Selasa, 20 Oktober 2015

Capella Apes

Capella Apes

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                  KORAN SINDO, 17 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berita mengagetkan itu masuk ke handphone ketika saya sedang berseminar di IAIN Bengkulu. Ya, dua hari lalu, Kamis, 15 Oktober 2015 siang, Patrice Rio Capella ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

”Rio Capella apes,” saya membatin. Saya mengenal Capella sebagai politisi yang relatif baik di tengah-tengah kumuhnya perpolitikan nasional. Saya pernah beberapa kali melakukan dialog pendek, misalnya saat off air dalam dialog terbuka di sebuah stasiun televisi.

Meskipun saat on air pernyataan-pernyataannya tampak terlalu klise mewakili arus politik tertentu, saat off air sikap pribadinya pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sangat tegas. Dia berbagi pandangan dengan saya dan saya menyenanginya dengan tetap memahami posisinya sebagai petinggi politik.

Pertama kali saya mengenal Capella sebagai pemenang kursi DPR pada Pemilu 2009, tetapi dia harus kehilangan kursi karena digugat oleh pesaingnya dari parpol yang sama. Saat itu dia apes karena KPU Bengkulu tidak hadir di sidang MK untuk memberikan pembelaan sehingga permohonan (gugatan) pemohon tidak dibantah, kemudian permohonan dianggap benar dan dikabulkan.

Kali ini pun menurut saya Patrice Rio Capella apes karena di negeri ini banyak dugaan korupsi besar yang mencapai ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah, tetapi tersangkanya tak kunjung ditetapkan. Capella apes karena dengan kasus sangkaan korupsi (penyuapan) yang nilainya hanya Rp200 juta cepat sekali dijadikan tersangka.

Pada 2006, saat menjadi anggota DPR, melalui sebuah majalah mingguan saya pernah menulis artikel berjudul ”Koruptor Apes”. Waktu itu saya katakan di negeri ini pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh menegara atau menjadi kerja negara yang terencana, sistematis, sinergis, dan terukur tidak terlihat.

Sepertinya tak ada kesungguhan. Banyak koruptor yang tertangkap hanya karena apes, yakni tak punya uang untuk membeli kasusnya melalui pintu belakang dan atau tak punya beking politik yang bisa melindunginya. Tentu saja pandangan saya itu tak sepenuhnya benar. Itu hanya ekspresi dari kekecewaan saat itu karena melihat cara-cara pemberantasan korupsi yang oleh masyarakat dinilai tebang pilih.

Meskipun begitu, saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan korupsi kecil dengan nilai Rp200 juta harus dibiarkan. Korupsi, berapa pun, tetaplah korupsi. Saya mengatakan Capella apes dalam konteks jika dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya yang kerugian negara atau korupsinya sudah nyata tetapi tersangka atau koruptornya tidak kunjung ada. ”Masak ada korupsi yang tak ada koruptornya,” demikian pertanyaan awam yang sering muncul.

Saya pun tidak sependapat dengan kuasa hukum Capella yang, melalui dialog di sebuah televisi swasta Jumat pagi kemarin, mengatakan bahwa KPK tidak berwenang menangani kasus Capella dengan alasan hanya menyangkut uang Rp200 juta. Kewenangan KPK, kata sang kuasa hukum itu, hanya jika korupsinya mencapai Rp1 miliar atau lebih.

Pendapat itu keliru karena tak membedakan korupsi sebagai penjarahan kekayaan negara dan korupsi sebagai penyuapan. Benar, menurut Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tindak pidana korupsi yang bisa ditangani KPK adalah yang menyangkut, antara lain, kerugian negara Rp1 miliar atau lebih.

Tapi itu hanya berlaku untuk korupsi dalam bentuk mengorupsi kekayaan negara, misalnya menggunakan APBN, APBD, atau kekayaan negara lainnya. Adapun untuk penyuapan tak ditentukan berapa jumlah minimalnya. Seperti diketahui, korupsi menurut hukum mencakup penjarahan langsung terhadap kekayaan negara dan menerima suap.

Korupsi dalam bentuk penjarahan terhadap kekayaan negara harus ada unsur ”merugikan negara” yang jumlahnya bisa dihitung. Adapun penyuapan tidak mengaitkan dengan jumlah, dalam arti berapa pun jumlahnya, asal terbukti, sudah korupsi. Hal ini diatur di dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.

Jangankan penyuapan langsung, menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 gratifikasi atau pemberian dalam arti luas pun, berapa juga jumlahnya, jika dalam 30 hari tidak dilaporkan ke KPK sudah bisa dianggap korupsi (Pasal 12C). Hanya saja jika gratifikasi itu jumlahnya lebih dari Rp10 juta, pembuktiannya sebagai bukan korupsi dilakukan oleh penerima, sedangkan kalau jumlahnya kurang dari Rp10 juta pembuktian korupsinya dilakukan oleh jaksa penuntut umum (Pasal 12B).

Jadi penanganan ”kasus apes” Capella oleh KPK sudah benar baik menurut bunyi UU tentang cakupan korupsi maupun menurut praktik yang sudah berlaku selama ini. Mungkin yang harus dipikirkan secara serius adalah hukum kepartaian kita. Tampaknya partai politik telah banyak mencetak koruptor-koruptor sehingga harus ditata ulang. Banyak orang baik yang menjadi korup atau terpaksa korup setelah aktif di parpol. Capella misalnya, mungkin ia tak bermaksud melakukan korupsi, melainkan hanya bekerja sebagai pimpinan partai yang dianggapnya wajar-wajar saja. Maka itu banyak yang mengusulkan sistem dan hukum kepartaian kita harus diubah secara total agar tidak menjadi persemaian koruptor-koruptor baru.

Tapi mau diubah bagaimana lagi? Setiap menjelang pemilu kita selalu memperbaiki UU bidang politik, tetapi diubah bagaimanapun UU tersebut, tetap saja bermunculan politisi-koruptor baru. Masalahnya memang soal mental. Makanya ”peta jalan” revolusi mental itu sangatlah penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar