Psikologi Hijrah Nabi
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 14 Oktober 2015
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah merupakan
perjalanan iman visioner yang didasari oleh rencana strategis yang matang
kendati akhirnya tidak dapat dilepaskan dari “lampu hijau dan restu” dari
Allah SWT.
Perjalanan penuh mukjizat ini sangat menarik karena menjadi
garis pemisah antara dua periode sejarah kerasulan Nabi yaitu periode Mekkah
dan periode Madinah. Hijrah Nabi SAW sarat dengan pelajaran kehidupan,
terutama jika ditilik dari perspektif psikologi. Mengapa Kota Yatsrib
(sebelum diubah menjadi al-Madinah al-Munawwarah) yang dipilih Nabi sebagai
destinasi hijrah?
Apa makna dan suasana psikologis yang melatarbelakangi,
menyertai, dan meneguhkan pendirian Nabi untuk hijrah ke Madinah? Bagaimana
aktualisasi pesan-pesan hijrah bagi kehidupan kita? Fakta historis
menunjukkan bahwa hijrah Nabi SAW ke Madinah terjadi dalam suasana psikologis
penuh kesedihan, kecemasan, dan ancaman. Pada tahun kesepuluh kenabian, Nabi
diuji oleh Allah dengan wafatnya sang istri tercinta, Khadijah, dan pamannya,
Abu Thalib.
Secara personal, Nabi sedang mengalami tahun dukacita dan
kesedihan mendalam (‘am alhuzni).
Betapa tidak, istri yang menjadi pendukung utama dakwah Islam, baik dukungan
moral maupun finansial, dan paman beliau yang selalu membelanya secara sosial
kultural telah tiada. Sementara itu, kaum kafir Quraisy yang selama ini
menentang dakwah Nabi semakin keras menebar ancaman, agitasi, dan embargo
ekonomi terhadap para sahabat Nabi.
Untuk meneguhkan iman dan kesabaran beliau, Allah kemudian
“menghiburnya” dengan Isra Mikraj. Melalui spiritual journey ini, Nabi SAW mendapat perintah salat lima
waktu sebagai modal spiritual yang dapat memantapkan gerak langkah dakwahnya.
Keteguhan iman dan kesabaran tersebut ternyata bukan tanpa alasan. Sebelum
hijrah ke Madinah, Nabi SAW telah “melatih” para sahabatnya untuk hijrah
yaitu hijrah ke negeri Habsyi (Eritria) dan ke Kota Thaif.
Pada hijrah pertama, Nabi tidak menyertai para sahabatnya,
sedangkan pada hijrah kedua, Nabi memimpin hijrah langsung. Hijrah pertama
mengemban misi “dialog lintas iman”. Nabi meyakinkan para sahabatnya bahwa
pemimpin Habsyi saat itu, Raja Najasyi yang beragama Nasrani, bisa menerima
dan berdialog dengan mereka. Hijrah kali ini cukup sukses. Hijrah kedua, ke
Thaif, boleh dikatakan tidak berhasil karena Nabi SAW dan para sahabatnya
sudah mendapat sambutan kurang bersahabat dari penduduk Thaif. Saat berada
dipintu gerbang Thaif, Nabi bahkan dilempari batu oleh sebagian penduduk
setempat sampai kaki beliau berdarah.
Eksperimen dan pengalaman dua hijrah tersebut merupakan modal
psikologis dan modal mental spiritual yang sangat berarti. Terlebih lagi,
dalam tiga tahun menjelang hijrah, Nabi SAW mulai mengalihkan target
dakwahnya kepada penduduk Yatsrib (Madinah) yang melakukan ziarah dan misi
dagang ke sekitar Mekkah seperti pasar Ukaz.
Sejarah mencatat bahwa dengan pendekatan komunikasi persuasif,
Nabi berhasil meyakinkan kepala suku Aus dan Khazraj yang berziarah ke Mekkah
sehingga mereka masuk Islam dan membaiat (berjanji setia) Nabi untuk mau
membantu dakwah Nabi. Strategi yang tidak tercium oleh pemimpin kafir Quraisy
ini membuahkan hasil positif.
Kepala dua suku bahkan meminta Nabi untuk mengutus seorang
muqri’ (guru agama Islam) ke Madinah agar keberislaman mereka terbina dengan
baik. Setelah Baiat Aqabah pertama yang berhasil mengislamkan 12 orang (9
orang dari suku Khazraj dan 3 orang dari suku Aus), Nabi SAW mengirim Mush’ab
bin Umair untuk menjadi pendidik bagi warga Yatsrib.
Selama setahun bertugas di Yatsrib, Mush’ab berhasil
mengislamkan tidak kurang dari 80 warga Madinah sehingga pada tahun
berikutnya para kepala suku itu datang kembali ke Mekkah dan melakukan Baiat
Aqabah kedua, sekaligus “mengundang” Nabi untuk hijrah ke Yatsrib. Mereka
sangat membutuhkan figur Nabi sebagai pemimpin yang dapat menengahi konflik
berkepanjangan antara dua suku tersebut.
Fakta-fakta historis tersebut menunjukkan bahwa sebelum hijrah
ke Madinah, Nabi SAW telah menciptakan kondisi psikologis dan strategi yang
sangat taktis untuk menentukan destinasi hijrah yang tepat dan efektif.
Setelah baiat kedua, secara berangsur-angsur dan berkelompok, para sahabat
diminta oleh Nabi secara diamdiam untuk hijrah ke Madinah.
Melihat jumlah kaum muslimin di Mekkah semakin berkurang,
orang-orang kafir Quraisy mulai curiga dan berpraduga bahwa Nabi dan para
sahabat ternama seperti Abu Bakar, Umar bin al- Khaththab, dan Ali bin Abi
Thalib tidak lama lagi juga akan meninggalkan Mekkah. Pada malam hijrah, Nabi
SAW berhasil menciptakan kondisi psikologis penuh kepanikan yang luar biasa
di kalangan pemimpin kafir Quraisy.
Betapa tidak, para pasukan “berani mati” yang dikerahkan oleh
Abu Jahal dan Abu Lahab untuk mengepung rumah Nabi ternyata gagal menangkap
atau membunuh Nabi. Dengan mukjizat dan izin Allah, mereka dibuat tidur pulas
sehingga tidak mengetahui ke mana Nabi pergi. Setelah mereka terbangun dan
para pembesar Quraisy mengetahui bahwa yang menggantikan tempat tidur Nabi
adalah Ali bin Abi Thalib, mereka semakin meradang dan marah besar.
Karena panik dan kalap, Abu Jahal dkk mengerahkan semua pasukan
yang ada dan disebar ke seluruh penjuru Mekkah dan sekitarnya dengan tugas
utama: menangkap Nabi SAW, hidup atau mati. Mereka diberi imingiming hadiah
berupa 100 unta bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuh Nabi.
Strategi hijrah yang ditempuh Nabi SAW luar biasa taktis.
Pada malam hijrah itu, Nabi tidak langsung ke Yatsrib, tapi
memilih transit terlebih dahulu di Gua Tsur yang berlokasi di sebelah selatan
Mekkah, padahal Yatsrib itu berlokasi di sebelah utara Mekkah. Strategi ini
berhasil mengecoh dan membuat para pemimpin kafir Quraisy kehilangan jejak
Nabi. Dalam waktu bersamaan, Nabi SAW sukses melakukan konsolidasi dengan
Abdullah bin Abu Bakar, Asma’ binti Abu Bakar, dan Amin bin Fuhairah
(pembantu Abu Bakar).
Abdullah ditugasi “memata-matai” gerak-gerik musuh, Amir bin
Fuhairah ditugasi menggembala kambing untuk mengecoh bekas jejak perjalanan
Nabi dan menyediakan susu perahan kambing untuk Nabi dan Abu Bakar. Sedangkan
Asma’ ditugasi menyiapkan perbekalan logistik untuk perjalanan hijrah dari
Gua Tsur menuju Yatsrib.
Selain itu, menarik dicatat, Nabi SAW juga berhasil menjalin
kerja sama strategis dengan seorang Yahudi, Abdullah bin Uraiqit, dibayar
untuk menjadi penunjuk jalan dari Gua Tsur ke Yatsrib. Jadi, hijrah Nabi
sarat dengan pelajaran strategi militer dan dakwah yang taktis dan efektif.
Selain itu, hijrah Nabi secara psikologis disuasanai spiritualitas yang
tinggi sehingga dapat mengenyahkan segala bentuk ketakutan.
Ketika Abu Bakar merasa ketakutan luar biasa saat berada dalam
Gua Tsur, Nabi berhasil menenangkan dan menghilangkan kegelisahannya. “La
Tahzan” (Jangan bersedih hati), karena Allah selalu bersama kita, adalah kata
kunci kekuatan yang mengantarkan kepada kemenangan.
Dari kondisi psikologis pra dan pasca hijrah, dapat ditegaskan
bahwa psikologi hijrah Nabi SAW adalah psikologi perjuangan dengan spirit
meraih kemenangan melalui perubahan dan perbaikan segala aspek kehidupan.
Iman yang kuat, keikhlasan, dan kesabaran yang ekstratinggi, optimisme, dan
keyakinan terhadap pertolongan Allah merupakan modal psikologis yang tangguh
dan sangat berharga dalam menghadapi aneka persoalan, kesulitan, krisis, dan
tantangan.
Psikologi hijrah Nabi SAW adalah psikologi kemenangan berbasis
perencanaan strategis yang matang dan efektif. Prinsipnya adalah “Jika engkau
menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu dan meneguhkan
pendirianmu.” (QS Muhammad 47: 7).
Mereka rela meninggalkan tanah kelahiran dan harta benda mereka
karena membela keyakinan, memilih dan mencintai Tuhan, karena cinta Tuhan
adalah kekuatan tak terbatas untuk mengalahkan semua lawan dan rintangan
kehidupan.
Karena itu, hijrah dalam konteks kekinian harus dimaknai sebagai
proses perubahan mindset dan inovasi tiada henti yang didasari oleh iman yang
benar dan kuat, keikhlasan, dan kesabaran yang tinggi dalam memperjuangkan
cita-cita bangsa, sinergi mutualisme dan optimisme yang tinggi dalam
mengatasi segala persoalan yang mendera bangsa ini. Selamat Tahun Baru
Hijriah 1437 H. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar