Selasa, 27 Oktober 2015

Ekonomika SDG

Ekonomika SDG

Daoed Joesoef  ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
                                                       KOMPAS, 26 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ekonomika disebut dismal science karena, menurut Muhammad Chatib Basri, ia memprediksi lebih banyak krisis ketimbang kemakmuran (Kompas, 5 Oktober 2015).

Ekonomika memang suatu dismal science, tetapi bukan karena ia memprediksi lebih banyak krisis ketimbang kemakmuran. Ia bahkan menjanjikan lebih banyak kemakmuran ketimbang ilmu lain yang dinyatakan dengan PNB, PDB, PNB per kapita, PDB per kapita. Ketika janji itu terwujud ternyata tidak tanpa biaya eksesif berupa, antara lain, penindasan manusia terhadap sesamanya dan polusi berkepanjangan. Ini terjadi karena penalaran ilmu sosial yang satu ini-dengan segala kekurangannya-dipaksa diterapkan.

Penalaran suatu disiplin ilmiah betul belaka selama secara logis diturunkan dari anggapan dasarnya. Namun, ia baru pantas diterapkan selama asumsi dasarnya itu sesuai dengan the living condition. Bila tidak dan tetap mau diterapkan, perlu dua tindakan politiko-sosial. Pertama, asumsi dasar tadi dikoreksi atau, kedua, kondisi riil kehidupan dipaksa menyesuaikan diri.

Di banyak lokasi penerapan ekonomika pure and simple di berbagai belahan dunia, tindakan kedua yang selalu dijalankan hingga kondisi kehidupan yang ada terpelintir begitu rupa sampai menimbulkan kesengsaraan. Penderitaan human ini pernah menimbulkan reaksi Karl Marx yang pemikirannya, tanpa dia maksud, dijadikan dasar pembenaran komunisme dan pemerintahan Uni Soviet.

Pemaksaan penerapan ajaran ekonomika menimbulkan sengsara karena nalarnya berkelemahan fundamental. Di forum Konferensi Ke-336 Universitas dari semua pengetahuan 1 Desember 2000 di Paris, Xavier Greffe membeberkan kelemahan dan kekurangan penalaran ekonomika. Orasi ilmiahnya berjudul "La reduction à l'écomique", pengerdilan ala ekonomika. Dia menyimpulkan anomali itu dalam dua interpretasi berikut.

Pertama, perilaku individu hanya rasional bila ia mengikuti diktum Homo economicus, di bidang apa pun kegiatannya. Pilihan individual ditetapkan pada satu acuan homogen, yaitu kepentingannya sendiri, di mana tampil tanda plus dan minus. Aksioma ini kerdil mengingat yang diakui terpenting, paling menentukan, adalah kepentingan sendiri di antara lain-lain hasrat yang memotivasi manusia. Hubungan antara manusia dan materi tak dapat diperantarai manusia lain.

Kedua, setelah menegaskan kemandirian gejala ekonomi terhadap lain-lain gejala sosial, ekonomika menyimpulkan bahwa proses dan hukum ekonomi tidak mungkin bisa diabaikan oleh lain-lain instansi sosial, terutama politik. Ekonomika tak bisa ditawar-tawar dan tak mungkin memecahkan masalah ekonomi melalui pertimbangan non-ekonomi semata-mata. Hubungan manusia dan materi penting.

Hati-hati dan waspada

Ketika penghargaan Nobel untuk ekonomika diciptakan pada 1969, banyak ekonom bersorak, menganggapnya sebagai pengakuan terhadap soliditas penalaran keilmuan dari pengetahuan yang mereka geluti. Setelah diangkat setara dengan lain-lain ilmu sosial sesudah ia berhasil nyempal dari sosiologi, ia kini dan selanjutnya berpartisipasi dalam aura ilmu eksakta. Namun, dua tokoh penerima Nobel Ekonomi tetap hati-hati dan waspada. Gunnar Myrdal mengaku sulit terus melindungi ekonomi terhadap konflik nilai kehidupan. Amartya Sen mengungkapkan kecenderungan ekonomika mereduksi kompleksitas dan tumpukan gejala sosial.

Thomas Carlyle bahkan kritis terhadap penyandang ekonomika dengan mengatakan bahwa para ekonom sering terlihat selaku terrible kill-joys yang ingin memasukkan keceriaan alami manusia dan keramahtamahannya terhadap sesama manusia ke dalam sejenis adonan beresep dari disiplin ekonomi.

Dewasa ini kecaman terhadap penalaran simplistis ekonomika jauh lebih radikal daripada sekadar kewaspadaan dari Myrdal dan Sen. Wacana publik yang menggambarkan ekonomika sebagai dismal science segera disusul tuduhan economic horror. Gejala globalisasi ekonomi langsung diikuti kutukan terhadap proses ketidakadilan, pemiskinan, perusakan lingkungan, dan alienasi yang diakibatkannya, di samping nada-nada anti kapitalis di ruang akademik. Tiga lembaga menjadi bulan-bulanan dari kecaman terhadap penalaran dan kebijakan ekonomi yang menyengsarakan manusia: Bank Dunia, IMF, dan WTO.

Ekonomika disalahkan melakukan reduksionisme tak hanya dalam membina penalarannya sendiri, tetapi jauh lebih parah lagi: dalam berpikir keilmuan pada umumnya. Ia membuat simplifikasi berlebihan mengenai gejala dan perilaku sosial untuk kemudian digiring ke dalam penalaran yang menunggal tentang tata ekonomi. Dengan mereformulasikan visi tentang gejala sosial demi kepentingan logikanya, ia mendesakkan suatu cara berpikir yang sangat mengesankan correct, tetapi sebenarnya begitu reduksionistis hingga tak bisa applicable kecuali dengan paksaan formal. Agar correctness penalarannya kian menonjol, ekonomika semakin banyak melibatkan matematika. Sampai ujian masuk calon mahasiswanya menuntut lulus testing matematika, bukan sosiologi, apalagi filosofi.

Namun, Ernst Helmstadler dari Universitas Munster mengeluh bahwa "...nowadays, theories in the science of economics are often perfect in terms of formal mathematics, but are scarcely suited in getting grips with economic problems or forecasting developments".

Uraian ini tak hendak mendiskreditkan ekonomika selaku suatu disiplin ilmiah. Kitalah yang bersalah kalau sampai tak mau tahu kecenderungan pengetahuan ilmiah ini mereduksi kompleksitas dan keragaman gejala sosial demi correctness penalarannya, bukan applicability-nya. Biar bagaimanapun, ekonomika tergolong ilmu sosial yang bertujuan tidak hanya memahami kenyataan (masalah) human, tetapi juga memperbaikinya. Lain dengan ilmu kealaman yang bertujuan memahami alam, tetapi tidak berpretensi mencampuri jalannya alam.

Lalu ada sesuatu yang kelihatannya esensial antagonistis antara kebiasaan pikiran mencari panduan teoretis dan yang mencari pegangan bagi keberhasilan kinerja. Teori merupakan masalah pendidikan dan pemaparan, bukan masalah pelaksanaan. Kemudian ilmu pengetahuan apa pun perlu dibiarkan bebas karena yang ia cari adalah "kebenaran". Namun, "penerapan" kebenaran itu, lazim disebut teknologi, yang adalah hanya merupakan means dari penerapan, perlu dikontrol dan diseimbangkan dengan kearifan filosofis, Pancasila. Filosofi kolektif ini mengingatkan kita how men behave, sedangkan disiplin ekonomi mengutamakan how the markets behave. Kehidupan kita ditentukan kehendak pasar, bukan sebaliknya, sebab di balik pasar ada Homo economicus.

Kewaspadaan dalam mempelajari ekonomika perlu diingatkan agar kita tak terpeleset lagi ketika melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Tujuan SDG sebagai acuan pembangunan global 15 tahun ke depan yang dibahas di forum PBB sangat didominasi penalaran ekonomi dan ide globalisasi yang memanfaatkannya. Hanya keledai yang sampai tergelincir dua kali di batu yang sama.

Standar ukuran kemajuan SDG masih tetap income. GNP sudah dibaptis menjadi semacam Cawan Suci dan pengawal fanatiknya adalah kaum ekonomimandanahli statistik, sedangkan globalisasi berasumsi bahwa warga semua bangsa berpartisipasi proaktif dalam progres teknologi baru dan, karena keunggulan keterampilan teknologisnya, berhak mengeksploitasi sumber alam di mana pun dan kapan pun. Berarti kita harus "bersaing" dengan warga asing dalam memanfaatkan kekayaan alam kita. Bukankah ide pemaksaan kolonialisme baru ini yang tersirat di balik traktat Trans-Pacific Partnership, yang baru-baru ini dicanangkan Presiden Obama dari Amerika Serikat.

Kebahagiaan

Di mana kemerdekaan ekonomi negeri yang relatif terbelakang? Apa yang kelak kita sisakan untuk anak cucu kita sendiri? Ketahuilah, kita generasi sekarang bukan merupakan pewaris, melainkan peminjam kekayaan Ibu Pertiwi dari generasi mendatang. Selaku peminjam, kita wajib bisa mengembalikan kepada mereka kekayaan itu dalam keadaan relatif utuh.

Sewaktu berevolusi fisik dulu Bung Hatta sering menyatakan bahwa dengan kemerdekaan kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang pantas bahagia. Ternyata happiness matters, kata Amartya Sen, because it is not irrelevant to the meaning of life... happiness relates to the perspective of freedom and capability.

Setelah mengadakan investigasi intensif mengenai kaitan antara kebahagiaan dan kehidupan, Richard Layard menyimpulkan, "There is a paradox at the heart of our lives. Most people want more income and strive for it. Yet as Western societies have got richer, their people have become no happier.... If we are asked why happiness matters, we can give no further external reason. It just obviously does matter".

Istilah bahagia tak ada dalam kamus ekonomika murni. Berarti kita tak perlu lagi mengandalkan pembangunan nasional hanya pada penalaran ekonomi seperti yang selama ini kita lakukan. Harus diakui bahwa di suatu lokasi pembangunan tertentu di tahap tertentu, satu disiplin bisa saja paling dominan. Dan disiplin ini tidak selalu harus ekonomika. Ia bisa saja antropologi, sosiologi, budaya (adat istiadat), politika, sejarah, dan lain-lain.

Fakultas Ekonomi harus mampu membelajarkan teori pembangunan Indonesia di bumi Indonesia di samping perkuliahan tentang teori Keynes mengenai pembangunan ekonomi. Indonesia bukan lokalitas antah-berantah. Ia negeri dengan kekhasan sejarah, kaya alam, khas geografi. Perjuangan kemerdekaan dan aspirasi nasionalnya terkait kemerdekaan itu. Raksasa ekonomi baru, India dan Tiongkok, yang kerap dipuji dulu menolak resep pembangunan ekonomi IMF dan Bank Dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar