Kebiadaban Negara Kapitalis Birokrat Orde Baru:
50 Tahun Genosida 1965
Bonnie Setiawan ; Direktur Eksekutif di Resistance and
Alternatives to Globalization (RAG) di Jakarta
|
INDOPROGRESS,
05 Oktober 2015
RILIS Komnas HAM mengenai Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM
Berat Peristiwa 1965-1966 pada tanggal 23 Juli 2012 menyatakan, “Sesuai
dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada peristiwa
1965-1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak
asasi manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan,
penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa. Selain itu,
para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan mental
(psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan diskriminasi
di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan
budaya.”
Dengan Demikian area genosida sistematis pada masa 1965-1966
meliputi berbagai hal yang bisa kita bayangkan, ataupun yang tidak bisa kita
bayangkan, karena kejamnya dan biadabnya gerakan pembasmian kelompok
masyarakat yang dianggap sebagai anggota PKI, anggota organisasi-organisasi
afiliasinya, simpatisannya, orang-orang yang tersangkut langsung atau tidak
langsung dengan kegiatan-kegiatan PKI atau afiliasinya, orang-orang kiri baik
dari kalangan Nasionalis, Sukarnois maupun ormas-ormasnya, dan orang-orang di
pedesaan atau dimanapun yang berada di tempat dan waktu yang salah. Genosida
ini sangat-sangat buruk dalam ukuran peradaban sebuah bangsa ataupun
bangsa-bangsa di dunia. Dan anehnya, hingga saat ini, para penguasa dan elit
Indonesia enggan untuk menyingkap tabir gelap sejarah bangsanya sendiri,
seolah-olah masih hidup di zaman purbakala dengan ukuran-ukuran peradaban
yang rendah dan hina.
Bahkan hingga kini kalangan terpelajar, mahasiswa, pelajar dan
kebanyakan generasi muda masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi di
masa 1965-1966 tersebut dan sesudahnya. Seolah-olah mereka menganggap tidak
ada masalah besar dalam 1965, dan bahwa kesadaran dan pikiran mereka
sepenuhnya telah terbentuk oleh propaganda sistematis Orde Baru (Orba) selama
ini. Orba yang dimaksud bukan saja era rezim Suharto sejak 1966 hingga 1998,
tetapi juga era setelahnya hingga kini, yang cocok disebut sebagai neo-Orba.
Orba dan neo-Orba telah sangat berhasil menjadikan peristiwa 1965 sebagai
peristiwa sejarah yang tidak memalukan dan justru diperlukan untuk
menyelamatkan Indonesia dari Komunisme. Versi Orba mengenai ini, yang merasuk
di alam pikiran generasi muda hingga kini adalah “tindakan penyelamatan
Indonesia dari kudeta yang dijalankan oleh pihak Komunis yang akan mengganti
Pancasila dan menggantinya dengan pemerintahan komunis yang atheis”. Versi
semacam ini telah berhasil menggiring pikiran dan kesadaran semua lapisan
masyarakat Indonesia untuk tidak mau mengakui adanya genosida besar-besaran
tersebut dan bahkan memastikan bahwa tindakan-tindakan pada saat itu oleh
kalangan militer Jenderal Soeharto diperlukan untuk menyelamatkan eksistensi
Republik Indonesia.
Padahal dapat dengan jelas kita simpulkan, dari semua
fakta-fakta sejarah dan analisa-analisa sesudahnya mengenai peristiwa G30S
1965, bahwa akibat dari peristiwa itu telah menyingkirkan Soekarno dari
kekuasaannya, dan menyingkirkan Partai terbesar saat itu (PKI) yang berpihak
pada Soekarno dan menjadi pendukung utamanya, serta menerapkan shock-therapy
sekeras-kerasnya pada masyarakat agar ajaran-ajaran Soekarno, Komunisme,
Nasionalisme Kiri dan semua ideologi kiri yang ada di sekitarnya tidak hidup
lagi atau musnah selamanya. Semua itu sangat jelas dan tidak memerlukan
analisa muluk-muluk, untuk menjelaskan apa sebenarnya arti dari peritiwa 1965
tersebut, siapa-siapa yang diuntungkan dan siapa-siapa yang disingkirkan.
Jelas sekali bagi kita untuk menyatakan bahwa peristiwa 1965 adalah sebuah
kudeta terencana dari Jenderal Soeharto dan komplotannya untuk menggulingkan Presiden
Soekarno dan menghabisi sekali dan selamanya PKI dan gerakan kiri Indonesia,
agar tidak pernah hidup kembali. Dan tujuan-tujuan itu telah tercapai dengan
gilang-gemilang, genosida terburuk dalam abad 20, tanpa rasa bersalah dan
lewat pembenaran-pembenaran yang sempurna. Tangan-tangan berdarah dari para
algojo-algojonya dan dalang-dalangnya masih ada sampai sekarang, sehingga
menjadi pembenaran untuk semakin menutupi peristiwa tersebut dengan semua
propaganda busuk tentang 1965. Sebuah pemutar-balikkan yang par-exellence
dari rezim Soeharto dan konco-konconya hingga sekarang.
Dan yang luar biasa, bahwa pembantaian terbesar tersebut
dilakukan secara resmi oleh sebuah institusi Negara, yaitu Negara Orde Baru
dengan semua perangkatnya dari atas ke bawah, dan dengan semua aparat
propagandanya sejak dari pendidikan, kebudayaan hingga ideologi Negara. Semua
itu dipertahankan selama 32 tahun oleh rezim Soeharto secara masif, dan
hingga kini oleh Negara neo-Orba, yang dalam banyak hal adalah kelanjutan dari
Orba, meskipun banyak upaya pembersihan diri dan penyangkalan sebagai
kelanjutan Orba. Tapi segala sesuatunya sebenarnya tidak banyak berubah. 1965
masihlah sebuah tabu politik, dan siapapun yang hendak membuka selubungnya
dan seluruh kebusukan di dalamnya akan segera berhadapan dengan aparat
kekerasan, mulai dari preman-preman berjubah, ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh
publik konservatif, sampai dengan aparat intelijen, polisi dan militer.
Segala sesuatunya mengindikasikan bahwa isu 1965 adalah fondasi utama
keberadaan Orde Baru, dan karenanya harus dijaga sedemikian kuatnya.
Memang benar sekali, bahwa 1965 adalah titik dimulainya
kekuasaan Orba dan fondasi dasar sebuah rezim fasis-militeris yang hendak
mempertahankan sebuah kekuasaan jahat dari para Kapitalis Birokrat (kapitalis
rente). Sebagaimana diketahui, Kapitalis Birokrat (disingkat Kabir) adalah
sisa-sisa feodalisme di Indonesia yang akumulasi modalnya (kekayaannya)
didasarkan pada kekuasaan politik, bukan pada praktek bisnis kapitalisme
modern. Karenanya Kabir tidaklah dapat disebut sebagai kapitalisme modern.
Dia adalah sisa-sisa yang masih kuat dari para penguasa feodal politik, yang
berwujud kelompok militer terutamanya para Jendral; penguasa-penguasa
berlatar belakang kekuasaan tradisional yang memakai agama atau adat atau
privilese feodal mereka sebagai topeng penggenggam kekuasaan, dan para
birokrat pengendali kekuasaan yang berkepentingan untuk mengorupsi kekayaan
Negara secara aman. Bahkanpun preman atau bandit merupakan bagian feodalisme
yang dipakai penguasa untuk melestarikan kekuasaan mereka. Semua ini mudah
dijumpai dalam politik sehari-hari di Indonesia, karena terjadi setiap
harinya. Karenanya, tidak heran bahwa sejak fenomena rezim Kabir itu ada di
tahun 1950an, maka sampai kini rasanya tidak banyak perubahan yang terjadi.
Rezim Kabir terus berkuasa di Indonesia, mempertahankan kekuasaan fasis
militerisnya dengan sedikit modifikasi reformasi kelembagaan maupun citra
politik di tahun 1998, dan mempertahankan wacana 1965 sebagaimana yang telah
dilakukan Soeharto dan komplotannya.
Selama pendefinisian peristiwa 1965 masih seperti di atas,
dimana PKI dijadikan tertuduh utama atas alasan sebagai pelaku kudeta dengan
sifatnya yang anti-agama dan anti-Pancasila, maka Kabir masih akan terus
berjaya. Dengan definisi itu, mereka merasa akan selalu mendapat klaim
sebagai pembela utama negeri ini dan bahwa proyek-proyek yang lahir darinya
akan selalu absah dalam politik Indonesia. Mereka lupa bahwa jaman terus
bergerak dan berubah. Mereka bisa saja terus mengelabui dan membodohi
generasi mudanya, akan tetapi mereka juga telah menempatkan diri mereka
sendiri dalam keterbelakangan dan ketidakberadaban berpikir. Era informasi
saat ini sesungguhnya tidak akan bisa mereka lawan. Kini tidak ada lagi
instrumen atau sistem pengawasan atau sensor jenis apapun yang bisa
menghalangi dibukanya berbagai informasi baru atau informasi alternatif atas
peristiwa 1965. Dan generasi muda masa kini, yang lebih dekat dengan arus
informasi tersebut, tidak bisa lagi dipengaruhi atau dibohongi.
1965 adalah sebuah genosida memalukan dari bangsa ini yang
hendak ditutup-tutupi terus, dengan kebodohan dan kepicikan rezimnya. Akan
tetapi mereka tidak akan bisa berhasil lagi. Zaman akan menghadapi mereka
dengan lebih keras. Kaum Kabir merasa dunia adalah milik mereka dan
praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme serta penindasan hendak mereka
lestarikan. Dan itu tidak akan bisa dipertahankan lagi, karena mereka
menghadapi dunia yang lebih besar, arus informasi yang lebih kuat dan kemerdekaan
berpikir yang lebih luas. Kabir adalah sebuah anakronisme. Kabir juga adalah
musuh kapitalisme modern. Sudah saatnya semua gerakan demokrasi dan progresif
menghabisi Kabir untuk selama-lamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar