Minggu, 25 Oktober 2015

Hari Santri dan Pelurusan Narasi Sejarah

Hari Santri dan Pelurusan Narasi Sejarah

Munawir Aziz  ;  Peneliti dan pengurus Lajnah Ta’lif wan-Nasyr (LTN) PB NU;
Wakil sekretaris Kornas Hari Santri
                                                      JAWA POS, 19 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKHIRNYA Presiden Joko Widodo (Jokowi) menepati janjinya untuk menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Janji tersebut bermula ketika kampanye pemilihan presiden, persisnya pada 27 Juni 2014. Ketika itu Jokowi bersilaturahmi ke Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur.

Di hadapan santri dan para kiai, Jokowi berjanji menahbiskan 1 Muharam sebagai Hari Santri. Namun, argumentasi ideologis, kultural, dan sejarah untuk Hari Santri lebih tepat jika ditetapkan pada 22 Oktober. Untuk itu, mewakili santri dan komunitas pesantren di seluruh Indonesia, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Said Aqil Siradj menyampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa lebih tepat jika Hari Santri ditetapkan pada momentum 22 Oktober.

Esai Bandung Mawardi, 1 Muharam 1437, Hari Santri Nasional ( Jawa Pos, 14 Oktober 2015), cukup menggelitik. Dalam esai tersebut, Bandung menggugat Presiden Jokowi yang kerap menebar janji.

Di bagian akhir esainya, Bandung juga mengajukan pertanyaan, apakah Hari Santri itu milik NU atau Indonesia? Dia juga melontarkan tanya tentang siapakah santri.

Atau, dalam bayangan penulis, lebih tepatnya: Apa sumbangsih santri bagi bangsa ini? Tentu saja pertanyaan itu penting untuk diurai jawabannya agar tidak menimbulkan kekeliruan asumsi.

Santri, Pengawal NKRI

Perjuangan kaum santri dalam mengusahakan kemerdekaan bukanlah tujuan untuk komunitasnya sendiri, melainkan untuk bangsa Indonesia seutuhnya. Perjuangan kaum santri melawan kolonialisme tidak sekadar dilakukan pada awal abad ke-20, tapi jauh sebelum itu.

Pada pertengahan abad ke-18, ketika VOC berupaya menyesap kekayaan Nusantara, para santri tidak tinggal diam untuk berjuang. Perang Kuning (1740–1743) merupakan gabungan kekuatan antara orang Tionghoa, pasukan Mas Garendri (Raden Mas Said), dan laskar santri yang berjuang melawan penjajah. Di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Lasem, hingga Tuban, para santri terlibat dalam Perang Kuning (Daradjadi, 2013).

Selanjutnya, ketika Perang Jawa berkobar pada 1825–1830, para santri bersetia menjadi lingkaran strategis bagi Pangeran Diponegoro Sayyidin Panatagama. Tercatat, Kiai Khasan Besari, Kiai Maja, dan beberapa jaringan kiai pesantren menjadi tulang punggung perjuangan pasukan Diponegoro.

Di pengujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, para kiai tidak pernah menyurutkan peran dalam melawan penjajah. Selain berperang secara fisik dalam medan laga, para kiai merawat pengetahuan dengan membentuk pesantren sebagai tempat belajar dan mengaji, yang mengacu pada praktik pendidikan yang diwariskan Wali Sanga di tanah Jawa. Narasi pengajian kaum santri juga termaktub dalam kisah Centhini, yang menceritakan perjalanan panjang Cebolang serta kisah Tembangraras-Amongraga.

Koneksi kiai-santri itulah yang menjadikan jaringan pesantren sebagai tulang punggung pengetahuan warga Islam di Nusantara. Sekaligus menjadi ciri khas pendidikan agama di negeri ini karena sanad (jaringan pengetahuan) yang tidak pernah terputus.

Kekuatan sanad itulah yang membuat kaum santri mendapatkan didikan moral, bukan hanya kecerdasan otak, tapi juga kecerdasan spiritual. Itu sesuai dengan jargon revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi. Revolusi mental tidak hanya menyentuh kecerdasan otak, tetapi juga menggunakan kecerdasan jiwa. Itulah yang menjadi jawaban untuk perbaikan moral bangsa ini.

Bukti lain nasionalisme kaum santri, pada 1936 para kiai bermusyawarah di Banjarmasin. Hasilnya, diputuskan konsep negara sebagai dar as-salam (negara kedamaian). Itulah praktik visioner dari khazanah pesantren yang berlandasan prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (berkeadilan).

Hari Santri, Identitas Kebangsaan

Lalu, kenapa Hari Santri 22 Oktober menjadi penting bagi bangsa Indonesia? Sebab, Hari Santri bukan hanya milik Nahdlatul Ulama, melainkan milik bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Hari Santri bukan sekadar selebrasi tentang pengakuan negara atas perjuangan kaum santri, tapi menjadi pintu untuk menulis ulang sejarah dan peradaban bangsa ini. Perlu diketahui, 22 Oktober adalah momentum ketika Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang disebut ”resolusi jihad”. Gema fatwa itulah yang menginspirasi ribuan pemuda dan santri untuk bertarung habis-habisan menegakkan NKRI di pelbagai daerah, terutama Surabaya pada 10 November 1945. Dengan demikian, peristiwa 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan berakar pada momentum penting 22 Oktober 1945.

Apa yang diperjuangkan setelah Hari Santri? Yang paling penting adalah memutar arus sejarah dan pengetahuan untuk berdikari dalam karakter khas bangsa ini.

Peristiwa 22 Oktober 1945 telah lama ditenggelamkan oleh narasi pengetahuan kolonial, yang diteruskan oleh rezim-rezim setelahnya, terutama dalam proyek pengetahuan Orde Baru. Hari Santri, dengan demikian, adalah keinsafan pemimpin bangsa atas sejarah perjuangan panjang yang dilakukan segenap umat muslim negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar