Gas sebagai Modal Pembangunan
Irine Handika ; Pengajar Fakultas Hukum dan Peneliti Pusat
Studi Energi
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
19 Oktober 2015
Tanggung jawab pengelolaan gas sebagai sumber energi primer yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ada di tangan
pemerintah. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan dengan preferensi yang
mencerminkan kebijaksanaan per masa dari setiap rezim. Belakangan terjadi
pergeseran, yaitu pendulum gas sebagai komoditas berpindah jadi modal
pembangunan berkelanjutan. Pilihan yang seyogianya diikuti hilirisasi nilai
secara konsisten sampai pada tataran peraturan operasional. Harapannya,
tujuan akhir menjadikan gas sebagai sumber kesejahteraan rakyat tercapai.
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional sebagai turunan Undang-Undang No 30/2007 tentang
Energi mengafirmasi kemauan politik pemerintah menjadikan gas sebagai modal
pembangunan nasional. Sejumlah strategi taktis pun diambil agar tujuan
tercapai, salah satunya merumuskan pengaturan alokasi dan pemanfaatan gas
yang menurut rencana dituangkan dalam peraturan presiden.
Aturan main yang berlaku sekarang adalah Peraturan Menteri ESDM
No 3/2010 yang perspektifnya adalah membagi gas untuk pemanfaatan dalam
negeri berbasis pada prioritas sektor dengan urutan peningkatan lifting
migas, industri pupuk, ketenagalistrikan, dan industri lain. Apabila
kebutuhan-kebutuhan tersebut telah terpenuhi, Menteri ESDM diberi kewenangan
untuk menetapkan kebijakan pemanfaatan lain, termasuk ekspor gas. Dalilnya
adalah asumsi keterbatasan gas sehingga alokasi dan pemanfaatan harus dibagi
dan ditetapkan sedemikian rupa melalui mekanisme prioritas agar kebutuhan
pengguna di dalam negeri dapat terpenuhi.
Realitasnya, produksi gas lebih banyak diekspor. Tren
keseimbangan pemanfaatan domestik-ekspor baru dimulai pada 2012 melalui
tercapainya titik ekuilibrium dengan jumlah ekspor 3,631 miliar british
thermal unit per hari (BBTUD) dan pemanfaatan domestik 3,550 BBTUD. Lebih
lanjut, rasio dominasi kebutuhan dalam negeri baru benar-benar tercapai tahun
2013 melalui peningkatan pemanfaatan domestik jadi 53 persen atau setara
3,774 BBTUD. Berdasarkan itu, keterbatasan produksi gas tak dapat dijadikan
argumentasi untuk menetapkan norma prioritas berbasis sektor.
Permen ESDM tersebut juga tak sesuai dengan paradigma gas
sebagai modal pembangunan. Pertama, menurut Peraturan Pemerintah tentang
Kebijakan Energi Nasional (PP KEN), gas diprioritaskan untuk pemanfaatan yang
memiliki nilai tambah terbesar. Kedua, PP KEN memerintahkan gas
diprioritaskan untuk daerah penghasil sehingga integrasi negara terjaga.
Ketiga, menurut UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), gas sebagai sumber daya tak terbarukan tidak dikonsumsi langsung,
tetapi menjadi input produksi dan industri. Keempat, gas diprioritaskan
sebagai bahan baku dan bahan bakar bagi industri strategis serta
pemanfaatannya disinkronkan dengan kebijakan industri nasional, sebagaimana
diperintahkan UU Perindustrian.
Kelima, sesuai UU Perdagangan, perlu dilakukan pengendalian
ekspor gas untuk menjamin kebutuhan dalam negeri. Keenam, prioritas
pemanfaatan gas disesuaikan dengan PP No 14/2015 tentang Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 adalah meningkatkan nilai tambah.
Ketujuh, gas diprioritaskan untuk mewujudkan kedaulatan energi melalui
pemanfaatan dalam negeri sebesar 53-64 persen untuk 2015-2019.
Tuntunan di atas sekaligus menahbiskan karakteristik penetapan
alokasi dan pemanfaatan gas sebagai kebijakan yang dinamis karena akan
mengikuti kebijakan pemerintah untuk kurun waktu tertentu, disesuaikan dengan
kebutuhan riil masyarakat dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu, konstruksi
pengaturan dalam regulasi turunan yang statis tidak akan berlaku efektif.
Meskipun demikian, tetap ada pedoman umum sebagai arah berupa
pasal-pasal yang relevan dalam UU Migas dan UU Energi. Selain terdapat pula
UU lain yang seharusnya dijadikan rujukan dalam menarasikan makna dan
strategi menjadikan gas sebagai modal pembangunan, tetapi diabaikan oleh
pembuat kebijakan, yaitu UU Perdagangan dan UU Perindustrian. UU RPJPN pun
lupa diakomodasi, padahal kedudukannya krusial sebagai pedoman untuk menjaga
kesinambungan pembangunan dalam periode 2005-2025 sehingga mengikat setiap
rezim pemerintahan dalam periode tersebut.
Lebih lanjut, kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas perlu
disusun berbasis kebutuhan aktual pengguna, yang mayoritas adalah industri.
Caranya melalui koordinasi lintas sektoral antara Menteri ESDM dan Menteri
Perindustrian untuk merumuskan neraca gas berbasis rencana pemanfaatan SDA
yang wajib disusun perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri
berdasarkan UU Perindustrian.
Pada konteks ini, perlu ada sinergi dan menjaring masukan dari
Kadin, Hipmi, Inaplas, dan asosiasi industri lain. Pemetaan kebutuhan
dilakukan karena karakteristik pemanfaatan gas setiap pengguna berbeda,
seperti kebutuhan untuk BBG, komersial, dan rumah tangga cenderung tetap. Ini
berbeda dengan industri yang kebutuhannya bervariasi mengikuti skala usaha
dan permintaan pasar. Adapun pembangkit PLN membutuhkan gas dengan
karakteristik khusus dan volumenya pun fluktuatif bergantung saat beban
puncak.
Urgensi penetapan peraturan presiden (perpres) sebagai baju
hukum pengelolaan gas perlu dikaji lebih lanjut. Perlu ada kebutuhan yang
melandasi, baik sosiologis maupun yuridis, terlebih RUU Migas yang sedianya
akan menaungi tata kelola gas sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional.
Di sisi lain, muatan pasal demi pasal dalam perpres dapat sesuai dengan UU
Migas (baru) atau bahkan bertentangan. Apabila terjadi pertentangan,
sedangkan industri gas sudah telanjur menyesuaikan diri dengan perpres, akan
timbul inefisiensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar