Matinya Proses Perdamaian Tepi Barat
Broto Wardoyo ; Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional UI
|
KOMPAS,
26 Oktober 2015
Kekerasan yang terus berlangsung di Tepi Barat mengingatkan kita
bahwa masalah serius dalam hubungan Israel-Palestina masih tetap belum
terpecahkan. Gejolak yang terjadi saat ini disebut mengarah pada pecahnya
intifadah ketiga. Interaksi kekerasan antara Palestina dan Israel ini harus
disikapi lebih serius di tengah belum redupnya konflik di Suriah dan Irak
utara.
Tiga faktor pendorong
Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong eskalasi tersebut.
Pertama, adanya pergeseran dalam kebijakan Israel terhadap Palestina dalam
dua dekade terakhir. Sejak tahun 2000, ketika perundingan Camp David II
berakhir tanpa solusi, Israel enggan melanjutkan negosiasi damai. Apalagi
pasca perundingan tersebut partai-partai pro perdamaian tidak lagi memenangi
pemilu. Kalaupun ada perundingan pasca Camp David II, kehadiran Israel tak
lain didasari pertimbangan "membahagiakan" AS, mediator utama dalam
proses negosiasi Israel-Palestina.
Pasca Camp David II, Israel lebih memperhatikan stabilitas
ekonomi domestik selain mempertahankan keran masuknya imigran dari berbagai
wilayah, terutama dari Rusia dan negara-negara eks Uni Soviet. Kehadiran para
imigran tersebut secara signifikan memengaruhi konstelasi politik di Israel.
Berbeda dengan para imigran dari Eropa Barat, Amerika Latin, atau Etiopia,
para imigran generasi terbaru tersebut lebih aktif dalam politik. Merekalah
yang kemudian jadi pendukung utama kelompok-kelompok politik sayap kanan di
Israel yang belakangan banyak bermunculan.
Salah satu masalah utama dengan para imigran generasi baru ini
adalah penempatan mereka di wilayah-wilayah yang masuk dalam kategori
contested, terutama di Tepi Barat. Para imigran ini menjadi ujung tombak
dalam relasi dengan para pemukim Arab di Tepi Barat. Pemerintahan sayap kanan
Israel pun secara sistematis juga mengembangkan kebijakan untuk mendukung
kelompok imigran baru tersebut.
Selain memasukkan wilayah-wilayah pemukim ke dalam area
pengembangan utama, serangkaian insentif ekonomi juga diberikan untuk membuat
mereka merasa nyaman tinggal di wilayah-wilayah panas tersebut. Segmen kerja
sebagian besar dari para imigran baru tersebut juga bersinggungan dengan para
pemukim Palestina. Dengan kata lain, kehadiran para pemukim baru tersebut
sebenarnya diproyeksikan untuk mengurangi kebutuhan tenaga kerja di
sektor-sektor yang selama ini dipenuhi oleh pemukim Palestina.
Interaksi antara ketiadaan niatan untuk melanjutkan proses
perundingan, masuknya imigran yang aktif dalam politik untuk mendukung
kepastian kesejahteraan mereka, dan persinggungan dengan pemukim Palestina
secara ekonomi tersebut memunculkan sikap anti Palestina yang cukup kuat di kalangan
imigran baru. Letupan kekerasan akan dengan mudah untuk dipicu dan
menghasilkan konflik terbuka di kalangan sipil.
Faktor kedua, terkait hilangnya arah kebijakan damai Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan berakhirnya proses Oslo dalam
pidatonya di PBB. Abbas menegaskan, Palestina tak lagi terikat dengan
butir-butir kesepakatan dalam Deklarasi Prinsip di Oslo tersebut. Pidato itu
tidak saja menandai era baru perjuangan kemerdekaan Palestina (dari
perlawanan militer ke perlawanan di meja perundingan menjadi perlawanan di
ajang diplomasi multilateral), juga menandakan besarnya rasa frustrasi
Palestina dalam bernegosiasi dengan Israel.
Dalam beberapa dekade terakhir, berkembang tiga opsi bagi
perjuangan kemerdekaan Palestina. Opsi pertama, didorong oleh Hamas, Jihad
Islam dan beberapa faksi di dalam PLO, adalah opsi perjuangan bersenjata.
Opsi kedua adalah pilihan untuk melanjutkan proses negosiasi, baik dalam
kerangka Oslo maupun dalam kerangka lain. Opsi ketiga adalah pilihan untuk menggunakan
PBB dan organ-organnya. Publik Palestina pun terbelah dalam tiga opsi ini.
Pergeseran opsi yang diambil Abbas tentu terkait dengan meningkatnya rasa
frustrasi publik atas kondisi yang tidak menentu selama beberapa dekade
proses Oslo berjalan.
Pergeseran opsi yang diambil Palestina ini juga masih dibayangi
ketidakpastian masa depan perjuangan mereka di PBB. Secara realistis,
Palestina akan bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional untuk
masuk ke dalam berbagai organ PBB. Namun, tidak demikian halnya dengan
dukungan dari Dewan Keamanan. Realitas politik ini yang harus dihadapi
Palestina dalam menggunakan opsi ini. Ketidakpastian masa depan, ditambah
tekanan dalam kehidupan keseharian yang dialami oleh publik Palestina, akan
dengan mudah memunculkan pecahnya bentrokan.
Faktor terakhir, ketakpastian konflik di beberapa wilayah di
Timur Tengah juga berkontribusi pada tensi kekerasan di Tepi Barat. Sejak
awal tahun lalu, otoritas intelijen Israel secara terbuka mulai menyampaikan
adanya keterikatan antara kelompok-kelompok di Palestina dan beberapa
organisasi yang dikategorikan sebagai kelompok teror, termasuk Al Qaeda.
Rilis tersebut bisa jadi didasari oleh pertimbangan politik, mengingat sudah
menjadi tabiat Israel untuk meletakkan tekanan pada ketidakmampuan Otoritas
Palestina dalam "menjaga keamanan" sebagai alasan Israel melakukan
"tindakan yang diperlukan".
Kekerasan yang saat ini pecah di Tepi Barat, dengan demikian,
harus dilihat secara cermat apakah merupakan bentuk spontanitas yang didorong
oleh rasa frustrasi ataupun terstruktur. Hingga saat ini, kelompok-kelompok
utama Palestina belum menyatakan sikap atau mengklaim bertanggung jawab.
Dua titik perhatian
Terlepas dari hal tersebut, masyarakat internasional perlu
memberikan perhatian, terutama terkait dengan dua hal. Pertama, kebutuhan
untuk menyediakan skema perdamaian yang baru. Selain Deklarasi Prinsip, dalam
perjalanan waktu ada beberapa opsi skema perdamaian yang pernah muncul. Skema
baru bagi proses perdamaian dibutuhkan untuk menjaga agar kelompok-kelompok
pendukung kekerasan di kedua kubu tidak memiliki justifikasi politik bagi
aksi-aksi mereka.
Dengan berakhirnya proses Oslo, komitmen bagi pembagian wilayah
juga luruh. Artinya, tidak ada lagi batasan yang jelas mengenai "garis
hijau" ataupun "garis biru". Ketiadaan skema baru proses
perdamaian harus segera diisi agar tidak ada perubahan yang signifikan dalam
situasi "resmi" di lapangan. Ketidakjelasan kondisi saat ini
membuka peluang bagi para pendukung opsi militeristik di kedua pihak.
Kedua, tekanan untuk menghentikan proses perluasan permukiman
Yahudi, meskipun Israel mengklaimnya sebagai perluasan alami. Israel secara
terang-terangan telah melakukan upaya untuk memaksimalkan keuntungan tersebut
dengan kebijakan permukiman Yahudi yang dijalankannya. Penghentian perluasan
di wilayah-wilayah yang disengketakan harus dilakukan. Tekanan internasional
terhadap para kontributor dana menjadi isu yang krusial.
Kedua langkah tersebut, dalam kondisi saat ini, akan sulit tanpa
ada intervensi masyarakat internasional. Selain menyerukan penghentian
kekerasan dalam berbagai kegiatan demonstrasi, kita juga harus menyerukan
skema perdamaian yang baru sesegera mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar