Mission Impossible Pemberdayaan Petani
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Oktober 2015
HARI Pangan Sedunia, 16 Oktober
2015, mengambil tema Pemberdayaan petani sebagai penggerak ekonomi menuju
kedaulatan pangan. Tema itu dipilih karena dari sisi kuantitas, jumlah petani
amat besar. Demikian pula peran sektor pertanian. Pertanian masih jadi
gantungan hidup lebih sepertiga warga.
Ditambah beragam potensi yang ada,
Indonesia berpeluang memberi makan dunia (feed
the world). Masalahnya, pertanian dan petani berada posisi marginal dan
dinilai tak penting. Dari mana pemberdayaan petani mulai dilakukan?
Pertanyaan itu akan dijawab
secara tidak langsung melalui pemahaman transformasi ekonomi. Hasil
pembangunan ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100%
dengan jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu
dikerjakan 100% tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke
waktu. Secara makro, kue terdiri atas dua lapis: lapis pertama ialah
pertanian dan lapis kedua ialah industri. Lapis kue pertanian hasil kerja
para petani dan lapis kue industri hasil kerja sektor industri.
Perubahan proporsi kue, yaitu
proporsi lapis pertanian yang mengecil di satu pihak dan lapis industri yang
membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100%, dalam ilmu ekonomi dinamai
perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural. Sesuai dengan
perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan:
transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas
pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri.
Apakah di Indonesia terjadi
transformasi struktural ekonomi? Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013)
menunjukkan jumlah rumah tangga petani (RTP) 26,14 juta, turun 5 juta (1,75%)
dari ST2003. Petani berkurang 500 ribu/tahun. Penurunan RTP terbanyak di Jawa
Tengah (1,5 juta), Jawa Timur (1,3 juta), dan Jawa Barat (1,3 juta). Petani
di Jawa banyak berkurang karena jumlah petani bejibun di pulau ini. Jika
penurunan RTP diikuti kenaikan pangsa PDB dan pangsa tenaga kerja sektor
industri dan jasa, berarti transformasi terjadi. Itu berarti ada pembangunan
dan arahnya benar. Jika sebaliknya, itu pertanda terjadi involusi.
Selama satu dekade pangsa PDB
pertanian hanya turun kecil: dari 15,19% pada 2003 menjadi 14,43% pada 2013.
Adapun penyerapan tenaga kerja pertanian turun dari 43,33% (2003) menjadi
34,78% (2013). Pada periode yang sama, PDB industri dan jasa berubah dari 28,25%
dan 9,87% menjadi 23,70% dan 11,02%, sedangkan penyerapan tenaga kerja
industri dan jasa berubah dari 11,2% dan 11,05% menjadi 13,26% dan 16,36%.
Data-data itu menunjukkan transformasi struktural ekonomi belum sepenuhnya
terjadi. Industri dan jasa yang diharapkan bisa menjadi gantungan hidup
warga, terutama tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, jauh panggang
dari api. Ironisnya, pangsa PDB industri bahkan menurun.
Selama satu dekade, tren
penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian amat lambat. Kalkulasi Pakpahan
(2004) menunjukkan hal serupa: dalam periode 1960-2000-an setiap penurunan 1%
PDB pertanian dalam PDB nasional hanya diikuti penurunan pangsa tenaga kerja
pertanian kurang dari 0,5%. Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan:
tiap penurunan pangsa PDB pertanian 1% di dalam PDB nasional pangsa tenaga
kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kali. Hal serupa juga
dicapai Malaysia dan Thailand. Idealnya, jika pangsa PDB pertanian 14,43%,
serapan tenaga kerja tak lebih 20%.
Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan
pemiskinan sektor pertanian. Industrialisasi di Indonesia ialah industriali
sasi yang memeras petani. Industrialisasi semacam itu ialah industrialisasi
yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul beban
industrialisasi. Kondisi itu terjadi bila yang berlangsung ialah
industrialisasi semu atau industrialisasi prematur. Industrialisasi semacam
itu dicirikan, antara lain, penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak
diikuti penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian secara
proporsional.
Ketika kue ekonomi (PDB) yang
semakin kecil jadi rebutan banyak orang, logis bila kemiskinan menumpuk di
sektor pertanian. Per Maret 2014, sebanyak 17,77 juta dari 28,28 juta warga
miskin atau 62,84% berada di perdesaan. Sebagian besar mereka bergantung pada
sektor pertanian. Celakanya, sektor tersebut tidak bisa menjadi gantungan
hidup agar keluar jauh dari garis kemiskinan.
Menurut Survei Pendapatan Rumah
Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga
tani dari usaha di sektor pertanian hanya Rp12,4 juta per tahun atau Rp1 juta
per bulan, jauh dari upah layak buruh pabrik.
Penopang pangan
Pendapatan itu hanya mampu
menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar
pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Fakta itu
menunjukkan tak ada lagi `masyarakat petani', yakni mereka yang bekerja di
sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan
itu. Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi
tenaga kerja muda terdidik. Menurut ST2013, sepertiga pekerja sektor
pertanian berusia lebih dari 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi.
Kondisi involutif tersebut
tentu mem bahayakan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan
memperlemah kapasitas pertanian. Itu ditandai dengan makin meningkatnya
jumlah petani guram dan rusaknya sumber daya pertanian, baik lahan, DAS,
maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak
diimbangi kemampuan sektor tersebut memberikan penghidupan layak bagi petani
dan tenaga kerja bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di
perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri,
melainkan juga bisa melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.
Kondisi itu memengaruhi
kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre),
dan bahan bakar (fuel) secara
berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga
dan generasi mendatang.
Perlu langkah radikal agar
Indonesia tidak terjebak dalam ketidakdaulatan pangan. Dari sisi petani, agar
berdaya dan bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi,
serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Pertanian harus di jadikan agenda
pembangunan bangsa.
Agar terjadi transformasi
struktural ekonomi, harus ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa,
real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran)
yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan
manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Prioritas pembangunan
ekonomi harus ditumpukan pada proses industrialisasi yang mampu mengubah pola
transformasi ekonomi ke arah perubahan struktural yang memperkuat ekonomi
Indonesia pada masa datang. Tanpa perubahan ini, pemberdayaan petani tak
ubahnya mission impossible. Industrialisasi
tanpa transformasi struktural tak hanya memiskinkan petani, tetapi juga
membuat fondasi ekonomi rapuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar