Minggu, 18 Oktober 2015

Soto

Soto

Goenawan Mohamad  ;  Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                     TEMPO.CO, 19 Oktober 2015

Catatan Pinggir ini pernah dimuat di Tempo edisi 24-30 Oktober 2005

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tiap 28 Oktober saya teringat soto. Hari itu, di tahun 1928, ketika para pemuda menyatakan bersumpah untuk memiliki "satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa", tak terdengar ada kesepakatan untuk punya "satu soto, soto Indonesia".

Demikianlah kini kita masih bisa merasai soto Bandung, soto Banjar, soto Betawi, soto Kudus, soto Pekalongan (yang terakhir ini belum juga mau disebut soto, melainkan "tauto", karena ada unsur tauco di dalamnya), soto Madura, dan seterusnya, sehingga dari barat sampai ke timur berjajar soto-soto—itulah Indonesia.

Soto agaknya satu hal yang mustahil diatur. Maksud saya, ia sulit untuk dilebur dalam sebuah "kesatuan". Saya tak tahu, sejauh mana kalangan intelijen menganggap soto Bandung, soto Banjar, soto Madura dan lain-lain itu sebagai ancaman dan menyebarkan informasi: awas, soto adalah pendukung diam-diam federalisme dan pelawan "NKRI".

Adapun akronim ini sekarang dipakai sebagai bahasa resmi untuk menyebut Republik kita—acap kali disebut dengan setengah menggertakkan geraham, khususnya ketika sampai di huruf "K". Tapi kita tahu, lidah kita tak bisa merasakan soto dari mana pun pada saat kita menggertakkan geraham.
Mungkin karena soto akan senantiasa luput dari bahasa resmi. Ia bertaut erat dengan kelaziman perut dan lidah, yang umumnya terbentuk oleh pengalaman sejak masa kanak-kanak. Orang yang sejak berumur 6 tahun dihibur ibunya dengan makan soto bersantan gaya Bandung tak akan dengan gampang mencintai soto bening gaya Madura.

Dengan kata lain: soto berhubungan dengan selera, hasrat, kenikmatan, ingatan, bawah-sadar, banyak hal jasmani yang tersimpan dari masa lalu, yang kadang-kadang muncul, dan agaknya disebut jouissance dalam psikoanalisis Lacan. Soto bertautan dengan sesuatu yang mengandung hal-ihwal yang tak selamanya dapat dibuat terang dan rapi. Soto yang tak dapat dijadikan bagian dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober itu menunjukkan bahwa dalam hidup memang ada hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh tata simbolik—oleh bahasa, hukum, konvensi bersama, dan agama.

Yang menarik ialah bahwa 28 Oktober 1928 justru sebuah peristiwa dalam tata simbolik, ketika nama jadi demikian penting. Contoh yang paling jelas adalah salah satu yang disebut dalam Sumpah itu: "bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Bahasa ini bukanlah sesuatu yang baru pada saat ia disepakati untuk dipakai. Bahasa ini telah beredar sekian abad sebelumnya, umumnya disebut sebagai bahasa "Melayu", tapi tak lagi persis seperti yang dipergunakan suku Melayu, sebab khazanah dan lidah orang lain—terutama kaum peranakan Cina, yang banyak berperan dalam perdagangan dan media—ikut membentuknya. Maka yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 itu adalah mengubah nama "Melayu" menjadi "Indonesia".

Apa arti sebuah nama? Ini pertanyaan yang sering diulangi sejak Shakespeare menulis Romeo and Juliet. Bagi Romeo, nama tak penting; kembang mawar tetap kembang mawar seandainya pun ia disebut "dadap". Romeo mendahului teori linguistik Saussure, jika "nama" kita samakan dengan "kata": arti sepatah kata bukanlah sesuatu yang berdiam atau tersimpan dalam kata itu sebagai satu hakikat. Arti itu selamanya bergantung pada kata lain yang maknanya berbeda. Maka X = mawar, sebab ia bukan Y bila Y = melati, dan Y = melati, sebab Y bukan Z bila Z = alamanda, dan seterusnya. Maka apa itu "mawar"? Kita cuma bisa angkat bahu.

Tapi tak selamanya kita bisa menyamakan "nama" dengan "kata". Nama sering punya sejarahnya sendiri. Ketika nama "Indonesia" dipilih, yang simbolik tak hanya bunyi netral. Ia digerakkan dan menggerakkan sebuah cita-cita, sebuah harapan, mungkin sebuah rancangan. Jika kita lihat kini, itulah cita-cita tentang sebuah negeri yang baik, tempat orang yang berbeda-beda memutuskan untuk tak saling melempar bom.

Ada yang pragmatis di situ: seandainya sebagian kita bersikap seperti Imam Samudra, tak akan banyak lagi di antara kita yang hidup, lebih banyak lagi yang dalam ketakutan. Sebab orang seperti Imam Samudra—yang dengan berapi-api menulis pembelaan atas perannya dalam mengatur pengeboman di Bali—tak peduli tentang Indonesia. Ia tak perlu Indonesia. Ia ingin menegakkan masyarakat Islam yang tak terbatas pada "satu bangsa dan satu tanah air" ini. Dan ia merasa tahu pasti apa yang "Islam" itu. Dan dengan klaim itu, ia sah membunuh yang "bukan Islam". Islam, dalam pandangan ini, selalu menghunus empat pedang.

Tapi tak ada sebuah kehidupan bersama yang bakal tahan dalam ancaman empat pedang yang terus-menerus. Ini bukan hanya karena rasa jeri. Sesuatu yang lebih dalam tersimpan dalam pragmatisme itu: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" adalah ekspresi dari sebuah panggilan ke arah sesuatu yang universal.

Setidaknya, dilihat di tahun 2005, Sumpah Pemuda bukanlah ambisi mendapatkan kekuatan politik dan keluasan geografis. Sumpah itu buah kesadaran: tak pernah ada kelompok (agama, suku, gender, dan lain-lain) yang bisa mapan dan selesai dalam mencapai identitasnya. Yang disebut "orang Jawa", juga yang disebut "umat Islam", sebenarnya tak pernah jelas apa artinya—sebab di dalamnya keanekaan berkecamuk, meskipun sering tak diakui.

Pada saat yang sama, kita tahu sudah takdir kita: meskipun penghuni 17.000 pulau ini tak hadir serentak di satu ujung jalan, kita tahu bahwa tiap saat kita bersentuhan dengan orang yang lain. Bahkan Imam Samudra harus mencoba meyakinkan orang yang "lain" itu, dan sebab itu ia bicara, berseru, menulis.

Dalam tiap seru, tersirat asumsi bahwa ada yang universal dalam kehidupan bersama ini. Ada hal-hal dalam "milik" kita yang khas yang kita harapkan dapat diterima dan dinikmati siapa saja, entah kapan. Setidaknya begitulah kearifan penjual soto: ia tak bermaksud menawarkan soto Kudus semata-mata buat orang di kota di utara Semarang itu. Dan kita bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar