar kekuasaan. Namun, dalam
praktik politik, pola hubungan berjalan sangat cair. Dalam situasi ini,
godaan membangun pola interaksi akomodatif sangat tinggi sehingga kekuasaan
berjalan elitis dan transaksional.
Zona nyaman kekuasaan sering melenakan dan mengokohkan mitos bahwa
garansi politik hanya akan diperoleh dari koalisi besar parpol.
Evaluasi performa
Performa komunikatif Jokowi masih kedodoran di satu tahun
pertama pemerintahannya. Pacanowsky dan O'Donnell dalam bukunya Communication
and Organizational Culture (1982) mendefinisikan performa sebagai metafora
yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam
sebuah organisasi. Dalam konteks bahasan ini, publik tentu akan memahami
sikap dan tindakan komunikatif Jokowi dalam memimpin Kabinet Kerja.
Ada lima indikator dalam
mengevaluasi performa komunikatif: performa ritual, hasrat, sosial, politis,
dan enkulturasi. Pertama, performa ritual terjadi secara teratur dan berulang
dalam ritual personal, tugas, sosial, dan organisasi. Dalam hal ritual
personal, Jokowi tak mengalami masalah
karena nyaris tak ada perubahan ritual komunikasi Jokowi yang menjadi ciri
khas dirinya. Kebiasaan blusukan dan
pola komunikasi horizontal memosisikan Jokowi terasa lebih dekat dengan
rakyat. Populisme menjadi hal paling
disukai oleh publik dari performa Jokowi.
Ritual tugas masih menunjukkan persoalan besar karena sering
kali keinginan Jokowi dimaknai dan diterjemahkan berbeda oleh para
menterinya. Jokowi bertugas sebagai kepala pemerintahan yang harus memastikan
arah dan kebijakan pemerintah berjalan sepengetahuan dan atas persetujuan
dirinya. Ritual sosial menyisakan
wajah ganda Jokowi.
Di satu sisi, mulai
sukses mencari titik keseimbangan
politik melalui hubungan sosial dengan beragam kekuatan politik berbeda,
tetapi di sisi lain masih tergagap mewujudkan hubungannya dengan rakyat yang
berharap banyak pada Jokowi. Ritual organisasi masih mengecewakan, terutama
dalam koordinasi lintas sektoral di antara para menteri. Silang sengketa
antarmenteri masih sering meletup di ruang publik dan baru terkesan menjadi
permainan tingkat tinggi dengan risiko tinggi. Belum benar-benar berimplikasi
pada hasil yang menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat banyak.
Kedua, performa hasrat yang senantiasa digelorakan Jokowi sejak
lama, yakni revolusi mental. Hasrat
melakukan revolusi mental harusnya menjadi soko guru utama perubahan bangsa
saat ini dan ke depan, tetapi dalam gerak pelaksanaannya, hasrat itu belum
meyakinkan dalam konteks implementasi beragam kebijakan.
Ketiga, performa sosial relatif belum ada masalah serius karena
rezim Jokowi masih mau dan mampu membangun pola hubungan sosial egaliter dan
resiprokal. Keempat, performa politis
juga tidak sedang bermasalah karena demonstrasi kekuasaan serta kontrol
berjalan demokratis. Kelima, performa enkulturasi belum cukup kuat melibatkan
dan menggerakkan rakyat dalam arus besar perubahan yang diinginkan. Jokowi
sedang diuji sejarah, akankah dia berpihak pada rakyat atau larut dalam
kubangan politik elite yang pragmatis.
Jokowi harusnya mengoptimalkan semacam paradigma politik grunigian. Dalam Managing Public Relations (1984),
Grunig dan Hunt mendeskripsikan model ini sebagai upaya menciptakan pemahaman
bersama dengan tindakan pokoknya pada keuntungan bersama (mutual benefit)
antara pemerintah dan rakyat, bukan hanya elite! Oligarki parpol dan stelsel
aktif para pemburu kekuasaan di sekitar Presiden dapat mereduksi cita-cita
mulia menghadirkan kepemimpinan transformatif.
Janji kampanye tentu bukan sekadar mantra agar orang memilih di
bilik suara, melainkan ikrar mengikatkan diri dengan rakyat agar prinsip
bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum bisa ditunaikan. Jika lupa
prinsip tersebut, rakyat pun perlahan tetapi pasti akan meninggalkan Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar