Jumat, 16 Oktober 2015

Krisis dan Kesendirian Kita

Krisis dan Kesendirian Kita

Sandiaga S Uno  ;  Presiden Direktur PT Saratoga Investama Sedaya Tbk;
Ketua Yayasan Indonesia Forum
                                                    DETIKNEWS, 07 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semua keluarga bahagia terlihat sama. Sementara keluarga yang tidak bahagia menghadapi kesengsaraannya dengan cara masing-masing. Demikian Leo Tolstoy membuka paragraf pertama Novel Anna Karenina.

Saya merenungkan kata-kata itu sambil melihat kondisi perekonomian kita saat ini. Pada saat perekonomian kita tumbuh dengan baik, kita satu suara menyambutnya dengan gempita. Pemerintah bicara pertumbuhan, swasta melakukan investasi dan masyarakat menunjukkannya dengan daya beli yang tinggi.

Lain soalnya ketika ekonomi mulai memburuk seperti yang tengah kita hadapi sekarang ini. Kita menghadapinya dengan cara masing-masing. Bahkan kita belum satu suara untuk mengatakan bahwa saat ini krisis ekonomi tengah terjadi.

Tren ekonomi global, melambatnya pertumbuhan ekonomi China, kebijakan The Fed  dan lain sebagainya selama ini dijadikan dalih oleh pemerintah dalam menjelaskan situasi ekonomi kita saat ini. Saya memandangnya sebagai itikad baik pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi (dan politik).

Sayangnya pasar meresponnya dengan cara berbeda. Itikad baik ini lebih terlihat seperti popular policy yang ujung-ujungnya lebih dominan nuansa politiknya. Sementara dalam situasi krisis saat ini, pasar membutuhkan good policy yang pahit dan getirnya bisa jadi obat penawar.

Dalih pemerintah di atas tentu mudah terpatahkan sebab kita bukan satu-satunya negara yang terkena dampak dari faktor-faktor global di atas. India sebagai contoh, mereka tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi. Atau bahkan Filipina yang ternyata juga mampu mengantisipasi krisis dengan baik. Tentu kita perlu bertanya sekali lagi, masih pentingkah berdebat soal apakah krisis ekonomi sudah melanda kita atau belum.

Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung di dunia usaha, saya memiliki keyakinan sendiri soal krisis ekonomi. Data-data dan indikator ekonomi lainnya mungkin bisa terbaca lewat beragam narasi. Tetapi benak para pelaku pasar akan senantiasa sama dalam merespon gejala-gejala ekonomi yang terjadi.

Saat ini, saya yakin di benak lebih dari lima puluh persen pelaku pasar akan mengatakan kita tengah menghadapi krisis ekonomi. Vonis telah jatuh tetapi ini bukan kiamat. Dibandingkan dengan situasi pada tahun 1997, dari segi apapun baik politik, ekonomi, demokratisasi dan lain sebagainya, kita jauh lebih siap untuk menghadapi krisis saat ini.

Sayangnya modal besar ini belum dimanfaatkan oleh pemerintah. Di mata pelaku pasar, pemerintah terlihat masih gaduh dan reaktif dengan kebijakan yang belum terasa di level implementasi.

Bad economy invites good policy. Setiap krisis harus senantiasa diikuti dengan kebijakan yang baik. Pemerintah telah menelurkan paket kebijakan ekonomi satu dan dua. Paket kebijakan ekonomi satu menurut saya masih terlalu berorientasi jangka panjang, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan jangka pendek yang dihadapi masyarakat saat ini.

Sementara paket kebijakan ekonomi dua menawarkan solusi jangka pendek lewat simplifikasi perizinan. Sayangnya paket itu terkait sektor-sektor ekonomi yang sedang tidak bergairah saat ini.  Seperti sudah saya singgung di atas, good policy seringkali bukan popular policy. Pemerintah butuh keberanian lebih dibandingkan sekedar retorika di media massa.

Mengingat pertumbuhan ekonomi kita sebagian besar masih digerakkan oleh sektor konsumsi. Saya memberi saran,  agar dalam jangka pendek pemerintah harus mampu menjaga daya beli masyarakat. Pada pemerintahan sebelumnya kita mengenal Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan beras untuk rakyat miskin (raskin). Walaupun terkesan sederhana, tetapi dalam jangka pendek kebijakan ini bisa membantu pemerintah dalam mengantisipasi krisis.

Selain itu pemerintah bisa menyediakan cash for work, masyarakat diminta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang langsung dibayar oleh pemerintah. Sementara untuk mereka yang terkena PHK, pemerintah harus menyediakan pelatihan-pelatihan tanpa biaya. Diharapkan dalam situasi krisis ini mereka tetap berdaya secara ekonomi dan kalau bisa mendorong mereka untuk menciptakan lapangan kerja baru lewat wirausaha. 

Untuk jangka menengah, pemerintah harus segera menginventarisir proyek-proyek yang siap jalan. Bila perlu siapkan Perpu untuk mengatasi segala kendala di lapangan dan berikan kompensasi yang layak dan adil kepada masyarakat. Sementara untuk jangka panjang perlu dilakukan reformasi sektor tenaga kerja sehingga kompetitif dan berdaya saing tinggi. Industri kita harus dibangun lagi (export oriented dan import substitusion focused). Kebijakan-kebijakan itu beriringan dengan pembangunan infrastruktur berkelanjutan.

Ekonomi global adalah satu hal, kecakapan pemerintah dalam mengelola ekonomi negara adalah hal lainnya. Stabilisasi ekonomi nasional tentu tidak bisa digantungkan pada tren ekonomi global. Para pelaku pasar dan masyarakat membutuhkan peran pemerintah yang cakap bukan pemerintah yang gaduh dan grasa-grusu. Pada akhirnya Tolstoy mungkin benar bahwa kita menghadapi kesulitan dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi paling tidak,  di atas sana ada pemerintah yang dengan segala kecakapan dan ketenangannya tidak akan membiarkan rakyat menghadapi krisis ini sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar