Selasa, 27 Oktober 2015

Bumi Manusia

Bumi Manusia

Bre Redana  ;  Penulis Kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 25 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagaimanakah seseorang membayangkan Magda Peters, guru berkebangsaan Belanda, pendidik di HBS Surabaya, pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer? Magda, dalam novel itu, dilukiskan sebagai perempuan dengan sikap kuat menentang kolonialisme, memiliki rasa hormat dan kecintaan mendalam terhadap bangsa Hindia—demikian waktu itu Indonesia disebut.

Maka, bertransformasilah Magda Peters menjadi rangkaian perhiasan, antara lain berupa kalung, dengan bentuk lingkaran emas, bulat, kokoh. Pada lingkaran terjuntai ornamen yang juga terbuat dari emas dalam kesan rustic, menggambarkan rangkaian kepulauan kita, dari Sumatera sampai Papua.

Pesohor Happy Salma dan perancang perhiasan dari Bali, Sri Luce Rusna, memproduksi perhiasan untuk kalangan atas tadi dan meluncurkannya di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, dua pekan lalu. Seluruh karya bertema Bumi Manusia, dengan edisi tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Selain Magda Peters, ada Annelies Mellema, selain tentu saja penokohan Pram yang amat mengesankan dalam novel itu, perempuan pribumi dengan pengetahuan luas, menyimpan bara nasionalisme pada zamannya, yakni Nyai Ontosoroh.

Peluncuran ditandai dengan pentas berupa monolog serta nyanyi, menampilkan bintang-bintang dunia hiburan seperti Lukman Sardi, Dira Sugandi, serta persona televisi yang sangat pas memerankan Nyai Ontosoroh, Dinda Kanya Dewi. Oh Dinda....

Diiringi piano, Dira Sugandi melantunkan lagu yang pernah dipopulerkan Dara Puspita, ”Surabaya”. Pasti lagu itu dipilih lantaran Surabaya adalah kota yang menjadi latar belakang Bumi Manusia. Tak ketinggalan lagu-lagu romantik zaman perjuangan, ”Bunga Anggrek” dan ”Rangkaian Melati”.

Acara di mal itu sangat segar. Bagi orang kampung seperti saya, yang bikin takjub bukan hanya karya perhiasan serta pengunjungnya yang umumnya para wanita cantik, geulis, tetapi juga bagaimana karya Pram bertransformasi menjadi perhiasan. Jadi ingat di akhir tahun 1980-an, di zaman berakhirnya Perang Dingin, ketika dalam sebuah peragaan busana di Paris, sejumlah model mengenakan kaus bergambar Che Guevara.

Pada waktu itu, khususnya di Indonesia, Che Guevara masih dianggap unsur sensitif. Ia komunis. Sama seperti Pram. Sampai sekarang, penulis sekaliber dia tidak pernah menerima penghargaan apa pun dari pemerintah. Usulan penganugerahan kebudayaan untuknya selalu ditolak Sekretariat Negara.

Dalam hal ini, dunia konsumsi terlihat jauh lebih progresif dibanding birokrasi kekuasaan. Untuk mengonsolidasi diri, kekuasaan selalu perlu menciptakan ancaman, menciptakan musuh. Relasi antara negara dan rakyat dibina dalam disiplin militer. Berseragam dan baris-berbaris. Itulah pengertian membela negara.

Hal sebaliknya terjadi dalam dunia konsumsi dan produksi. Di tengah globalisasi, jati diri ke-Indonesia-an tak mungkin diselenggarakan dengan baris-berbaris dan gulung-gulung di tanah. Yang diperlukan kecerdasan, kreativitas, keterbukaan, kebebasan. Cukuplah sudah pendidikan fasisme. Kebangsaan adalah entitas gagasan, sama seperti negara, yang oleh Ben Anderson disebut ”imagined communities”.

Ketika mendirikan perusahaannya beberapa tahun lalu, Happy bercerita mengajak patnernya, Sri Luce, untuk menonton Keroncong Tugu. Kolaborasi pertama mereka bertajuk ”Juwita Malam”. Mereka melakukan ekshibisi dan koleksi perhiasan yang terinspirasi dari lagu-lagu ciptaan Ismail Marzuki.

Cinta, termasuk cinta terhadap negeri, memang harus dipelihara dan dijaga. Di situlah diperlukannya inspirasi. Tantangan globalisasi dan pasar bebas tidak bisa dihadapi dengan indoktrinasi.

Dulu Bumi Manusia ditulis Pram untuk menjaga semangat hidup teman-teman tahanan di Pulau Buru. Hanya manusia yang memiliki disiplin mampu melahirkan karya seperti itu. Bukan disiplin militer, melainkan disiplin kewajaran hidup. Karya itu kini menembus ruang dan waktu, masuk mal, dirayakan oleh wanita-wanita kota besar yang makmur dan kinyis-kinyis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar