Warisan Kejujuran dan Kecurangan
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal
di Yogyakarta
|
KOMPAS,
24 Oktober 2015
Bahkan para pencuri recehan sekalipun masih punya ”idealisme”.
Mereka tak ingin anak dan cucunya jadi pencuri. Kaum koruptor, yang jauh
lebih terdidik, berkuasa, dan ”terhormat” dibandingkan pencuri semestinya
malu jika mewariskan tradisi kecurangan dan pencolongan kepada generasi
penerus bangsa.
Warisan terpenting bangsa bagi generasi penerus adalah
kejujuran. Perubahan boleh saja terus terjadi, tetapi kejujuran tetap menjadi
harta kekayaan nilai mental dan kultural bangsa yang mampu menembus ruang dan
waktu. Para pendiri negara telah membuktikannya. Dengan kejujuran, negeri ini
merdeka, berdaulat, dan mampu membangun peradaban sebelum akhirnya terpuruk
seperti saat ini akibat maraknya korupsi.
Namun, kejujuran selalu menghadirkan kerumitan persoalan ketika
berhubungan dengan kepentingan jangka pendek. Para nabi dan orang suci telah
memperingatkan hal itu: kejujuran dan kebenaran itu pahit, tetapi harus
dikatakan dan dijalani.
Sayangnya, tidak semua orang—termasuk para penyelenggara, wakil
rakyat—mau mengikuti jejak para nabi dan orang suci. Kejujuran dianggap
merugikan: menjadi penghambat bagi nafsu dalam meraih kepentingan demi kepuasan
duniawi. Karena itu, kejujuran tak hanya dihindari, tetapi juga dibenci.
Kejujuran adalah seperangkat nilai ideal (etika, logika,
estetika, moralitas) yang memberi orientasi perilaku manusia untuk berniat
baik, berpikir benar, berperilaku benar, sehingga menghasilkan karya budaya
yang memiliki dimensi kemanusiaan dan peradaban. Niat baik merupakan modal
utama dalam berperilaku/bertindak yang menuntun seseorang menggunakan akal
budi untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang bermakna bagi kemanusiaan,
masyarakat, dan negara. Dalam konteks bernegara, di titik kebenaran itulah
seluruh kepentingan rakyat bermuara.
Ketika para penyelenggara membenci, mencampakkan kejujuran, dan
berperilaku korup, terjadilah kehancuran nilai-nilai kebenaran. Negara pun
bekerja dengan cacat moral dan hanya menghasilkan keburukan dan penderitaan
rakyat. Negara yang hadir adalah negara semu. Rakyat kehilangan horizon
harapan dan hilang kepercayaan atas negara.
Kekecewaan dan patah hati rakyat tak bisa ditebus dengan
berbagai retorika dan akrobat politik atau teater-teater penuh spektakel dari
penyelenggara negara. Rakyat melihat semua aksi teatrikal tak lebih dari ulah
badut yang tragis: tak lucu dan mengenaskan. Kepada negara, rakyat bisa
bilang, ”Uwis, kowe ora sah nglucu merga uripmu wis lucu (Sudahlah, kamu tak
usah melucu karena hidupmu sudah lucu).”
Konser korupsi
Kelucuan menyedihkan itu juga muncul ketika hak inisiatif DPR
untuk merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digulirkan. Revisi itu
hanya memberi hak hidup KPK untuk 12 tahun lagi. Para pelaku dan pendukung
revisi ini boleh saja beralasan bahwa KPK itu lembaga sementara dan karena
”diperkirakan” 12 tahun lagi Indonesia sudah bebas dari korupsi, KPK harus
out dari negara.
Ada fungsionaris parpol yang bilang, justru dengan pembatasan
usia KPK itu aksi pemberantasan korupsi bisa dipercepat hingga 12 tahun ke
depan sehingga pada 2017 negeri ini merdeka dari korupsi. Orang Jawa bilang,
ini omongan empuk eyup (penuh iming-iming kenikmatan). Siapa yang menjamin 12
tahun lagi duit negara tidak dicolong para koruptor?
Logika gampangan itu menyamakan korupsi tak beda dengan penyakit
ringan yang bisa dihilangkan dalam masa yang ditentukan. Para wakil rakyat
sengaja alpa bahwa korupsi itu penyakit berat yang merusak mental dan moral
bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk empat
komunitas: politik, hukum, birokrasi, dan ekonomi. Mereka secara harmonis
menggelar konser korupsi yang manis, melahirkan nada dan irama dahsyat,
membahana, sehingga sendi-sendi kedaulatan negara dan kemakmuran bangsa
rontok. Nada dan irama konser para koruptor itu berkekuatan ”gaib” dan mampu
menjadikan bangsa kita miskin.
Sangat hebatnya hegemoni koruptor hingga muncul inisiasi
pengampunan bagi mereka: diampuni asal mengembalikan uang hasil korupsi.
Kenapa para penyelenggara negara menjadi begitu lunak dan lembek pada
koruptor yang sangat jelas merupakan makhluk predator kekayaan negara-bangsa?
Kenapa terhadap para maling mereka tetap berprasangka baik? Bukankah maling
tetaplah maling meskipun ia menutupi dirinya dengan rumbai-rumbai kekayaan
dan kebaikan?
KPK telah jadi harapan rakyat dalam melibas koruptor. Membunuh
KPK sama dengan membunuh harapan rakyat. Jika hal ini terjadi, nilai macam
apa yang hendak kita warisan kepada generasi penerus? Secara budaya,
pewarisan nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran berlangsung melalui
kebiasaan: perilaku baik yang konstan dan selalu berulang dan membangun
tradisi.
Melenyapkan korupsi melalui efektivitas kinerja KPK bukan hanya
menjadi bagian dari penegakan hukum, melainkan juga penanaman nilai kebaikan,
kebenaran, dan kejujuran bagi publik, terutama generasi penerus. Sayangnya,
nilai-nilai ideal itu kini justru sedang akan dihancurkan. Ke depan, generasi
penerus mendapat apa? Teknik canggih colong-mencolong?
Kehancuran nilai-nilai ideal adalah awal kehancuran kebudayaan
dan peradaban bangsa. Semoga masih banyak petinggi negeri yang mampu
memperjuangkan masa depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar