Rekonsiliasi Nasional Peristiwa Pasca Gestapu
Ala Guru Sejarah
Diah Wahyuningsih ; Salah satu guru sejarah di SMA N.4 Batam;
Inisiator pemutaran film Senyap
di Universitas Riau Kepulauan
|
INDOPROGRESS,
13 Oktober 2015
CERITAKAN PADAKU
AKU BERDIRI, MEMANDANG
LUAS NEGERI INI. TERSENTAK HATIKU MEMANDANG KERASNYA DENTUMAN ITU. TERSENTAK
HATIKU MENDENGAR HALUS BISIKAN ITU.
KAU LIHAT!!! DEBURAN OMBAK
BERTERIAK. NAMUN SAYANG, PECAH TERHANTAM BATU KARANG.
LIHAT ITU!!! UDARA HALUS
MENYENTUH HATI. TAPI TIDAK, DIBAWA PAKSA OLEH ANGIN. APA INI??? MENGAPA TIDAK
ADA YANG MAMPU MENYAMPAIKANNYA???
SIAPA??? SIAPA DIA DIBALIK
BATU KARANG??? SIAPA DIA DIBALIK ANGIN BAK TUHAN??? YANG MAMPU MENTIDAKKAN
YANG ADA, MENGADAKAN YANG TIADA.
SIAPA??? WAHAI NEGERIKU,
CERITAKAN PADAKU…(Herlinda O)
DERETAN puisi di atas adalah ungkapan hati seorang anak negeri
(salah satu peserta didikku), yang tertipu akan narasi sejarah Indonesia di
tahun 1965. Peristiwa yang selanjutnya menggunakan beberapa versi istilah, seperti
Gestapu, Gestok, atau G 30 S 1965. Saya lebih senang menyebutkan peristiwa
itu dengan Gestapu. Mungkin agak lebih jelas sebab peristiwa ini dimulai
sejak tanggal 30 September 1965.
Peristiwa Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh,
menghadirkan polemik kebangsaan sejak peristiwa itu terjadi. Gestapu juga
menjadi titik tolak pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto. Selama lebih 50 tahun, narasi sejarah Gestapu di
sekolah-sekolah tetap saja menggunakan versi Orba yang sengaja dituliskan
demi menyingkirkan aktivitas PKI, yang dulu dianggap melakukan kudeta
berdarah terhadap pemerintahan Soekarno. Perlu disimak oleh kita semua, meski
kurikulum Indonesia terus diperbarui, tetap saja narasi sejarah Gestapu
menggunakan sumber-sumber tertulis buatan Orba. Menyimak setiap narasi
sejarah di sekolah-sekolah, meski ada penjabaran lebih jauh atas peristiwa
Gestapu, narasi tersebut masih berpihak pada penguasa Orba. Sepertinya
perubahan kurikulum di Indonesia tidak berarti apa-apa, sebab peristiwa pasca
Gestapu tidak tertulis sama sekali. Pada Kurikulum 2013 materi pelajaran
sejarah peminatan, sangat luas membahas kudeta berdarah PKI tanpa pernah
menuliskan peristiwa operasi penumpasan PKI yang melanggar hak asasi manusia.
Padahal peristiwa tersebut sekarang ini begitu menyita perhatian bangsa
Indonesia. Layaknya konflik kebangsaan, antara pihak pendukung HAM berhadapan
dengan pihak anti komunis Indonesia yang berujung pada terpecahnya pemikiran
rakyat Indonesia. Apapun yang dilakukan sejarawan maupun aktivis HAM serasa
berat dan panjang.
Saat persoalan ini diupayakan lebih intens, pihak-pihak
anti-komunis menganggap aktivis HAM sebagai pihak yang harus dipersalahkan
atau pihak yang mengkhianati bangsa Indonesia, karena dengan sengaja
menginternasionalisasikan permasalahan bangsa sendiri.
Kita tidak bermaksud mendukung apa yang sudah dilakukan PKI saat
itu, tetapi narasi sejarah pasca Gestapu seolah dihilangkan oleh kurikulum
sejarah Indonesia di sekolah-sekolah. Pada materi sejarah peminatan kelas XII
SMA, misalnya, pembahasannya dimulai dari masa Demokrasi terpimpin sampai
pada lahirnya Orde Baru tanpa kisah penangkapan dan pembantaian kepada mereka
yang dianggap PKI dan di-PKI-kan. Kisah pembantaian itu tidak tersentuh sama
sekali dari pembahasan materi sejarah Indonesia
Menjelang dan setelah berlalunya usia 50 tahun peristiwa Gestapu
di Indonesia, banyak kajian melalui buku atau artikel serta seni yang
berusaha melacak peristiwa tersebut. Tulisan-tulisan yang terpublikasi adalah
langkah yang terus diupayakan untuk menuntut pertanggung-jawaban negara atas
penderitaan kelompok kiri negeri ini yang diperlakukan tidak manusiawi dan
telah merampas hak-hak kemanusiaan. Kita tahu betapa mengerikan peristiwa
itu. Untuk membayangkan saja butuh ketegaran hati apalagi bagi mereka yang
merasakan. Peristiwa keji itu terjadi pasca penculikan yang diikuti dengan
pembunuhan para jenderal. Keadaan ‘panas’ pada kekuasaan Soekarno, menyeret
Sang Proklamator menjadi pesakitan di negerinya sendiri. Sejak
dilaksanakannya operasi penumpasan PKI beserta antek-anteknya, jutaan rakyat
Indonesia dihilangkan secara paksa, dibantai, diperkosa, dan diperlakukan
semena-mena oleh militer Indonesia, beberapa organisasi pemuda, dan
organisasi keagamaan. Ladang pembantaian hampir meliputi seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang paling menyedihkan, nasib perempuan
Indonesia yang disebut sebagai kelompok penyiksa para jenderal. Sampai-sampai
relief Monumen Pancasila sakti memahat gambar perempuan-perempuan Gerwani
secara tidak bermartabat. Harga diri perempuan Gerwani, dicampakkan hanya
karena kebuasaan militer Indonesia.
Pembasmian terhadap kelompok kiri dilanjutkan dengan doktrinasi
penguasa Orba serta stigmatisasi yang mendarah-daging kepada mereka yang
dituduh komunis dan atau yang dikomuniskan, berlangsung sepanjang kekuasaan
Orba. Ujung harapan bangsa dari segala upaya yang dilakukan tidak lain agar
negara bersedia mengakui peristiwa tersebut juga berupaya melakukan
Rekonsiliasi Nasional sebagai bukti bahwa negara tidak diam. Mungkin di
sebahagian pikiran orang, rekonsiliasi dianggap usaha serius negara untuk
menciptakan keadilan yang merata, bukan saja pada kelompok penguasa namun
merata ke setiap rakyat Indonesia.
Buat saya, rekonsiliasi merupakan jalan akhir yang membutuhkan
waktu panjang ditinjau dari riuh-rendah pendapat masyarakat. Ketakutan kepada
bangkitnya Komunis Gaya Baru (KGB) yang ditudingkan pada anak-turunan korban,
tidak lantas menjadikan pasca peristiwa Gestapu dilupakan. Peristiwa itu
harus diselesaikan dengan itikad baik pemerintah yang menjadi representasi
negara. Rekonsiliasi pasca peristiwa Gestapu tidak serta-merta menjadi
cerminan pemerintahan sekarang mendukung PKI. Toh PKI jelas dilarang melalui
Ketetapan MPRS. PKI tidak mungkin bisa tampil kembali memeriahkan dunia
politik Indonesia. Lalu mengapa kita merisaukan hal-hal yang belum tentu
benar seperti yang didugakan?
Butuh kebijaksanaan yang didasari pada hati nurani untuk
mengakui peristiwa pasca Gestapu. Peristiwa tragis yang telah merampas sisi
kemanusiaan bangsa Indonesia hingga jutaan nyawa manusia melayang bak
pembantaian binatang. Ditambah lagi, persoalan ketidak-nyamanan anak turunan
kelompok kiri yang masih merasakan perlakuan tidak adil dari negara.
Saya bukan seorang peniliti layaknya peneliti handal yang banyak
menghasilkan kesimpulan ilmiah dari penelitian. Saya hanya seorang guru
sejarah SMA, dimana rasa kebangsaan dan kemanusiaan tergugah ketika melihat
dan mengetahui peristiwa pembantaian pada 50 tahun yang lalu. Sebagai guru
sejarah, saya hanya mampu melakukan langkah-langkah sederhana yang mungkin
dilakukan juga oleh guru lainnya atau tidak sama sekali.
Upaya Mendemokratiskan
Pengetahuan
Awal ketertarikan saya mencoba membuka ‘pikiran baru’ setelah membaca
segala informasi sejarah tentang peristiwa Gestapu juga pasca peristiwa
Gestapu. Dengan informasi yang ada, saya menyimpulakan bila peristiwa itu
benar adanya. Ada pulau Buru atau kamp-kamp pembantaian, ada pengakuan dari
mereka yang diasingkan, ada laporan Komnasham, serta bukti-bukti lainnya.
Dari semua informasi tersebut, secerca harapan hadir demi mencoba membantu
negeri ini agar tidak melupakan sejarah, mencoba bicara apa adanya pada
peserta didik saya. Dimulai dari perkenalan saya dengan Joshua Oppenheimer
sutradara film Jagal (The Act of
Killing) melalui pencarian di internet. Setelah saya pastikan siapa
Joshua, selanjutnya saya mencoba mencari profilnya di salah satu media sosial
Facebook. Pertemuan via media sosial terjadi pada tahun 2012. Lantas saja
muncul keinginan untuk bercerita dengannya melalui medsos. Ternyata Joshua
begitu respect dengan cerita-cerita saya, sehingga ketika saya utarakan
keinginan untuk memutarkan filmnya kepada peserta didik saya, ia meresponnya
dengan baik. Joshua mengirimkan dvd film Jagal yang kemudian saya putarkan ke
peserta didik saya.
Mulanya saya pribadi sedikit ragu memutarkan film Jagal kepada
para peserta didik. Bisa jadi, pemutaran film tersebut tidak sesuai dengan
harapan saya. Apalagi aksi saya ini belum pernah dilakukan guru-guru sejarah
sebelum saya. Biasanya guru-guru sejarah sebelum saya menyampaikan narasi
sejarah Gestapu menggunakan pola lama, seperti yang ada di dalam buku.
Betapa terharu diri ini saat peserta didik merasa antusias
menonton film tersebut. Di hati saya terbersit untuk tetap memutarkan film
itu kepada seluruh peserta didik. Beruntungnya, materi di kelas XII adalah
materi yang mengulas peristiwa-peristiwa pemberontakan. Dengan begitu, ada
beribu alasan memutarkan film Jagal andai pihak sekolah melarang aksi saya.
Langkah saya tidak berhenti sampai di situ saja. Dari tahun ke
tahun ketika tiba pada materi yang sama, usaha mengubah pemikiran peserta
didik masih tetap dilanjutkan meski sedikit ada pertentangan dari guru
sejarah lainnya. Tentangan ini membuat saya melawannya dengan cara-cara
sederhana lainnya. Saat guru lain mempertontonkan film G 30 S/PKI versi Orba,
banyak peserta didik yang bertanya lebih jauh. Saat itu juga, jurus-jurus
baru saya lakukan. Buku-buku tentang Peristiwa Gestapu saya sebarkan ke
peserta didik. Memang tidak semua peserta didik tertarik membaca buku-buku
yang saya tawarkan, namun demikian di beberapa peserta didik ini ada yang
sangat tertarik mencari pengetahuan Peristiwa Gestapu, khususnya peristiwa
pembantaian. Melalui beberapa peserta didik yang tertarik inilah, ‘virus
penasaran’ mereka bisa ditularkan.
Di tahun 2014, tanpa sengaja saya menemukan satu buku spesial
tulisan Dr. Baskara T Wardaya saat bersileweran di salah satu toko buku di
kota saya. Di halaman terakhir buku Luka Bangsa Luka Kita, tertera alamat
email sang editor. Kali ini, semangat baru bertambah muncul untuk segera
menghubungi beliau melalui email. Tidak disangka, sang editor membalas email
saya serta menyampaikan informasi bahwa akan ada pemutaran perdana film
Senyap (The Look of Silence), yang juga merupakan karya Joshua Oppenheimer,
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sebagai bagian dari kegiatan menyambut Hari
HAM sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember. Bagi saya, informasi ini
adalah tambahan semangat yang sedikit mulai redup. Setelah menghubungi pihak
panitia penyelenggara, dengan modal pribadi menuju Jakarta akhirnya saya
menyaksikan pemutaran perdana film Senyap. Bisa dibayangkan betapa semangat
baru itu semakin menggebu. Sesampainnya kembali di kota saya, segala
pengalaman yang saya rasakan, saya bagikan ke peserta didik sampai akhirnya
film Senyap bukan sesuatu yang asing bagi peserta didik saya.
Antusiasme peserta didik usai menyaksikan film Senyap semakin
‘terprovokasi’. Tanpa sungkan, mereka bersedia menuliskan
komentar-komentarnya yang kemudian saya postingkan di media sosial. Salah
satunya adalah di Facebook IPT (International People’s Tribunal) yang
dikelola oleh ibu Nursyahbani Katjasungkana. Langkah yang sama saya lakukan dari
tahun ke tahun sejak 2014 hingga sekarang. Film Senyap menjadi bahan ajar
saya ketika sampai pada materi pemberontakan di kelas XII.
Apa yang dapat diharapkan dari segala aktivitas yang dilakukan?
Tidak lain dan tidak bukan adalah merumuskan kembali pemikiran para peserta
didik dalam memahami peristiwa Gestapu dan pasca peristiwa Gestapu. Saya
menyadari, langkah sederhana ini terkesan melawan arus pemikiran umum guru
sejarah yang kebanyakan masih bertahan pada pemikiran klasik Orba. Bukan
tidak mungkin, langkah saya dianggap ekstrim sebab tidak lazim bagi
kebanyakan guru sejarah.
Rekonsiliasi Nasional Peristiwa pembantaian di tahun 1965,
seharusnya dimulai dari lingkungan sekolah, khususnya pada level SMA/SMK.
Mengapa demikian? Hal ini berdasar pada pemikiran sederhana bahwa pada
tingkatan SMA, generasi baru itu akan lahir dengan pemikiran baru terhadap
sejarah bangsa, terutama sejarah yang sengaja disenyapkan oleh penguasa.
Mereka bisa membawa pengetahuan sejarah tersebut sampai tingkat perguruan tinggi.
Pengetahuan sejarah mereka perlu diluruskan demi narasi sejarah Indonesia.
Pengetahuan ini juga mampu membentuk identitas bangsa demokratis dengan
menjunjung tinggi prinsip humanis. Kita sadar betapa sulitnya rakyat
Indonesia mengubah pemikiran negatif yang sudah mendarah-daging akibat cuci
otak Orde Baru.
Banyak hal yang bisa diperoleh bila keinginan mengubah pemahaman
sejarah bangsa dimulai dari level SMA/SMK, bahkan dengan hanya memutarkan
film Jagal dan Senyap saja. Beberapa peserta didik saya terpancing mengakui
sejarah masa lalu keluarganya. Di antara mereka berani mengungkap cerita
tentang kakek-nenek mereka, yang ternyata menjadi bagian pembantaian dan juga
dipinggirkan karena dianggap PKI.
Sadarkah kita bila semua guru sejarah memilih langkah sederhana
ini akan memancing pengakuan-pengakuan baru identitas peserta didik maka
rekonsiliasi bisa diawali dari tingkat sekolah. Secara psikologis,
‘pancingan’ guru sejarah ketika bicara peristiwa pasca Gestapu menjadi jalan
mempertemukan mereka dengan peristiwa sebenarnya. Sentuhan guru sejarah
kepada peserta didik berhasil menciptakan pemahaman baru informasi sejarah
yang telah diselewengkan selama puluhan tahun.
Dalam membangun perspektif sejarah bangsa Indonesia, sudah
selayaknya dimulai dari hal terkecil sekalipun tanpa disadari menciptakan
gebrakan besar. Terlalu lama kita berkutat pada segala kajian yang belum
tentu menggugah negara untuk mengakuinya. Meski akan hadir rasa ketakutan
bagi guru sejarah seperti saya, namun perjuangan meluruskan sejarah menjadi
tanggung jawab moral yang diemban guru sejarah itu sendiri. Dari guru-guru
sejarah yang berwawasan humanis, perjuangan menolak lupa atas peristiwa masa
lalu yang menyayat hati mungkin bisa menghadirkan pemahaman baru di diri
peserta didik.
Rekonsiliasi bukan sekedar perjuangan para aktivis HAM.
Rekonsiliasi harus diupayakan oleh seluruh isi negeri Indonesia. Ketika
Rekonsiliasi Nasional diupayakan dimulai dari peristiwa pelanggaran HAM masa
lalu yang berskala nasional di sekolah-sekolah, maka pelanggaran HAM lainnya
turut dituntaskan oleh pemerintah.
Sayangnya, keberanian di beberapa guru sejarah sering kali tidak
mendapat dukungan berarti oleh sebahagian penggerak HAM dan pihak-pihak yang
peduli terhadap peristiwa sejarah masa lalu. Padahal, sesungguhnya dari
guru-guru sejarahlah , satu narasi sejarah Indonesia yang kontra-versi
diluruskan sesuai fakta sejarah. Guru-guru sejarah sudah waktunya diberi
porsi lebih agar leluasa menyampaikan satu peristiwa sejarah. Apalagi bila
peristiwa sejarah itu telah membekukan sisi kemanusiaan satu bangsa.
Bicara sejarah sama juga bicara fakta dan bicara fakta
menanamkan kejujuran pada generasi baru Indonesia. Guru sejarah bukan
pendongeng yang membosankan, karena cuma punya kemampuan bercerita seperti
yang ada di buku-buku teks sejarah. Guru sejarah bagian dari sejarawan meski
berskala kecil. Lewat pengetahuannya, guru sejarah menyajikan konsep kekinian
dari satu peristiwa sejarah. Guru sejarah tidak harus larut pada cerita
klasik yang didengar sejak zamannya ia bersekolah sampai kuliah. Catatan guru
sejarah yang diperolehnya dulu, sangat usang disampaikan pada peserta didik
sekarang. Kita harus menyadari, peserta didik bisa mengakses informasi
sejarah melalui teknologi terkini seperti internet kapan saja dan dimana
saja. Oleh karenanya, seorang guru sejarah wajib memperbarui pengetahuan
sejarahnya yang berkaitan dengan kontra-versi satu peristiwa sejarah,
sehingga apa yang dikatakan Sartono Kartodirjo benar adanya bahwa dalam
konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan sejarah mempunyai fungsi
fundamental. Dengan begitu, kesalahan masa lalu tidak terulang kembali dan
proses rekonsiliasi bukan lagi barang aneh yang ditakuti karena disebut
menggoncangkan keutuhan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar