Semoga Belum Terlambat
Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
25 Oktober 2015
Maestro seni lukis Joko Pekik tak ayal adalah jago metafor
politik. Salah satu karya terakhirnya menggambarkan seekor buaya raksasa tengah
melahap sebuah gunung, sementara goyangan ekornya mengobrak-abrik penduduk
sebuah desa. Pesannya jelas: di mata Joko Pekik sang buaya adalah Freeport
dan korbannya masyarakat Papua. Yang dikecam adalah ”imperialisme asing”.
Terlampau sederhana? Bisa jadi demikian. Namun, lain halnya jika tafsir Joko
Pekik diperluas. Kini tak tersangkal lagi bahwa kapitalisme adalah bak seekor
buaya raksasa. Tidak pernah kenyang dan senantiasa perlu memperluas wilayah
buruannya, apa pun akibatnya. Bagi kita yang cenderung memandang segi-segi
positif dari modernitas—buah kapitalisme itu—sang buaya mengingatkan kita
akan mudaratnya. Mari kita mengevaluasinya sekilas.
Pada tahun 1439, Gutenberg (1453) menciptakan mesin cetak.
Terbukalah pintu pada tafsir pribadi atas Al Kitab dan dengan sendirinya pada
individualisme modern. Namun, belum lama berselang percekcokan tafsir memicu
wacana kebencian antara Katolik dan Protestan. Konflik agama terbuka menyusul
(abad 16-17). Lalu, pada akhir abad ke-18, benih revolusi industri melabrak
tatanan politik dan kultural Eropa Barat. Feodalisme roboh. Tafsir
universalis yang tercerahkan dikira bakal unggul sebagaimana ditandai oleh
pengumuman HAM di Perancis (1789). Namun, bersamaan waktu dengan itu,
”rasisme” diam-diam diteorikan, selaras dengan kolonialisme dan ekspansi
kapital di luar Eropa.
Alhasil, alih-alih menciptakan persaudaraan universal,
Pencerahan dan Revolusi Perancis (1789-1798) justru sebaliknya bermuara pada
ultranasionalisme dan imperialisme yang kemudian bakal memuncak dalam
pembantaian Perang Dunia I (1914-1918) dan II (1939-1945). Jadi, pada fase
itu fokus wacana kebencian beralih dari agama ke bangsa dan ras.
Situasi tambah kompleks pada abad ke-19 ketika industrialisasi
melahirkan kaum buruh sebagai pelaku politik yang mengimbangi kaum
modal/borjuasi. Situasi baru ini diteorikan oleh kaum sosialis dan terutama
oleh Karl Marx. Berpegang pada keunggulan determinasi tekno-ekonomi di dalam
evolusi sistem sosial, Marx menjanjikan bakal tibanya era sosialis yang serba
indah ketika revolusi akan berhasil diimplementasikan di bawah panji ”kaum
buruh/proletariat”. Namun, oleh karena menekankan peran konflik kelas sebagai
syarat tercapainya sosialisme, teori Marxis ini tak ayal melahirkan suatu
wacana kebencian yang baru—buruh lawan kapitalis, petani kecil lawan ”tuan
tanah”. Jadi, jauh dari mewujudkan keadilan sosial, impian akan robohnya
kapitalisme berakhir dalam darah, baik di dalam revolusi (Uni Soviet,
Tiongkok, Kamboja) maupun di dalam kontrarevolusi (Indonesia, Malaysia, Cile).
Kini guncangan berkelanjutan selaras dengan jubah teknologi
terbarunya dari modernitas. Hidup di lingkungan yang kian urban, di dalam
ruang ekonomi dan kultural yang semakin terbatas, labil dan kompleks, manusia
kontemporer cenderung bereaksi dengan dua cara yang bertolak belakang satu
terhadap lainnya. Sebagian, pada umumnya elite sosial dan intelektual —para
pemenangnya—sepenuhnya merangkul sistem baru. Mereka menjadi ”warga dunia”
dan dedengkot HAM. Namun, mereka berhadapan dengan massa rakyat biasa yang
oleh karena kian ”terombang-ambing” secara ekonomi dan kultural cenderung
berpaling pada identitas primernya—etnisitas serta, lebih-lebih, agama.
Di dalam hal ini agama kehilangan dimensi spiritual-universalnya
untuk menjadi badan sosial saja, yang kian terobsesi dengan ”kelianan”
(otherness) kelompok-kelompok yang berbeda. Wacana kebencian kerap menyusul,
berikut patologi kekerasannya. Dan itu terjadi di seluruh dunia. Sementara
kaum radikal Timur Tengah mentakfirkan, lalu membantai musuhnya, kaum radikal
India memimpikan India sebagai Hindutwa, dan Israel terlihat terus memperluas
wilayahnya, konon untuk memenuhi janji Tuhan pada kaumnya, sebagaimana
diyakini pula oleh kaum radikal Kristen Amerika. Gila!
Maka jelas, kan? Adalah suatu kekeliruan berasumsi bahwa
modernitas serta-merta bermuara pada pencerahan dan toleransi. Terdorong
guncangan struktural yang dalam, balikannya bahkan kerap terjadi, termasuk di
negeri ini. Itulah sebabnya adalah penting mengambil tindakan penanggulangan
yang efektif.
Selain reformasi hukum dan peningkatan keadilan sosial, agaknya
instrumen yang paling baik adalah Pancasila. Asal tafsirnya dan pengajaran
agama yang menyertainya terbuka dan asal acuan pada agama dirumuskan sebagai
”pertemuan spiritual di dalam perbedaan” dan bukan sebagai sarana ”pengokohan
identitas religius” umat/jemaat yang bersangkutan. Jadi, tantangan utama
adalah pada modus pengajaran agama. Semoga belum terlambat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar