Membuat Jera Predator Seksual
Bagong Suyanto ; Dosen FISIP Universitas Airlangga;
Pernah meneliti anak perempuan
korban pemerkosaan di Jawa Timur
|
JAWA
POS, 23 Oktober 2015
KEPRIHATINAN berbagai
pihak terhadap merebaknya kasus kejahatan seksual pada akhirnya memunculkan
lagi ide tentang perlunya diterapkan hukuman kebiri bagi predator seksual (Jawa
Pos, 22 Oktober 2015). Meski dalam KUHP telah dicantumkan sanksi yang berat
bagi predator seksual, dalam kenyataan sanksi itu tampaknya tidak cukup
mujarab untuk membuat jera orang-orang jahat yang ingin mengumbar nafsu
syahwatnya kepada perempuan, khususnya anak perempuan.
Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyatakan, Indonesia saat
ini boleh dikata berada dalam keadaan darurat kejahatan seksual terhadap
anak. Menurut catatan Komnas PA, dari sekitar 21 juta anak Indonesia yang
menjadi korban dan mengalami tindak kekerasan, lebih dari separonya (58
persen) adalah korban kejahatan seksual. Ironisnya, para predator seksual
yang mengancam keselamatan anak-anak itu biasanya justru orang-orang yang
dekat dengan korban, mulai ayah kandung, kakek, paman, hingga tetangga.
Studi yang dilakukan
Bagong Suyanto et al. (1995) terhadap beritaberita di harian Jawa Pos selama
1993–1994 menemukan bahwa 49,1 persen korban pemerkosaan ternyata anak-anak
di bawah usia 14 tahun. Bahkan, 14,2 persen di antaranya berusia di bawah 8
tahun. Di Surabaya, bahkan belum lama ini dilaporkan ada anak yang baru
berusia 1,5 tahun yang menjadi korban kebiadaban pamannya sendiri. Korban
diperkosa lewat alat kelamin dan anusnya sehingga akhirnya jatuh sakit,
kemudian tewas.
Dengan menyimak ulah
predator seksual yang makin sadis dan tak berperikemanusiaan itulah, akhirnya
muncul desakan agar pelaku kejahatan seksual, selain dihukum penjara yang
seberat-beratnya, juga ditambah dengan hukuman kebiri. Berbagai pihak, mulai
presiden, partai politik, pengamat, KPAI, dan lain-lain, pada intinya sepakat
bahwa hukuman kebiri merupakan instrumen tambahan yang diharapkan dan
dipercaya dapat melahirkan efek jera yang lebih efektif.
Kebiri atau kastrasi pada
dasarnya adalah tindakan bedah atau penggunaan bahan kimia tertentu yang
bertujuan menghilangkan fungsi testis pada para pejantan agar tidak lagi
terdorong oleh libidonya untuk mencari korban-korban baru guna memuaskan
nafsu seksualnya.
Pengebirian terhadap
predator seksual sudah barang tentu tidak berupa pemotongan alat kelamin
seperti pada zaman dulu, tetapi lebih ke tindakan medis dengan memberikan
atau menyuntikkan hormon perempuan kepada predator seksual supaya hasratnya
hilang. Hukuman kebiri itu sudah tentu baru akan ditetapkan setelah vonis
dijatuhkan dan putusan inkracht keluar.
Meski banyak pihak
menyetujui hukuman kebiri diberlakukan bagi para predator seksual, di pihak
lain sebetulnya masih ada sebagian pengamat dan ahli yang meragukan
efektivitas hukuman itu. Bahkan, tidak sedikit pula yang menolak.
Pemberian hukuman kebiri kepada predator seksual, selain diyakini tidak akan membuat para pemerkosa surut, juga dikhawatirkan malah menstimulasi kemarahan dan tindakan yang makin brutal dari para pelaku kejahatan seksual.
Hukuman kebiri bagi
predator seksual dikhawatirkan tidak efektif karena dari segi penegakan hukum
belum menjanjikan. Pertama, karena konstruksi yuridis hukum (KUHP) di
Indonesia terhadap tindak kejahatan seksual ditengarai masih bersifat diskriminatif
terhadap perempuan.
Sebab, ancaman sanksi
cenderung dibangun dengan pandangan yang bersifat positivisme-rasional, yang
dalam konteks ini sama sekali tidak memasukkan penderitaan korban dalam
pertimbangan yuridis. Kedua, dalam pembuktian tindak kejahatan seksual,
sering terjadi perempuan dan anak yang menjadi korban justru mengalami
pelecehan.
Di Indonesia, dalam banyak
kasus kejahatan seksual, konstruksi yang berkembang di masyarakat maupun
benak aparat penegak hukum adalah tindak kejahatan itu tidak sepenuhnya
terjadi karena kesalahan pelaku. Di Indonesia, kejahatan seksual lebih
diyakini terjadi karena stimulasi korban.
Studi yang dilakukan
Marzuki (1997) terhadap 63 kasus pemerkosaan menemukan bahwa seductive rape
merupakan kasus terbanyak (47,6 persen), kemudian baru diikuti dengan tipe
domination rape (30,2 persen) dan exploitation rape (14,3 persen).
Kendati tak eksplisit
menyebut, kesimpulan dan temuan penelitian Marzuki itu
sedikit banyak
menyalahkan atau menempatkan korban sebagai pihak yang ikut bertanggung
jawab.
Selain hukuman kebiri,
salah satu usulan yang menarik dan diyakini lebih efektif untuk membuat para
predator seksual jera adalah hukuman yang memiliki dampak sosial kuat seperti
pemberian simbol khusus –entah kalung, tato, pakaian, dan lain-lain– bagi
para predator seksual. Tujuannya, masyarakat di sekitarnya dengan cepat
mengetahui potensi ancaman di belakang penampilan pelaku.
Apa pun hukuman yang
diusulkan untuk membuat jera predator seksual, entah kebiri atau pemberian
tanda khusus, yang penting adalah bagaimana negara dan masyarakat membangun
kesepahaman bersama tentang bagaimana kita harus melindungi serta menghormati
kaum perempuan.
Seperti dikatakan Kathryn
Chadwick dan Catherine Little (1993), membahas masalah pemerkosaan harus
ditempatkan pada konteks yang lebih luas. Yakni, konteks di mana posisi kaum
perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan serta dikontrol.
Jadi, tidak cukup hanya
menghukum seberat-beratnya lelaki bejat yang menjadi pelakunya. Yang tak
kalah penting adalah bagaimana memberdayakan perempuan agar mampu melawan
hegemoni, dominasi, dan tekanan yang dialami selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar