Capella Apes
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 17 Oktober 2015
Berita mengagetkan itu masuk ke handphone ketika saya sedang berseminar
di IAIN Bengkulu. Ya, dua hari lalu, Kamis, 15 Oktober 2015 siang, Patrice
Rio Capella ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
”Rio Capella apes,” saya membatin. Saya mengenal Capella sebagai
politisi yang relatif baik di tengah-tengah kumuhnya perpolitikan nasional.
Saya pernah beberapa kali melakukan dialog pendek, misalnya saat off air dalam dialog terbuka di sebuah
stasiun televisi.
Meskipun saat on air
pernyataan-pernyataannya tampak terlalu klise mewakili arus politik tertentu,
saat off air sikap pribadinya pada
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sangat tegas. Dia berbagi pandangan
dengan saya dan saya menyenanginya dengan tetap memahami posisinya sebagai
petinggi politik.
Pertama kali saya mengenal Capella sebagai pemenang kursi DPR
pada Pemilu 2009, tetapi dia harus kehilangan kursi karena digugat oleh
pesaingnya dari parpol yang sama. Saat itu dia apes karena KPU Bengkulu tidak
hadir di sidang MK untuk memberikan pembelaan sehingga permohonan (gugatan)
pemohon tidak dibantah, kemudian permohonan dianggap benar dan dikabulkan.
Kali ini pun menurut saya Patrice Rio Capella apes karena di negeri ini
banyak dugaan korupsi besar yang mencapai ratusan miliar, bahkan triliunan
rupiah, tetapi tersangkanya tak kunjung ditetapkan. Capella apes karena dengan
kasus sangkaan korupsi (penyuapan) yang nilainya hanya Rp200 juta cepat
sekali dijadikan tersangka.
Pada 2006, saat menjadi anggota DPR, melalui sebuah majalah
mingguan saya pernah menulis artikel berjudul ”Koruptor Apes”. Waktu itu saya
katakan di negeri ini pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh menegara
atau menjadi kerja negara yang terencana, sistematis, sinergis, dan terukur
tidak terlihat.
Sepertinya tak ada kesungguhan. Banyak koruptor yang tertangkap
hanya karena apes, yakni tak punya uang untuk membeli kasusnya melalui pintu
belakang dan atau tak punya beking politik yang bisa melindunginya. Tentu
saja pandangan saya itu tak sepenuhnya benar. Itu hanya ekspresi dari
kekecewaan saat itu karena melihat cara-cara pemberantasan korupsi yang oleh
masyarakat dinilai tebang pilih.
Meskipun begitu, saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan
korupsi kecil dengan nilai Rp200 juta harus dibiarkan. Korupsi, berapa pun,
tetaplah korupsi. Saya mengatakan Capella apes dalam konteks jika
dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya yang kerugian negara atau
korupsinya sudah nyata tetapi tersangka atau koruptornya tidak kunjung ada.
”Masak ada korupsi yang tak ada koruptornya,” demikian pertanyaan awam yang
sering muncul.
Saya pun tidak sependapat dengan kuasa hukum Capella yang,
melalui dialog di sebuah televisi swasta Jumat pagi kemarin, mengatakan bahwa
KPK tidak berwenang menangani kasus Capella dengan alasan hanya menyangkut
uang Rp200 juta. Kewenangan KPK, kata sang kuasa hukum itu, hanya jika
korupsinya mencapai Rp1 miliar atau lebih.
Pendapat itu keliru karena tak membedakan korupsi sebagai
penjarahan kekayaan negara dan korupsi sebagai penyuapan. Benar, menurut
Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tindak pidana korupsi yang bisa ditangani KPK
adalah yang menyangkut, antara lain, kerugian negara Rp1 miliar atau lebih.
Tapi itu hanya berlaku untuk korupsi dalam bentuk mengorupsi
kekayaan negara, misalnya menggunakan APBN, APBD, atau kekayaan negara
lainnya. Adapun untuk penyuapan tak ditentukan berapa jumlah minimalnya.
Seperti diketahui, korupsi menurut hukum mencakup penjarahan langsung
terhadap kekayaan negara dan menerima suap.
Korupsi dalam bentuk penjarahan terhadap kekayaan negara harus
ada unsur ”merugikan negara” yang jumlahnya bisa dihitung. Adapun penyuapan
tidak mengaitkan dengan jumlah, dalam arti berapa pun jumlahnya, asal terbukti,
sudah korupsi. Hal ini diatur di dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
Jangankan penyuapan langsung, menurut UU Nomor 20 Tahun 2001
gratifikasi atau pemberian dalam arti luas pun, berapa juga jumlahnya, jika
dalam 30 hari tidak dilaporkan ke KPK sudah bisa dianggap korupsi (Pasal
12C). Hanya saja jika gratifikasi itu jumlahnya lebih dari Rp10 juta,
pembuktiannya sebagai bukan korupsi dilakukan oleh penerima, sedangkan kalau
jumlahnya kurang dari Rp10 juta pembuktian korupsinya dilakukan oleh jaksa
penuntut umum (Pasal 12B).
Jadi penanganan ”kasus apes” Capella oleh KPK sudah benar baik
menurut bunyi UU tentang cakupan korupsi maupun menurut praktik yang sudah
berlaku selama ini. Mungkin yang harus dipikirkan secara serius adalah hukum
kepartaian kita. Tampaknya partai politik telah banyak mencetak
koruptor-koruptor sehingga harus ditata ulang. Banyak orang baik yang menjadi
korup atau terpaksa korup setelah aktif di parpol. Capella misalnya, mungkin
ia tak bermaksud melakukan korupsi, melainkan hanya bekerja sebagai pimpinan
partai yang dianggapnya wajar-wajar saja. Maka itu banyak yang mengusulkan
sistem dan hukum kepartaian kita harus diubah secara total agar tidak menjadi
persemaian koruptor-koruptor baru.
Tapi mau diubah bagaimana lagi? Setiap menjelang pemilu kita
selalu memperbaiki UU bidang politik, tetapi diubah bagaimanapun UU tersebut,
tetap saja bermunculan politisi-koruptor baru. Masalahnya memang soal mental.
Makanya ”peta jalan” revolusi mental itu sangatlah penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar