Hari Santri dan Pelurusan Narasi Sejarah
Munawir Aziz ; Peneliti dan pengurus Lajnah Ta’lif
wan-Nasyr (LTN) PB NU;
Wakil sekretaris Kornas Hari
Santri
|
JAWA
POS, 19 Oktober 2015
AKHIRNYA
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menepati janjinya untuk menetapkan 22 Oktober
sebagai Hari Santri. Janji tersebut bermula ketika kampanye pemilihan
presiden, persisnya pada 27 Juni 2014. Ketika itu Jokowi bersilaturahmi ke
Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur.
Di hadapan
santri dan para kiai, Jokowi berjanji menahbiskan 1 Muharam sebagai Hari
Santri. Namun, argumentasi ideologis, kultural, dan sejarah untuk Hari Santri
lebih tepat jika ditetapkan pada 22 Oktober. Untuk itu, mewakili santri dan
komunitas pesantren di seluruh Indonesia, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PB NU) KH Said Aqil Siradj menyampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa
lebih tepat jika Hari Santri ditetapkan pada momentum 22 Oktober.
Esai Bandung
Mawardi, 1 Muharam 1437, Hari Santri Nasional ( Jawa Pos, 14 Oktober 2015),
cukup menggelitik. Dalam esai tersebut, Bandung menggugat Presiden Jokowi
yang kerap menebar janji.
Di bagian
akhir esainya, Bandung juga mengajukan pertanyaan, apakah Hari Santri itu
milik NU atau Indonesia? Dia juga melontarkan tanya tentang siapakah santri.
Atau, dalam
bayangan penulis, lebih tepatnya: Apa sumbangsih santri bagi bangsa ini?
Tentu saja pertanyaan itu penting untuk diurai jawabannya agar tidak
menimbulkan kekeliruan asumsi.
Santri, Pengawal NKRI
Perjuangan
kaum santri dalam mengusahakan kemerdekaan bukanlah tujuan untuk komunitasnya
sendiri, melainkan untuk bangsa Indonesia seutuhnya. Perjuangan kaum santri
melawan kolonialisme tidak sekadar dilakukan pada awal abad ke-20, tapi jauh
sebelum itu.
Pada
pertengahan abad ke-18, ketika VOC berupaya menyesap kekayaan Nusantara, para
santri tidak tinggal diam untuk berjuang. Perang Kuning (1740–1743) merupakan
gabungan kekuatan antara orang Tionghoa, pasukan Mas Garendri (Raden Mas
Said), dan laskar santri yang berjuang melawan penjajah. Di Cirebon, Tegal, Pekalongan,
Semarang, Lasem, hingga Tuban, para santri terlibat dalam Perang Kuning
(Daradjadi, 2013).
Selanjutnya,
ketika Perang Jawa berkobar pada 1825–1830, para santri bersetia menjadi
lingkaran strategis bagi Pangeran Diponegoro Sayyidin Panatagama. Tercatat,
Kiai Khasan Besari, Kiai Maja, dan beberapa jaringan kiai pesantren menjadi
tulang punggung perjuangan pasukan Diponegoro.
Di pengujung
abad ke-19 dan awal abad ke-20, para kiai tidak pernah menyurutkan peran
dalam melawan penjajah. Selain berperang secara fisik dalam medan laga, para
kiai merawat pengetahuan dengan membentuk pesantren sebagai tempat belajar
dan mengaji, yang mengacu pada praktik pendidikan yang diwariskan Wali Sanga
di tanah Jawa. Narasi pengajian kaum santri juga termaktub dalam kisah
Centhini, yang menceritakan perjalanan panjang Cebolang serta kisah
Tembangraras-Amongraga.
Koneksi
kiai-santri itulah yang menjadikan jaringan pesantren sebagai tulang punggung
pengetahuan warga Islam di Nusantara. Sekaligus menjadi ciri khas pendidikan
agama di negeri ini karena sanad (jaringan pengetahuan) yang tidak pernah
terputus.
Kekuatan sanad
itulah yang membuat kaum santri mendapatkan didikan moral, bukan hanya
kecerdasan otak, tapi juga kecerdasan spiritual. Itu sesuai dengan jargon
revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi. Revolusi mental tidak hanya
menyentuh kecerdasan otak, tetapi juga menggunakan kecerdasan jiwa. Itulah
yang menjadi jawaban untuk perbaikan moral bangsa ini.
Bukti lain
nasionalisme kaum santri, pada 1936 para kiai bermusyawarah di Banjarmasin.
Hasilnya, diputuskan konsep negara sebagai dar as-salam (negara kedamaian).
Itulah praktik visioner dari khazanah pesantren yang berlandasan prinsip
tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (berkeadilan).
Hari Santri, Identitas Kebangsaan
Lalu, kenapa
Hari Santri 22 Oktober menjadi penting bagi bangsa Indonesia? Sebab, Hari
Santri bukan hanya milik Nahdlatul Ulama, melainkan milik bangsa Indonesia
secara keseluruhan.
Hari Santri
bukan sekadar selebrasi tentang pengakuan negara atas perjuangan kaum santri,
tapi menjadi pintu untuk menulis ulang sejarah dan peradaban bangsa ini.
Perlu diketahui, 22 Oktober adalah momentum ketika Kiai Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa yang disebut ”resolusi jihad”. Gema fatwa itulah yang
menginspirasi ribuan pemuda dan santri untuk bertarung habis-habisan
menegakkan NKRI di pelbagai daerah, terutama Surabaya pada 10 November 1945.
Dengan demikian, peristiwa 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan
berakar pada momentum penting 22 Oktober 1945.
Apa yang
diperjuangkan setelah Hari Santri? Yang paling penting adalah memutar arus
sejarah dan pengetahuan untuk berdikari dalam karakter khas bangsa ini.
Peristiwa 22 Oktober 1945 telah
lama ditenggelamkan oleh narasi pengetahuan kolonial, yang diteruskan oleh
rezim-rezim setelahnya, terutama dalam proyek pengetahuan Orde Baru. Hari
Santri, dengan demikian, adalah keinsafan pemimpin bangsa atas sejarah
perjuangan panjang yang dilakukan segenap umat muslim negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar