Tersandera oleh Beras
Toto Subandriyo ; Pengamat Ekonomi; Alumnus Institut
Pertanian Bogor;
Magister Manajemen Universitas
Jenderal Soedirman
|
KOMPAS,
19 Oktober 2015
Permasalahan beras di negeri ini seperti tak kunjung beres.
Selalu memusingkan kepala: bukan saja kepala para penduduk miskin, melainkan
juga kepala para petinggi negara.
Beberapa hari terakhir, permasalahan beras bahkan membuat
orkestrasi penyelenggaraan pemerintahan mengalami disharmoni. Para elite
penguasa terlibat polemik secara terbuka dalam wacana publik.
Hanya berselang beberapa hari, pernyataan Wakil Presiden Jusuf
Kalla tentang rencana pemerintah mengimpor beras 1,5 juta ton dari Thailand
dimentahkan oleh pernyataan Presiden Joko Widodo. Cadangan beras nasional yang
mencapai 1,7 juta ton (dimungkinkan masih ada tambahan pada panenan
Oktober-November) dianggap mencukupi sehingga pemerintah belum berencana
mengimpor beras.
Selama ini, upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras
penduduk selalu bertumpu pada upaya peningkatan produksi, seperti pencetakan
sawah baru, inovasi teknologi budidaya, dan penggunaan sarana produksi
unggul. Ke depan, upaya semacam ini tidak dapat lagi diandalkan sebagai upaya
peningkatan produksi karena telah terjadi kejenuhan lahan terhadap berbagai
input teknologi.
Di sisi lain, upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional
dihadapkan pada banyak permasalahan lain. Hal itu di antaranya pertumbuhan
jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan peningkatan produksi beras,
masifnya konversi lahan pertanian, dan perubahan agroklimat yang berpengaruh
signifikan terhadap penurunan produksi.
Kearifan lokal
Secara sosiokultural, sistem produksi pangan di republik ini
menganut pola peasant-based and family-based food production yang berbasis
pada jutaan petani kecil dan luas lahan yang sempit. Nasib pangan bangsa
selalu ditumpukan pada sistem produksi pertanian tradisional dengan pelaku
petani kecil. Sistem ini diyakini tidak akan mampu menjawab tantangan
kebutuhan pangan yang meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Jujur kita akui, problematika menyangkut beras yang kita hadapi
sekarang buah dari kebijakan berasisasi yang gencar dilakukan pemerintahan
Orde Baru dan pemerintahan sesudahnya. Dalam kuliah umum lebih dari 30 tahun
lalu, Guru Besar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor FG Winarno
mengkritik keras kebijakan berasisasi yang ditempuh pemerintah Orde Baru.
Kebijakan itu dinilai sebagai kesalahan fatal. Selain menggusur kearifan
pangan lokal, kebijakan berasisasi juga akan jadi bumerang bagi pemerintah di
kemudian hari. FG Winarno mengingatkan, mengubah pola konsumsi pangan sebuah
bangsa butuh waktu beberapa generasi.
Kebijakan berasisasi telah membuat kearifan pangan lokal
tercerabut. Di sisi lain, angka partisipasi konsumsi beras naik secara
fantastis. Pada 1954, konsumsi beras bangsa kita baru 53,5 persen,
sisanya dicukupi dari ubi kayu (22,26
persen), jagung (18,9 persen), dan kentang (4,99 persen). Pada 1987, angka
konsumsi beras menjadi 81,1 persen. Sebaliknya, terjadi penurunan angka
partisipasi konsumsi ubi kayu menjadi 10,02 persen dan jagung menjadi 7,82
persen.
Selain melalui peningkatan produksi (on-farm), pemenuhan
kebutuhan beras nasional juga harus ditempuh melalui pendekatan off-farm, di
antaranya dengan upaya menekan kehilangan hasil. Saat ini, angka rata-rata
kehilangan pasca panen padi nasional masih di atas 12 persen.
Sebagai gambaran, sesuai angka ramalan I Badan Pusat Statistik,
produksi padi nasional 2015 mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling. Jika kita mampu menekan angka kehilangan
hasil gabah/beras menjadi 6 persen saja melalui modernisasi peralatan (mekanisasi),
beras yang dapat kita selamatkan tidak akan kurang dari 3 juta ton per tahun.
Volume yang sangat besar dan dapat digunakan untuk menutup kekurangan
kebutuhan beras domestik yang selalu diimpor.
Upaya off-farm lain adalah mengurangi konsumsi beras penduduk
melalui program diversifikasi bahan pangan sumber karbohidrat. Negara kita
sangat kaya varian bahan pangan sumber karbohidrat, mulai dari jagung,
hermada, sukun, ketela pohon, ketela rambat, kentang, hingga tanaman
umbi-umbian lain.
Berbasis tepung
Agar program diversifikasi pangan substitusi beras dapat
berjalan cepat dan berkesinambungan, semua bahan pangan tersebut harus
berbasis tepung-tepungan (flour-based food). Untuk itu, pemerintah harus
menggalakkan produksi tepung umbi-umbian sebagai substitusi beras atau terigu
dalam pembuatan mi atau roti. Kisah sukses produksi dan pemasaran mocaf (modified cassava flour) yang sudah
banyak digunakan warga masyarakat sebagai substitusi beras dan terigu dalam
pembuatan mi atau roti sudah saatnya diperluas untuk umbi-umbian lain.
Kampanye sehari tanpa nasi harus dilakukan secara konsisten dan
berkesinambungan untuk menurunkan angka konsumsi beras. Konsumsi beras
masyarakat kita versi Kementerian Pertanian
adalah 139,15 kilogram per kapita per tahun. Jika angka konsumsi beras
dapat diturunkan menjadi 100 kilogram per kapita per tahun saja, beras yang
bisa dihemat tidak kurang dari 9 juta ton per tahun.
Namun, satu hal yang harus diingat, upaya penurunan angka
konsumsi beras ini tidak boleh terjadi karena masyarakat beralih mengonsumsi
terigu. Jika hal ini yang terjadi, justru akan muncul permasalahan baru yang
lebih rumit. Hal ini mengingat tanaman gandum yang digunakan untuk produksi
tepung terigu adalah tanaman subtropis yang sulit dikembangkan di Indonesia
sehingga kebutuhan terigu sepenuhnya dipenuhi dari impor gandum.
Aspek lain yang mesti disadari, semua upaya itu harus diikuti
dengan upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Angka laju pertumbuhan
penduduk saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka peningkatan produksi
beras. Untuk itu, merevitalisasi program Keluarga Berencana merupakan sebuah
keniscayaan bagi pemerintah. Tanpa pengendalian laju pertumbuhan penduduk
yang serius, bangsa ini akan selalu tersandera oleh beras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar