Selasa, 27 Oktober 2015

Mengingat Tan

Mengingat Tan

Asep Salahudin  ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Dosen di FISS Universitas Pasundan, Bandung
                                                       KOMPAS, 24 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kalau ada manusia pergerakan yang menghabiskan seluruh usia untuk Indonesia yang diimpikannya, dia adalah Tan Malaka.

Seandainya ada the founding father yang tidak pernah mencicipi manisnya takhta kekuasaan, lagi-lagi dia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Bahkan boleh jadi dari sekian kaum pejuang yang riwayat hidupnya paling tragis, lagi-lagi itu pasti merujuk kepada Ilyas Hussein, satu dari 23 nama samaran yang disandingnya.

Selama 20 tahun, hidup Tan Malaka berada dalam pengasingan. Ia mengelilingi separuh dunia (1922-1942) di bawah bayang-bayang perburuan intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda sebelum akhirnya mati mengenaskan: pada 21 Februari 1949, tentara Republik Indonesia mengeksekusinya di Desa Selapanggung dalam sebuah kemelut ideologis. Ia dianggap menentang Soekarno-Hatta dan dipandang membahayakan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Ironis, Tan Malaka menemui ajal bukan oleh kaum kolonial, melainkan di tangan bangsanya sendiri.

Kalau hari ini banyak orang yang membaca kembali pikiran Tan Malaka, mungkin benar apa yang pernah dikatakannya tahun 1948, ”Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas Bumi.”

Ternyata Tan Malaka tidak pernah mati walau rezim Orde Baru mencoba menghapus jejaknya dari sejarah perjuangan bangsa. Dia tidak ambil bagian dalam hiruk-pikuk politik proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi semua kalangan tidak menyangsikan perannya dalam merumuskan konsep keindonesiaan.

Mohammad Yamin menyebutnya sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Imaji keindonesiaan itu pertama kali muncul dalam risalah Naar de Republiek Indonesia (1925) sebelum Hatta menulis Indonesia Vrij (1928) dan Soekarno menyampaikan Menuju Indonesia Merdeka (1933) atau kaum muda lewat Sumpah Pemuda (1928).

Tan tidak hanya berjuang dengan ”tubuh” lewat kiprahnya di berbagai organisasi sejak belia. Dimulai sebagai anggota Serikat Islam Semarang (1921), Ketua Partai Komunis Indonesia (1921-1922), wakil komintern untuk Asia Timur (1924), dan terakhir sebagai pendiri Partai Murba (1948). Namun, ia juga berjuang dengan ”gagasan” dengan pikirannya yang cemerlang, seperti tampak dari karya-karyanya: Parlemen atau Soviet (1929), SI Semarang dan Onderwijs (1921), Dasar Pendidikan (1921), Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924), Semangat Muda (1925), Massa Actie (1926), Local Actie dan National Actie (1926), Pari dan Nasionalisten (1927), Pari dan PKI (1927), Pari International (1927), Manifesto Bangkok (1927), Asia Bergabung (1943), Madilog (1943), Muslihat (1945), Rencana Ekonomi Berjuang (1945), Politik (1945) , Manifesto Jakarta (1945), Thesis (1946), Pidato Purwokerto (1946), Pidato Solo (1946), Gerpolek (1948), Pidato Kediri (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), Dari Penjara ke Penjara (1948), serta Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaannya (1948).

Relevansi

Gagasan Tan Malaka hari ini menjadi relevan dipercakapkan justru di tengah situasi politik kebangsaan yang sering tersekap defisit moralitas, absennya prinsip-prinsip yang dikukuhi dan selebihnya kerumunan politisi yang datang dengan kepala kosong dan hanya mengandalkan kepalan tangan, retorika murahan, dan nafsu memburu kekuasaan yang kelewat batas.

Tan hadir sebagai ”ideologi kritik” sekaligus kekuatan counter culture justru ketika politik minus ”politisi”, negara nirnegarawan, dan kekuasaan kehilangan jangkar moralitas.

Partai politik pasca reformasi lahir tak ubahnya jamur. Namun, nyaris tidak ada garis demarkasi yang membedakan satu dengan yang lain. Ideologinya seragam berujung pada pragmatisme. Tidak perlu heran kalau para politisi dengan mudahnya melompat dari satu partai ke partai lain. Dengan enteng bikin partai baru yang serupa dengan partai karatan sebelumnya kecuali lambang dan namanya. Temanya ”restorasi”, tetapi isinya sama: bancakan dana sosial.

Lembaga politik bukannya mendidik rakyat dan membangun massa agar aktif, tetapi justru massa itu selama lima tahun sekali dihampiri dengan pendekatan materi. Di pusaran ini dalam setiap pemilihan yang tercium selalu politik transaksional, suara yang diperjualbelikan.

Tidak hanya dalam pemilihan legislatif, tetapi juga pemilihan eksekutif, mulai presiden sampai kepala desa. Rakyat digiring ke lapangan bukan untuk menyimak pidato politik mencerahkan, melainkan hanya diseru goyang bersama pedangdut sintal. Tidak ada rapat akbar layaknya di Ikada—ketika Soekarno dan kawan-kawan menyuntikkan kesadaran berbangsa. Sekarang yang ditemukan sekadar teriakan politisi yang meminta-minta untuk dicoblos dengan menjual isu primitif politik partisan, kesukuan, ataupun fantasi arkaik keagamaan abad pertengahan.

Maka, bagi saya, dalam situasi politik jahiliah macam begini, jangan terlampau mengharap lahir negarawan sekelas Tan Malaka. Toh kenyataannya malah selepas menjabat (atau sedang menjabat) tidak sedikit politisi yang harus berurusan dengan KPK dan berujung di balik terali besi. Mereka hidup dari penjara ke penjara (dari Cipinang ke Sukamiskin) bukan sebagai manusia yang memperjuangkan prinsip demi menghadirkan Indonesia sejahtera, melainkan demi keluarga dan kelompoknya dengan cara-cara yang hina.

Coba sesekali saat hari libur ke Bandung, jangan melulu memburu makanan, tetapi tengoklah penjara Sukamiskin. Lihatlah mulai dari camat, bupati, wali kota, sekretaris daerah, gubernur, menteri, hingga pimpinan partai, mereka mendekam atas pasal tindak pidana korupsi.

Berbanding terbalik, dahulu di Bandung, akhir Desember 1929, Soekarno yang menjabat Ketua PNI dijebloskan ke Ruang TA 01 di lantai 2 Lapas Sukamiskin atas tuduhan menghina Hindia Belanda dan menyusun pleidoinya yang terkenal, Indonesie Klaagt Aan (Indonesia Menggugat).

Soekarno dengan wajah tengadah berkata, ”Tak usah kami uraikan lagi bahwa proses ini adalah proses politik. Ia, oleh karena itu, di dalam pemeriksaannya tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan asas pergerakan kami dan yang menjadi nyawa pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kami....”

Menurut saya, ketimbang para anggota Dewan terhormat menghabiskan uang miliaran rupiah untuk kunjungan studi banding ke luar negeri dan lainnya, jauh akan lebih berfaedah jika studi bandingnya melihat para penghuni Lapas Sukamiskin. Agar kesalahan yang sama tidak mereka lakukan, supaya kebodohan itu tidak terulang.

Tantangan juga untuk wali kota flamboyan Bandung, Ridwan Kamil, bagaimana menjadikan Lapas Sukamiskin sebagai obyek wisata rohaniah, tentu jauh akan lebih bermanfaat ketimbang terus-menerus bikin taman dan menanam rumput.

Kalau dahulu pada awal-awal proklamasi Tan Malaka menolak tawaran yuniornya, Hatta, untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, hari ini jangan harap ada cerita politisi menampik tawaran kursi kekuasaan. Kenyataannya, mereka malah menghalalkan segala cara agar dapat menjadi bagian dari lingkaran kuasa. Bahkan, mereka yang sebelumnya sangat vokal mencerca penguasa ketika ditawari takhta dengan sigap menerima.

Warisan pemikiran

Seandainya dari Tan Malaka lahir banyak kitab yang berisi gagasan untuk kemajuan bangsanya, bahkan mengilhami kaum pergerakan untuk tidak pernah lelah merawat mimpi Indonesia masa depan, hari ini kita tak perlu ketemu buku yang hanya berisi biografi politisi: diluncurkan di hotel mewah, tetapi isi tak lebih hanya foto-foto kunjungan ke daerah, selfie di luar negeri, kutipan dari sekian pendapat orang, dan sisanya testimoni pesanan yang penuh puja-puji dari kerabat atau ”cendekiawan”. Buku dengan kualitas alay dan lebay.

Dari Tan Malaka juga kita mewarisi sikap jujur, tidak mata duitan, berani, sekaligus sikap pergaulan yang inklusif. Pada masanya, Partai Komunis Indonesia berniat diperkuat kembali perkawanannya dengan Serikat Islam. Pernah pula pimpinan Muhammadiyah hendak mengundang Tan Malaka untuk berpidato tentang kemungkinan komunisme bersatu dengan Pan Islamisme dan dia telah menyanggupi, tetapi keburu ditangkap Hindia Belanda.

Bagi Tan Malaka, komunisme dan Pan Islamisme harus beraliansi menjadi sebuah kekuatan besar menghadapi kolonial, bukan terus bersengketa yang malah akan menguntungkan kaum penjajah.

Memang zaman sudah berubah, sayang perubahan itu menjurus ke arah rute politik gelap. Zaman pergerakan hanya menyisakan gema yang kian lamat terdengar, kita lebih bernafsu bergerak menuju perburuan benda dengan cara bernegara yang koruptif.

Mungkin menjadi sangat berarti merenungkan penggalan pidato Tan Malaka pada rapat pertama Persatuan Perjuangan, ”Orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar