Selasa, 20 Oktober 2015

Total Football

Total Football

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 17 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya bukan pengamat politik, bukan juga pengamat ekonomi. Saya bukan pakar hukum, bukan pula pakar ilmu administrasi negara. Saya adalah pengamat sosial. Jadi apa pun awalnya, kalau ujung-ujungnya menimbulkan masalah sosial, pasti akan menarik perhatian saya.

Nah, dalam hubungan itu, di tengah-tengah ingar-bingar perdebatan seputar naik-turunnya kurs rupiah, saya kok tertarik pada isu tentang revisi UU KPK. Saya perhatikan dari dulu masalah KPK kok jadi sumber keributan terus? Sejak zaman ”cicak vs buaya” sampai hari ini.

Isunya dulu KPK versus Polri, tetapi sekarang KPK versus beberapa fraksi DPR yang menginginkan revisi UU KPK. Untungnya Presiden Jokowi tidak ikut-ikutan debat kusir. Dia bilang, ”Sekarang kita fokus dulu pada masalah perekonomian.” Dengan demikian untuk sementara perdebatan tentang KPK tertunda.

Tapi saya jadi penasaran. Ada apa sih ini, kok orang pada ribut soal revisi UU KPK? Maka saya langsung berkonsultasi dengan Profesor Google. Banyak makalah, laporan, analisis, dsb dalam berbagai jaringan yang bisa diakses oleh Prof Google.

Setelah saya pelajari baik-baik, saya berkesimpulan bahwa ternyata pasal-pasal tertentu yang diusulkan untuk mengubah UU KPK itu dianggap melemahkan KPK sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kemampuan KPK dalam memberantas korupsi yang artinya sama saja membiarkan korupsi berkembang biak dengan bebasmerdeka di republik kita ini sampai akhir zaman.

Saya setuju. Jadi menurut saya biarkan saja KPK itu, sampai korupsi habis dari bumi Indonesia. Di sisi lain, dari jaringan Profesor Google itu, saya menemukan Laporan KPK Tahun 2014. Dari dokumen penting ini saya membaca bahwa selama 2014, ada 9.432 laporan dari masyarakat yang masuk ke KPK.

Sebanyak 2.224 di antaranya adalah laporan gratifikasi, tetapi hanya 58 yang ditindaklanjuti dengan penindakan. Jadi hanya 0,00615% jika dibandingkan dengan banyaknya laporan yang masuk dari masyarakat. Jumlah yang sangat-sangat tidak signifikan kalau yang dikehendaki adalah pemberantasan tuntas korupsi di seluruh Indonesia.

Kedengarannya selama ini KPK hebat sekali karena digaungkan oleh media massa dan disuarakan oleh media sosial, termasuk oleh para pakar yang rajin muncul di TV dan para LSM atau para aktivis yang sering demo di jalan. Para pihak ini puas sekali dengan hasil KPK yang selalu bisa menjerat kasus-kasus kelas kakap yang tidak akan mungkin terjerat oleh institusi penegak hukum lain semisal kepolisian dan kejaksaan walaupun kenyataannya, setelah KPK berdiri selama 13 tahun (sejak 2002), korupsi di Indonesia bukannya berkurang, melainkan justru makin bertambah. Jadi saya penasaran. Mengapa Polri dan kejaksaan tidak bisa difungsikan seperti KPK? Kalau mau hasil yang maksimal, pemberantasan korupsi harus dilaksanakan secara total football, main sepak bola dengan kekuatan penuh, sampai titik darah penghabisan.

Kalau perlu instansi lain di luar Polri dan kejaksaan, asal ada hubungannya dengan pencegahan korupsi, seperti barangkali Ditjen Pajak dan Bea Cukai, dilibatkan juga. Tapi karena saya paling dekat dengan institusi kepolisian ketimbang instansi yang lainnya, saya coba dalami apa sebenarnya yang terjadi dalam hal pemberantasan korupsi oleh Polri.

Saya tahu dan nenek-nenek juga tahu bahwa opini publik tentang Polri sangat negatif, khususnya kalau menyangkut soal korupsi. Adanya istilah-istilah seperti pungli, prit-jigo, dan polisi gendut menunjukkan adanya label negatif terhadap Polri. Bahkan ada pemeo bahwa hanya ada dua polisi yang jujur di Indonesia, yaitu Jenderal Polisi Hugeng (kapolri di era awal Soeharto) dan polisi tidur.

Di sisi lain, nenek-nenek juga tahu bahwa polisi Indonesia termasuk polisi terbaik sedunia dalam hal misalnya pemberantasan terorisme dan pengungkapan jatanras (kejahatan dengan kekerasan). Pelaku-pelaku Bom Bali terungkap oleh polisi-polisi pribumi hanya dengan akal pribumi, bukan oleh bantuan polisi Australia yang menggunakan peralatan yang canggih.

Maka sampai hari ini Densus 88 masih menjadi acuan polisi-polisi negara sahabat yang ingin belajar tentang antiterorisme. Demikian juga dalam membongkar kasus-kasus jatanras. Dari kasus Robot Gedek, Babe sampai pembunuhan gadis cilik Engelina di Bali dan gadis cilik PNF di Jakarta (yang ditemukan dalam kardus), semuanya terbongkar dalam waktu singkat, sekali lagi hanya dengan menggunakan akal pribumi saja.

Memang, ”polisi gendut” masih ada, tetapi Densus 88 dan Satuan Reserse yang andal membuktikan bahwa Polri masih bisa melaksanakan fungsinya dengan baik jika diberi kepercayaan. Masalahnya, setelah saya membaca lebih lanjut laporanlaporan Profesor Gooogle, saya menemukan kutipan berita yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar di Jakarta, Jumat (12/10/ 2012), seperti ini:

”Kalau gaji penyidik setingkat kompol di Polri sekitar Rp5 juta, di KPK bisa mencapai Rp20 juta sampai Rp25 juta.” Selain itu, lanjut Boy, ”Anggaran penyidikan di Polri untuk satu kasus sekitar Rp30 juta. Anggaran penyidikan untuk satu kasus di KPK bisa mencapai Rp300 juta.” Kalau betul masalahnya seperti itu, mengapa tidak diperintahkan saja Polri untuk membentuk Detasemen Khusus Antikorupsi (seperti Densus 88/Antiteror) dengan hak-hak dan fasilitas (termasuk dukungan dana) yang sama dengan KPK?

Dengan melipatgandakan KPK (bukan malah mengerdilkannya), pemberantasan korupsi di Indonesia pasti akan jauh lebih efektif. Salah satu ciri orang Indonesia, sejak dulu, adalah ego sektoralnya yang sangat tinggi. Baik dalam hal kesukuan, agama, profesi, golongan atau lainnya. Inilah yang menurut pendapat saya menyebabkan kita tidak bisa bermain total football dalam memberantas korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar