Ekonomika SDG
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
26 Oktober 2015
Ekonomika disebut dismal
science karena, menurut Muhammad Chatib Basri, ia memprediksi lebih
banyak krisis ketimbang kemakmuran (Kompas,
5 Oktober 2015).
Ekonomika memang suatu dismal
science, tetapi bukan karena ia memprediksi lebih banyak krisis ketimbang
kemakmuran. Ia bahkan menjanjikan lebih banyak kemakmuran ketimbang ilmu lain
yang dinyatakan dengan PNB, PDB, PNB per kapita, PDB per kapita. Ketika janji
itu terwujud ternyata tidak tanpa biaya eksesif berupa, antara lain,
penindasan manusia terhadap sesamanya dan polusi berkepanjangan. Ini terjadi
karena penalaran ilmu sosial yang satu ini-dengan segala
kekurangannya-dipaksa diterapkan.
Penalaran suatu disiplin ilmiah betul belaka selama secara logis
diturunkan dari anggapan dasarnya. Namun, ia baru pantas diterapkan selama
asumsi dasarnya itu sesuai dengan the
living condition. Bila tidak dan tetap mau diterapkan, perlu dua tindakan
politiko-sosial. Pertama, asumsi dasar tadi dikoreksi atau, kedua, kondisi
riil kehidupan dipaksa menyesuaikan diri.
Di banyak lokasi penerapan ekonomika pure and simple di berbagai belahan dunia, tindakan kedua yang
selalu dijalankan hingga kondisi kehidupan yang ada terpelintir begitu rupa
sampai menimbulkan kesengsaraan. Penderitaan human ini pernah menimbulkan
reaksi Karl Marx yang pemikirannya, tanpa dia maksud, dijadikan dasar
pembenaran komunisme dan pemerintahan Uni Soviet.
Pemaksaan penerapan ajaran ekonomika menimbulkan sengsara karena
nalarnya berkelemahan fundamental. Di forum Konferensi Ke-336 Universitas
dari semua pengetahuan 1 Desember 2000 di Paris, Xavier Greffe membeberkan
kelemahan dan kekurangan penalaran ekonomika. Orasi ilmiahnya berjudul
"La reduction à l'écomique", pengerdilan ala ekonomika. Dia
menyimpulkan anomali itu dalam dua interpretasi berikut.
Pertama, perilaku individu hanya rasional bila ia mengikuti
diktum Homo economicus, di bidang
apa pun kegiatannya. Pilihan individual ditetapkan pada satu acuan homogen,
yaitu kepentingannya sendiri, di mana tampil tanda plus dan minus. Aksioma
ini kerdil mengingat yang diakui terpenting, paling menentukan, adalah
kepentingan sendiri di antara lain-lain hasrat yang memotivasi manusia.
Hubungan antara manusia dan materi tak dapat diperantarai manusia lain.
Kedua, setelah menegaskan kemandirian gejala ekonomi terhadap
lain-lain gejala sosial, ekonomika menyimpulkan bahwa proses dan hukum
ekonomi tidak mungkin bisa diabaikan oleh lain-lain instansi sosial, terutama
politik. Ekonomika tak bisa ditawar-tawar dan tak mungkin memecahkan masalah
ekonomi melalui pertimbangan non-ekonomi semata-mata. Hubungan manusia dan
materi penting.
Hati-hati dan waspada
Ketika penghargaan Nobel untuk ekonomika diciptakan pada 1969,
banyak ekonom bersorak, menganggapnya sebagai pengakuan terhadap soliditas
penalaran keilmuan dari pengetahuan yang mereka geluti. Setelah diangkat
setara dengan lain-lain ilmu sosial sesudah ia berhasil nyempal dari
sosiologi, ia kini dan selanjutnya berpartisipasi dalam aura ilmu eksakta.
Namun, dua tokoh penerima Nobel Ekonomi tetap hati-hati dan waspada. Gunnar
Myrdal mengaku sulit terus melindungi ekonomi terhadap konflik nilai
kehidupan. Amartya Sen mengungkapkan kecenderungan ekonomika mereduksi
kompleksitas dan tumpukan gejala sosial.
Thomas Carlyle bahkan kritis terhadap penyandang ekonomika
dengan mengatakan bahwa para ekonom sering terlihat selaku terrible kill-joys
yang ingin memasukkan keceriaan alami manusia dan keramahtamahannya terhadap
sesama manusia ke dalam sejenis adonan beresep dari disiplin ekonomi.
Dewasa ini kecaman terhadap penalaran simplistis ekonomika jauh
lebih radikal daripada sekadar kewaspadaan dari Myrdal dan Sen. Wacana publik
yang menggambarkan ekonomika sebagai dismal
science segera disusul tuduhan economic
horror. Gejala globalisasi ekonomi langsung diikuti kutukan terhadap
proses ketidakadilan, pemiskinan, perusakan lingkungan, dan alienasi yang
diakibatkannya, di samping nada-nada anti kapitalis di ruang akademik. Tiga
lembaga menjadi bulan-bulanan dari kecaman terhadap penalaran dan kebijakan
ekonomi yang menyengsarakan manusia: Bank Dunia, IMF, dan WTO.
Ekonomika disalahkan melakukan reduksionisme tak hanya dalam
membina penalarannya sendiri, tetapi jauh lebih parah lagi: dalam berpikir
keilmuan pada umumnya. Ia membuat simplifikasi berlebihan mengenai gejala dan
perilaku sosial untuk kemudian digiring ke dalam penalaran yang menunggal
tentang tata ekonomi. Dengan mereformulasikan visi tentang gejala sosial demi
kepentingan logikanya, ia mendesakkan suatu cara berpikir yang sangat
mengesankan correct, tetapi
sebenarnya begitu reduksionistis hingga tak bisa applicable kecuali dengan paksaan formal. Agar correctness penalarannya kian
menonjol, ekonomika semakin banyak melibatkan matematika. Sampai ujian masuk
calon mahasiswanya menuntut lulus testing matematika, bukan sosiologi,
apalagi filosofi.
Namun, Ernst Helmstadler dari Universitas Munster mengeluh bahwa
"...nowadays, theories in the
science of economics are often perfect in terms of formal mathematics, but
are scarcely suited in getting grips with economic problems or forecasting
developments".
Uraian ini tak hendak mendiskreditkan ekonomika selaku suatu
disiplin ilmiah. Kitalah yang bersalah kalau sampai tak mau tahu
kecenderungan pengetahuan ilmiah ini mereduksi kompleksitas dan keragaman gejala
sosial demi correctness penalarannya, bukan applicability-nya. Biar bagaimanapun, ekonomika tergolong ilmu
sosial yang bertujuan tidak hanya memahami kenyataan (masalah) human, tetapi
juga memperbaikinya. Lain dengan ilmu kealaman yang bertujuan memahami alam,
tetapi tidak berpretensi mencampuri jalannya alam.
Lalu ada sesuatu yang kelihatannya esensial antagonistis antara
kebiasaan pikiran mencari panduan teoretis dan yang mencari pegangan bagi
keberhasilan kinerja. Teori merupakan masalah pendidikan dan pemaparan, bukan
masalah pelaksanaan. Kemudian ilmu pengetahuan apa pun perlu dibiarkan bebas
karena yang ia cari adalah "kebenaran". Namun,
"penerapan" kebenaran itu, lazim disebut teknologi, yang adalah
hanya merupakan means dari penerapan, perlu dikontrol dan diseimbangkan
dengan kearifan filosofis, Pancasila. Filosofi kolektif ini mengingatkan kita
how men behave, sedangkan disiplin ekonomi mengutamakan how the markets behave. Kehidupan kita ditentukan kehendak pasar,
bukan sebaliknya, sebab di balik pasar ada Homo economicus.
Kewaspadaan dalam mempelajari ekonomika perlu diingatkan agar
kita tak terpeleset lagi ketika melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Tujuan SDG sebagai acuan pembangunan global 15 tahun ke depan yang dibahas di
forum PBB sangat didominasi penalaran ekonomi dan ide globalisasi yang
memanfaatkannya. Hanya keledai yang sampai tergelincir dua kali di batu yang
sama.
Standar ukuran kemajuan SDG masih tetap income. GNP sudah
dibaptis menjadi semacam Cawan Suci dan pengawal fanatiknya adalah kaum
ekonomimandanahli statistik, sedangkan globalisasi berasumsi bahwa warga
semua bangsa berpartisipasi proaktif dalam progres teknologi baru dan, karena
keunggulan keterampilan teknologisnya, berhak mengeksploitasi sumber alam di
mana pun dan kapan pun. Berarti kita harus "bersaing" dengan warga
asing dalam memanfaatkan kekayaan alam kita. Bukankah ide pemaksaan
kolonialisme baru ini yang tersirat di balik traktat Trans-Pacific
Partnership, yang baru-baru ini dicanangkan Presiden Obama dari Amerika
Serikat.
Kebahagiaan
Di mana kemerdekaan ekonomi negeri yang relatif terbelakang? Apa
yang kelak kita sisakan untuk anak cucu kita sendiri? Ketahuilah, kita
generasi sekarang bukan merupakan pewaris, melainkan peminjam kekayaan Ibu
Pertiwi dari generasi mendatang. Selaku peminjam, kita wajib bisa
mengembalikan kepada mereka kekayaan itu dalam keadaan relatif utuh.
Sewaktu berevolusi fisik dulu Bung Hatta sering menyatakan bahwa
dengan kemerdekaan kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang
pantas bahagia. Ternyata happiness matters, kata Amartya Sen, because it is not irrelevant to the
meaning of life... happiness relates to the perspective of freedom and
capability.
Setelah mengadakan investigasi intensif mengenai kaitan antara
kebahagiaan dan kehidupan, Richard Layard menyimpulkan, "There is a paradox at the heart of our lives. Most people want
more income and strive for it. Yet as Western societies have got richer,
their people have become no happier.... If we are asked why happiness matters,
we can give no further external reason. It just obviously does matter".
Istilah bahagia tak ada dalam kamus ekonomika murni. Berarti
kita tak perlu lagi mengandalkan pembangunan nasional hanya pada penalaran
ekonomi seperti yang selama ini kita lakukan. Harus diakui bahwa di suatu
lokasi pembangunan tertentu di tahap tertentu, satu disiplin bisa saja paling
dominan. Dan disiplin ini tidak selalu harus ekonomika. Ia bisa saja
antropologi, sosiologi, budaya (adat istiadat), politika, sejarah, dan lain-lain.
Fakultas Ekonomi harus mampu membelajarkan teori pembangunan
Indonesia di bumi Indonesia di samping perkuliahan tentang teori Keynes
mengenai pembangunan ekonomi. Indonesia bukan lokalitas antah-berantah. Ia
negeri dengan kekhasan sejarah, kaya alam, khas geografi. Perjuangan
kemerdekaan dan aspirasi nasionalnya terkait kemerdekaan itu. Raksasa ekonomi
baru, India dan Tiongkok, yang kerap dipuji dulu menolak resep pembangunan
ekonomi IMF dan Bank Dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar