Selasa, 27 Oktober 2015

Benci, Cinta, Damai

Benci, Cinta, Damai

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 25 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Carl Philipp Gottfried von Clausewitz. Itu nama lengkapnya. Clausewitz lahir 1 Juli 1780 di Burg bei Magdeburg, Prussia, (meninggal 16 November 1831 di Breslau). Ia dikenal sebagai tentara dan intelektual, filsuf militer. Pertama kali Clausewitz terjun di medan perang ketika usianya masih 13 tahun sebagai kadet, dalam Perang Napoleon.

Ketika usianya belum genap 20 tahun, Clausewitz sudah berpangkat letnan. Dan, pada usia 21 tahun, ia masuk Kriegsakademie (akademi perang nasional) di Berlin. Clausewitz terlibat dalam Pertempuran Waterloo, 18 Juni 1815. Dalam pertempuran ini, pasukan Inggris bersama Prussia menghadapi pasukan Perancis, pimpinan Napoleon Bonaparte (1769-1821).

Pertempuran Waterloo, Belgia, menandai kekalahan Perancis dan Napoleon, yang sebelumnya sudah menaklukkan sebagian besar Eropa. Napoleon naik ke puncak kekuasaan lewat jalur militer selama Revolusi Perancis (1789-1799), merebut kekuasaan Pemerintah Perancis pada 1799, dan menjadi kaisar pada 1804.

Terinspirasi oleh pengalamannya dalam perang itu, Clausewitz mengembangkan teori-teori perang, yang terkenal dan banyak dikutip, hingga kini. Opus magnus, karya terbesarnya, adalah Vom Kriege (On War). Buku 600 halaman ini sebenarnya belum selesai ditulis karena Clausewitz keburu meninggal terkena kolera. Tetapi, diterbitkan oleh istrinya, Countess Marie von Bruhl.

Clausewitz dalam bukunya itu, antara lain, mengatakan, perang adalah lanjutan dari politik (damai) dengan cara lain. Pendapat itu di kemudian hari ”di balik” Jenderal Vo Nguyen Giap (1912-2013), seorang pemimpin politik dan militer Vietnam yang mengatakan, damai (politik) adalah lanjutan dari perang dengan cara lain. Namun, menurut Clausewitz, ”Dalam perang, hasil tidak pernah final.” Dengan kata lain perang ”tidak pernah benar-benar berakhir”.

Perang Enam Hari (1967) antara Israel dan Arab (Mesir, Jordania, Suriah, dan Irak), misalnya, merupakan kegagalan pemerintahan Eisenhower, Kennedy, dan Johnson untuk mencegah konflik seusai Perang Suez, 1956. Pada akhir perang, setelah PBB turun tangan, Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, Jerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Urusan dengan Mesir selesai lewat perundingan Camp David, dan Semenanjung Sinai dikembalikan ke Mesir. Namun, dengan Suriah (menyangkut Golan), hingga kini belum selesai, demikian juga menyangkut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur.

Benar kata Clausewitz bahwa ”perang tidak pernah benar-benar berakhir.” Permusuhan antara Korea Utara dan Selatan hingga kini belum selesai juga. Perang Korea 1950-1953 yang dihentikan lewat gencatan senjata masih menyisakan perseteruan antardua ”negara sekandung” itu. Meskipun ada gerakan dari rakyatnya untuk bersatu, rasanya impian tersebut bagaikan punguk merindukan bulan.

Bahwa ”perang adalah kelanjutan politik (damai) dengan cara lain” seperti dikatakan Clausewitz, rasanya sekarang terlihat jelas dalam perang di Suriah. Sejumlah negara terlibat dalam perang di negara itu—AS, Rusia, Turki, Iran, Arab Saudi, dan juga Qatar. Di balik keterlibatan mereka di medan laga, tersembunyi (meski terlihat) kepentingan politik negara-negara tersebut. Untuk apa Rusia, misalnya, terlibat perang kalau tidak memiliki kepentingan politik, strategis, dan ekonomi di Suriah? Untuk apa Iran membantu rezim Bashar al-Assad melawan kelompok-kelompok oposisi bersenjata dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah kalau tak memiliki kepentingan lain? Demikian pula Arab Saudi, Qatar, Turki, dan juga AS.

Sebenarnyalah, setiap perang didorong, dipicu oleh kepentingan politik. Tetapi, hanya sebagian saja dari tujuan itu yang dapat diwujudkan lewat perang. Mengapa Taliban di Afganistan, misalnya, mengobarkan perang melawan Kabul? Tujuannya adalah merebut kekuasaan di Kabul dan mendirikan kembali rezim Taliban.

Maka jelas bahwa keputusan memulai dan mengakhiri perang merupakan ranah kewenangan para negarawan dan politisi. Sementara tugas militer, seperti dikatakan Clausewitz, adalah menindaklanjuti keputusan politik itu secara profesional, melalui penerapan doktrin, strategi, taktik, dan teknik militer, maksimal untuk menghancurkan musuh, minimal untuk mematahkan semangatnya untuk melawan.

Dengan demikian apakah benar bahwa tujuan akhir perang adalah perdamaian atau kekuasaan? Lev Nikolayevich Tolstoy (Leo Tolstoy) dalam Perang dan Damai, novel sejarah perang antara bangsa Rusia dan bangsa Perancis pada 1812, mengatakan, ”Perang adalah dinamika kehidupan sebab dalam keadaan perang, orang bersiap untuk berdamai dan dalam keadaan damai orang bersiap untuk berperang.”

Kalau benar tujuan akhir perang adalah perdamaian, kiranya perdamaian itu bukanlah sekadar berarti tiadanya konflik bersenjata, melainkan terciptanya situasi saat akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai dan diwujudkan; berubahnya kebencian menjadi cinta, balas dendam menjadi pengampunan, permusuhan menjadi persaudaraan, dan perang menjadi damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar