Minggu, 18 Oktober 2015

Mission Impossible Pemberdayaan Petani

Mission Impossible Pemberdayaan Petani

Khudori  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
                                             MEDIA INDONESIA, 16 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI Pangan Sedunia, 16 Oktober 2015, mengambil tema Pemberdayaan petani sebagai penggerak ekonomi menuju kedaulatan pangan. Tema itu dipilih karena dari sisi kuantitas, jumlah petani amat besar. Demikian pula peran sektor pertanian. Pertanian masih jadi gantungan hidup lebih sepertiga warga. 
Ditambah beragam potensi yang ada, Indonesia berpeluang memberi makan dunia (feed the world). Masalahnya, pertanian dan petani berada posisi marginal dan dinilai tak penting. Dari mana pemberdayaan petani mulai dilakukan?

Pertanyaan itu akan dijawab secara tidak langsung melalui pemahaman transformasi ekonomi. Hasil pembangunan ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100% dengan jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100% tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu. Secara makro, kue terdiri atas dua lapis: lapis pertama ialah pertanian dan lapis kedua ialah industri. Lapis kue pertanian hasil kerja para petani dan lapis kue industri hasil kerja sektor industri.

Perubahan proporsi kue, yaitu proporsi lapis pertanian yang mengecil di satu pihak dan lapis industri yang membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100%, dalam ilmu ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural. Sesuai dengan perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri.

Apakah di Indonesia terjadi transformasi struktural ekonomi? Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) menunjukkan jumlah rumah tangga petani (RTP) 26,14 juta, turun 5 juta (1,75%) dari ST2003. Petani berkurang 500 ribu/tahun. Penurunan RTP terbanyak di Jawa Tengah (1,5 juta), Jawa Timur (1,3 juta), dan Jawa Barat (1,3 juta). Petani di Jawa banyak berkurang karena jumlah petani bejibun di pulau ini. Jika penurunan RTP diikuti kenaikan pangsa PDB dan pangsa tenaga kerja sektor industri dan jasa, berarti transformasi terjadi. Itu berarti ada pembangunan dan arahnya benar. Jika sebaliknya, itu pertanda terjadi involusi.

Selama satu dekade pangsa PDB pertanian hanya turun kecil: dari 15,19% pada 2003 menjadi 14,43% pada 2013. Adapun penyerapan tenaga kerja pertanian turun dari 43,33% (2003) menjadi 34,78% (2013). Pada periode yang sama, PDB industri dan jasa berubah dari 28,25% dan 9,87% menjadi 23,70% dan 11,02%, sedangkan penyerapan tenaga kerja industri dan jasa berubah dari 11,2% dan 11,05% menjadi 13,26% dan 16,36%. Data-data itu menunjukkan transformasi struktural ekonomi belum sepenuhnya terjadi. Industri dan jasa yang diharapkan bisa menjadi gantungan hidup warga, terutama tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, jauh panggang dari api. Ironisnya, pangsa PDB industri bahkan menurun.

Selama satu dekade, tren penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian amat lambat. Kalkulasi Pakpahan (2004) menunjukkan hal serupa: dalam periode 1960-2000-an setiap penurunan 1% PDB pertanian dalam PDB nasional hanya diikuti penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5%. Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: tiap penurunan pangsa PDB pertanian 1% di dalam PDB nasional pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kali. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan Thailand. Idealnya, jika pangsa PDB pertanian 14,43%, serapan tenaga kerja tak lebih 20%.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan pemiskinan sektor pertanian. Industrialisasi di Indonesia ialah industriali sasi yang memeras petani. Industrialisasi semacam itu ialah industrialisasi yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul beban industrialisasi. Kondisi itu terjadi bila yang berlangsung ialah industrialisasi semu atau industrialisasi prematur. Industrialisasi semacam itu dicirikan, antara lain, penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian secara proporsional.

Ketika kue ekonomi (PDB) yang semakin kecil jadi rebutan banyak orang, logis bila kemiskinan menumpuk di sektor pertanian. Per Maret 2014, sebanyak 17,77 juta dari 28,28 juta warga miskin atau 62,84% berada di perdesaan. Sebagian besar mereka bergantung pada sektor pertanian. Celakanya, sektor tersebut tidak bisa menjadi gantungan hidup agar keluar jauh dari garis kemiskinan. 
Menurut Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya Rp12,4 juta per tahun atau Rp1 juta per bulan, jauh dari upah layak buruh pabrik.

Penopang pangan

Pendapatan itu hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Fakta itu menunjukkan tak ada lagi `masyarakat petani', yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Menurut ST2013, sepertiga pekerja sektor pertanian berusia lebih dari 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi.

Kondisi involutif tersebut tentu mem bahayakan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian. Itu ditandai dengan makin meningkatnya jumlah petani guram dan rusaknya sumber daya pertanian, baik lahan, DAS, maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor tersebut memberikan penghidupan layak bagi petani dan tenaga kerja bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, melainkan juga bisa melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Kondisi itu memengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan bahan bakar (fuel) secara berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang.

Perlu langkah radikal agar Indonesia tidak terjebak dalam ketidakdaulatan pangan. Dari sisi petani, agar berdaya dan bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Pertanian harus di jadikan agenda pembangunan bangsa.

Agar terjadi transformasi struktural ekonomi, harus ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. 

Prioritas pembangunan ekonomi harus ditumpukan pada proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia pada masa datang. Tanpa perubahan ini, pemberdayaan petani tak ubahnya mission impossible. Industrialisasi tanpa transformasi struktural tak hanya memiskinkan petani, tetapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar