Sabtu, 24 Oktober 2015

"Quo Vadis" Hari Santri Nasional

"Quo Vadis" Hari Santri Nasional

Kamaruddin Amin  ;  Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
                                                       KOMPAS, 22 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Struktur demografi Indonesia memosisikan santri sebagai bagian fundamental dari negeri tercinta Indonesia. Meskipun secara historis kontribusi santri dalam proses pembentukan bangsa ini amatlah besar, eksistensi dan perannya dalam pergumulan Indonesia modern masih terasa marjinal atau "termarjinalkan". Apa makna penetapan Hari Santri dalam konteks Indonesia modern? Apakah penetapan tersebut dapat menarik komunitas santri dari pinggiran ke poros percaturan sosial, budaya, ekonomi, dan politik Indonesia kontemporer? 

Kalau kita membaca sejarah perjuangan tokoh-tokoh, seperti Hasyim Asyari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A Hassan (Persis), Ahmad Soorkati (Al-Irsyad), Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar), mereka adalah tokoh-tokoh Islam yang berdarah Merah Putih. Mereka memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan yang sangat kuat.

Kalau definisi santri dapat dinisbahkan kepada mereka, maka santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan, mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai Islam di satu sisi dan semangat serta kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk di sisi lain.

Oleh sebab itu, santri tidaklah eksklusif teratribusi pada komunitas tertentu, tetapi mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat la ilaha illallah. Kalau definisi ini kita sepakati, maka penetapan Hari Santri menjadi sangat relevan dalam konteks Indonesia modern yang plural. Hari Santri menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan.

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki justifikasi historis yang kokoh di mana hadrot al-Syakh Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad yang mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah. Resolusi tersebut berhasil memberi energi dan semangat patriotisme yang sangat dahsyat kepada umat Islam pada saat itu. Penetapan tanggal tersebut tentu tidak mengurangi, apalagi menafikan, nilai heroisme dan patriotisme tokoh-tokoh   lain yang telah menorehkan sejarah dan peristiwa historik yang lain.

Definisi santri seperti di atas diharapkan menjadi driving force yang dapat mengintegrasikan, tak hanya ideologis sosiologis, tetapi juga politis. Oleh karena itu, penetapan Hari Santri setidaknya merupakan, pertama, pemaknaan sejarah Indonesia yang orisinal dan otentik yang tidak terpisah dari episteme bangsa. Bahwa, Indonesia tak hanya dibangun di atas senjata, darah, dan air mata, tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius yang berdarah Merah Putih.

Kedua, secara sosio-politik mengonfirmasi kekuatan relasi Islam dan negara. Indonesia dapat menjadi model dunia tentang hubungan Islam dan negara.

Ketiga, meneguhkan persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam ormas-ormas Islam dan parpol yang berbeda. Perbedaan melebur dalam semangat kesantrian yang sama.

Keempat, pengarusutamaan santri yang berpotensi termarjinalkan oleh derasnya arus globalisasi. Penetapan Hari Santri tentu tak hanya bersifat simbolik formalistik, tetapi bentuk afirmasi realistis atas komunitas santri.

Kelima, menegaskan distingsi Indonesia yang religius demokratis atau upaya merawat dan mempertahankan religiusitas Indonesia yang demokratis di tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cendrung ekstrem radikal. 

Komunitas penting

Islam Indonesia kontemporer yang demokratis, progresif, moderat, toleran, inklusif, dan apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama tidak bisa dilepaskan dari kontribusi fundamental para santri. Dengan kata lain, perjuangan panjang tanpa henti para santri mempromosikan moderasi Islam di tengah pluralitas budaya dan etnik yang sangat masif membuahkan hasil Indonesia yang damai, meskipun konflik komunal, konflik sporadis yang mengatasnamakan agama tertentu masih sering ditemukan.

 Sebagai tindak lanjut dari penetapan Hari Santri tersebut, pemerintah dan santri harus bersinergi mendorong komunitas santri ke poros peradaban Indonesia. Santri tidak boleh menjadi penonton, cemburu dalam dialektika sosial budaya ekonomi politik Indonesia. Negara pun memberi ruang proporsional bagi santri untuk beraktualisasi.

Sebagai bagian dari komunitas santri, pondok pesantren yang jumlahnya hampir 30.000 lembaga dengan jumlah santri tidak kurang 4 juta-di samping memainkan peran utamanya sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan tafaqquh fiddin yang konsentrasi mencetak ulama, agen perubahan sosial-harus berada di garda depan memberi kontribusi konkret dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kehadiran negara dalam dunia santri harus semakin terasa. Jika sinergi ini bisa diwujudkan, maka santri akan menjadi komunitas penting yang akan menopang Indonesia sejahtera di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar