Apa Kabar Revolusi Mental?
Listiyono Santoso ; Staf Pengajar Filsafat dan Etika Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 19 Oktober 2015
REVOLUSI
mental merupakan wacana penting awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(JokowiJK). Itu menjadi semacam ikon yang melekat kuat dalam image publik
terhadap pemerintahan ini.
Revolusi
mental sejatinya merupakan ide besar (great
idea). Di dalamnya ada sebuah diskursus penting bahwa problem besar yang
menghambat kemajuan sebuah bangsa terletak pada mentalitas manusianya.
Meminjam
terminologi J.W.M. Bakker, banyak program pembangunan yang sering gagal bukan
karena jenis programnya, melainkan karena terhambat pada mentalitas
kebudayaan.
Ketersediaan
sumber daya alam yang melimpah ruah tidak menjamin terciptanya kemakmuran
masyarakatnya. Berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan tidak juga
memberikan jaminan bahwa tertib sosial terus terwujud. Reformasi sistem
birokrasi menjadi modern pun tidak juga mampu memutus mata rantai praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Muara dari
persoalan tersebut: adanya mentalitas kebudayaan yang menghambat setiap
program pembangunan. Ada praktik hidup serakah yang membuat negeri ini tak
juga mampu memberikan rasa keadilan sosial meski kekayaan alam begitu
melimpah.
Lalu, setelah setahun
pemerintahan Jokowi-JK berjalan, apa kabarnya revolusi mental? Sayang,
gagasan besar tentang revolusi mental yang begitu memukau itu tiba-tiba bak
tertelan bumi. Tong kosong nyaring bunyinya. Gempita dalam wacana, sepi dalam
praktik.
Tanpa Strategi Kebudayaan
Semula saya
adalah bagian warga yang optimistis terhadap gagasan revolusi mental.
Optimisme itu dilandasi dengan hadirnya Kementerian Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan.
Melalui
kementerian tersebut, semula saya membayangkan akan disusun suatu strategi
kebudayaan dalam rangka merevolusi mentalitas manusia Indonesia. Strategi
kebudayaan yang bersifat sistematis dan komprehensif dalam rangka membangun
mentalitas manusia Indonesia. Apalagi, di bawah koordinasi Kementerian
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan terdapat sejumlah kementerian
yang sesungguhnya bertanggung jawab dalam mewujudkan program revolusi mental.
Ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi; Kementerian Agama; Kementerian Pemuda dan Olahraga; dan sebagainya.
Semula saya
membayangkan semua kementerian itu akan bersinergi menciptakan strategi
kebudayaan merevolusi mental manusia Indonesia. Meminjam terminologi Van
Peursen (1988), apabila kebudayaan dipandang sebagai sekolahnya umat manusia,
pendidikan merupakan sarana paling penting mewujudkan keberhasilan strategi
pendidikan.
Dalam
kebudayaan terdapat strategi untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari
budaya bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Pendidikan
menjadi ruang bagi strategi kebudayaan itu diselenggarakan.
Berpisahnya
pendidikan tinggi (dikti) dari Kemendikbud semula saya bayangkan sebagai
kebijakan yang terkait dengan ide besar revolusi mental. Sayangnya,
kemendikbud kita masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan
administratif, bukan substantif.
Max Weber
dalam Moral Education (1961) menyatakan, melalui pendidikan (dasar),
kepribadian dan karakter manusia itu dibentuk. Menurut dia, pendidikan dasar
tidaklah murni bertujuan pengembangan akademik.
Yang paling
utama justru adalah pengembangan kepribadian anak didik. Sejak dini anak
dibiasakan dan dididik untuk berorientasi pada nilai-nilai objektif.
Misalnya, kepercayaan diri, kejujuran, keadilan, rasa nasionalisme, dan
kemandirian.
Karena itu,
pembiasaan dan penciptaan perilaku merupakan bagian penting dalam strategi
kebudayaan merevolusi mental manusia Indonesia. Bukankah mentalitas itu
terbentuk dari proses yang sangat panjang? Ia tercipta dari
kebiasaan-kebiasaan positif sejak dini yang akhirnya membentuk karakter
masing-masing.
Tanpa strategi
kebudayaan, konsep revolusi mental hanya menjadi kegiatan
karikatif-administratif belaka. Mentalitas tidaklah bisa diubah dengan sebuah
program yang instan, apalagi melalui imbauan moral dalam seminar-seminar dan
khotbah-khotbah.
Mentalitas itu
dibentuk dari penciptaan kebiasaan. Sebuah proses yang terus-menerus
dilakukan dan dibiasakan sehingga menjadi habitus.
Setahun
berjalan, diskursus revolusi mental hanya berhenti pada sebuah retorika.
Sekali lagi, jika sejak awal serius melakukan revolusi mental, pemerintah
Jokowi-JK haruslah menciptakan strategi kebudayaan yang menyeluruh dan tidak
sporadis dalam membuat kebijakan.
Sinergi antar
kementerian harus mulai ditata kembali. Itu agar tidak ada kesan berjalan
sendiri-sendiri dalam mewujudkan keberhasilan revolusi mental.
Saat ini kesan
panik dan sporadis tidak terhindarkan. Saat korupsi begitu masif terjadi,
negara menyusun pendidikan antikorupsi. Saat rasa nasionalisme ditengarai
kian turun, saat ini pun negara sibuk dengan program pendidikan bela negara.
Hampir tidak ada strategi kebudayaan yang diciptakan oleh negara dalam rangka
merevolusi mentalitas bangsa Indonesia.
Revolusi mental itu gagasan
mulia bagi peradaban kebangsaan masa depan. Ia tidak boleh hanya dimaknai
sekadar sebagai sebuah ”proyek” dengan nominal anggaran di dalamnya. Tanpa
strategi kebudayaan, revolusi mental akan menthal (terpental dalam bahasa
Jawa). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar